tirto.id -
Pengamat Penerbangan Alvin Lie menilai, kisruh tersebut bakal berimbas buruk bagi para buruh di Sriwijaya Air. Sebab selama ini, maskapai tersebut terlilit utang cukup besar dengan sejumlah BUMN.
“Harapan saya sriwijaya masih bisa bertahan hidup dan ribuan pekerjanya jangan sampai kehilangan mata pencaharian,” ucapnya saat dihubungi Tirto, Kamis (26/9/2019).
Sebelum bermitra dengan Garuda Indonesia, kondisi keuangan Sriwijaya Air memang terpuruk dan terancam pailit.
Misalnya, utang jangka panjang atas pengerjaan overhaul 10 mesin CFM56-3 yang baru akan lunas pembayarannya melalui angsuran selama 36 bulan atau 3 tahun.
Garuda Indonesia merinci, jumlah saldo piutang Sriwijaya Air per 30 September 2018 adalah sebesar 9,33 juta dolar AS atau setara Rp135,34 miliar (dengan kurs Rp14.500 per dolar AS).
Selain itu, Sriwijaya juga memiliki utang kepada PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia Tbk yang tercatat sebesar Rp810 miliar, Pertamina sebesar Rp942 miliar, serta BNI sebesar Rp585 miliar.
“Kalau saya tarik balik setahun lalu ketika bekerja sama antara Sriwijaya dan Garuda, itu kan kondisi Sriwijaya kesulitan uang. Kesulitan Keuangan, utangnya ke GMF, ke Pertamina,” kata dia.
Menurut mereka, keputusan tersebut telah melanggar perjanjian kerja sama manajemen (KSM) secara sepihak.
Karena itu, demi kelangsungan perusahaan dan pemenuhan kewajiban utang-utang tersebut, ASPERSI meminta menteri BUMN untuk membantu menyelesaikan kekisruhan yang terjadi.
"Kami menolak segala bentuk intimidasi yang dilakukan pemegang saham," ujar Ketua Umum ASPERSI Pritano Ade Saputro.
"Kami siap melakukan tindakan industrial apabila kekisruhan yang terjadi di PT Sriwijaya Air tidak dapat terselesaikan," pungkasnya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Hendra Friana