tirto.id - Pondok Pesantren Sempon di Kecamatan Jatisrono, Wonogiri, Jawa Tengah jadi episentrum penyebaran COVID-19 skala kabupaten. Puluhan kasus baru diketahui bersumber dari seorang pria pengasuh ponpes ini.
Bupati Wonogiri Joko Sutopo mengatakan klaster ponpes ini menyumbang lebih dari 60 persen dari total kasus, yang mencapai 101 hingga 27 Juli lalu. Kasus baru meningkat signifikan bulan ini juga.
Kemunculan klaster berawal saat pria berusia 53 tahun ini pulang dari kegiatan keagamaan di Demak Jawa Tengah pada akhir Juni. “[Pulang dari Demak] aktivitas keagamaan normal,” kata Bupati yang kerap disapa Jekek tersebut saat dihubungi reporter Tirto, Senin (27/7/2020).
“Dan namanya pondok tentu banyak tamu,” katanya, menjelaskan pria ini berinteraksi dengan banyak orang.
Belakangan ia diketahui terinfeksi COVID-19. Awalnya, beberapa saat sepulang dari Demak, ia mengeluhkan sakit. Keluhan mulanya hanya pusing, mual, dan batuk. Ia kemudian memeriksakan diri ke tiga fasilitas kesehatan, salah satunya di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.
“Setelah kondisinya memburuk, batuk tidak sembuh-sembuh, akhirnya dari dinas kesehatan mencoba untuk mengambil swab,” Jekek, yang juga Ketua Satgas COVID-19 Wonogiri, menambahkan.
Pengambilan swab dilakukan ketika dia diopname di rumah sakit. Sempat pula beberapa orang menjenguk. “Tapi begitu opname, ambil swab, kemudian dinyatakan positif, beliau kami sarankan untuk diisolasi di rumah sakit.”
Jekek bilang orang ini awalnya menolak diisolasi. Ia baru bersedia setelah diberikan pengertian.
Di tempat lain, Pemerintah Kabupaten Wonogiri buru-buru melakukan pelacakan terhadap semua yang pernah kontak langsung dengan pasien. “Dari tracing, kami temukan 38 swab positif, sebagian besar berasal dari pondok dan sebagian ada warga yang kontak erat dengan beliau,” kata Jekek.
Rata-rata kontak erat itu pernah berdekatan dan bersalaman dengan yang bersangkutan. “Saat aktivitas keagamaan tentu semua pihak melakukan interaksi. Mungkin ada pengajian di titik mana warga ada yang bersalaman atau bertamu ke rumah beliau, mungkin secara pribadi berkunjung.”
Selain menulari penghuni ponpes dan warga, sejumlah tenaga kesehatan juga ikut tertular. Total, kata Jekek, sudah ada 29 yang positif.
Penularan terhadap tenaga kesehatan diduga pertama kali terjadi saat ada dua orang petugas yang berinteraksi dengan si pengasuh ponpes saat yang bersangkutan memeriksakan diri di rumah sakit sebelum dinyatakan positif.
Tenaga medis adalah orang yang “sering ngaji bareng atau sering ada hubungan khusus dalam kapasitas tokoh agama dengan umatnya.” Karena latar belakang itu si tenaga medis menyalami yang bersangkutan saat memeriksakan diri. “Ketemu langsung menyapa. Basis kulturalnya dengan ngobrol jarak yang dekat.”
Setelah pengasuh ponpes dinyatakan positif, dua tenaga kesehatan itu turut diisolasi dan diswab dengan hasil positif. Kemudian, semua rekan sejawat dari dua tenaga kesehatan itu pun diperiksa. “Ada 46 nakes yang di Wonogiri kami swab. Hasilnya 29 yang positif,” kata dia.
Kondisi dan Kebiasaan di Pesantren
Selain kasus di pesantren Wonogiri, terlebih dahulu terjadi klaster Pesantren Temboro di Kabupaten Magetan Jawa Timur. Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Dewi Nur Aisyah, Kamis (15/7/2020), mengatakan klaster pesantren tersebut menyumbang 126 kasus.
Kemudian juga ada klaster Pesantren Gontor di Kabupaten Ponorogo Jawa Timur yang mengakibatkan puluhan kasus positif. Di Jawa Barat juga terdapat klaster pondok pesantren yang berada di Desa Wadas, Kecamatan Telukjambe Timur, Karawang. Klaster ini memicu sekitar 21 kasus COVID-19.
Kasus-kasus ini sebenarnya telah dikhawatirkan Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Menurutnya, klaster akan terbentuk apabila tidak dilakukan pencegahan dengan mempersiapkan protokol kesehatan saat penerimaan kembali santri. “Kalau tidak dipersiapkan dengan baik, ini bisa menjadi klaster baru. Ini yang saya lebih takutkan,” kata Ma'ruf, Minggu (19/7/2020), seperti dilansir dari Antara.
Ma'ruf bilang ponpes rentan karena umumnya santri dan para pengasuh atau pengajar berasal dari berbagai daerah. Selain itu, penyebab lain adalah banyak pesantren dengan kondisi kurang layak untuk dihuni secara berkelompok, khususnya ruang kamar tidur kelebihan kapasitas.
“Oleh karena itu, pertama, yang masuk harus steril, jadi harus di tes rapid dulu bahwa dia tidak terinfeksi. Kemudian ada tempat cuci tangan dan sebagainya, kamarnya diatur dengan baik,” tambahnya.
Faktor terakhir barangkali kebiasaan dari murid ke guru atau siapa saja yang lebih tua. Dalam kasus Wonogiri, seperti yang dikatakan Jekek, semua terjadi karena si pengasuh disalami orang orang banyak. “Pola penularan beliau ini hanya sekadar bersalaman.”
Masalahnya, kebiasaan seperti ini sulit diubah, meski atas nama mencegah penyebaran penyakit, kata Ketua Satuan Koordinasi (Satkor) Penanganan COVID-19 Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) atau Asosiasi Pesantren NU Indonesia, Ulun Nuha.
“Ini salah satu bagian yang kami kampanyekan juga, kampanye perubahan perilaku. Tidak mudah, tapi harus kami lakukan,” katanya kepada reporter Tirto, Rabu (29/7/2020).
Sejumlah upaya telah dilakukan oleh RMI agar penyebaran COVID-19 di pesantren dapat ditanggulangi, selain mengubah perilaku. Yang utama adalah dengan melakukan edukasi tentang risiko dan penanganan COVID-19. RMI juga telah mengeluarkan sejumlah protokol kesehatan untuk pesantren, mulai dari protokol kepulangan, menghadapi Lebaran, kedatangan santri, hingga pencegahan.
RMI juga “mengadakan pelatihan Satgas COVID-19 pesantren. Sekarang kita sedang menyiapkan program 'swab for spiritual heroes’ dan gerakan seribu thermometer gun untuk pesantren.”
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino