tirto.id - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI hingga saat ini belum menerima berkas pengajuan permohonan pembatalan kewarganegaraan Bupati terpilih Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT) Orient P Riwu Kore.
"Baik itu dari yang bersangkutan sendiri maupun lembaga resmi," kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI Yasonna Laoly saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Jakarta, Rabu (17/3/2021).
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2007 terkait tata cara kehilangan dan pembatalan kewarganegaraan harus berdasarkan permohonan jalur formal untuk dimohonkan pembatalan kewarganegaraan.
Ia menjelaskan jika pemerintah dalam hal ini Kemenkumham membatalkan status kewarganegaraan Indonesia untuk Orient, kemudian proses kewarganegaraan Amerika Serikat yang bersangkutan juga terjadi, maka Orient tidak memiliki kewarganegaraan (stateless).
Padahal, lanjut Yasonna, Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia tidak mengenal stateless atau tidak memiliki kewarganegaraan.
Di satu sisi, Yasonna mengaku sempat menerima informasi bahwa Orient P Riwu Kore sudah mengajukan renunciation kewarganegaraan Amerika Serikat. Namun, karena pandemi COVID-19 hal itu belum juga diproses. Renunciation merupakan tindakan sukarela meninggalkan status kewarganegaraan yang diperoleh seseorang.
"Menurut informasi yang kami dengar beliau sudah mengajukan renunciation. Namun, karena COVID-19 katanya belum diproses," ucap dia.
Sebelum kasus Orient P Riwu Kore terjadi, hal serupa sebenarnya juga pernah terjadi pada mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar.
Menindaklanjuti kasus tersebut, Kemenkumham mengaku cukup berhati-hati termasuk membahas secara bersama dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan instansi terkait lainnya.
Secara umum Undang-Undang di Indonesia secara tegas menyebutkan bahwa seseorang dengan status kewarganegaraan asing maka tidak bisa menjadi pejabat publik.
Namun, perihal kasus Orient dengan alasan pertimbangan administratif termasuk renunciation, maka polemik tersebut masih menjadi kendala untuk diselesaikan.
Editor: Maya Saputri