tirto.id - “Aku tak bisa tidur semalaman. Sakitnya seperti setan! … Masih belum muncul gejala perforasi (lubang di dinding lambung) yang jelas, tapi perasaan tak karuan menghantuiku. Ini dia... Aku harus melakukan satu-satunya solusi: operasi diriku sendiri. Hampir mustahil, tapi aku tak boleh menyerah begitu saja.”
Babak mendebarkan dalam hidup Leonid Rogozov itu terekam dalam jurnal pribadi yang dipublikasikan di Soviet Antartic Expedition Information Bulletin (1964: 223-224) (PDF). Berkat keberaniannya, Rogozov masuk jajaran ahli medis yang pernah membedah dirinya sendiri—dan berhasil.
Pada pertengahan Maret 1934, Rogozov lahir di sebuah desa terpencil di Chita Oblast, Siberia Timur, sekitar 17 km dari perbatasan Uni Soviet dengan Mongolia dan Cina. Saat itu Uni Soviet masih dikendalikan oleh tangan besi Joseph Stalin. Ayah Rogozov meninggal pada Perang Dunia II.
Pada 1953 ia menyelesaikan sekolah menengah di Minusinsk, Krasnoyarsk Krai, lalu masuk Leningrad Pediatric Medical Institute di kota Leningrad (kini Saint Petersburg). Setelah lulus tahun 1959, Rogozov memulai pelatihan klinis untuk mengambil spesialisasi dalam bidang ilmu bedah.
Pada September 1960, di usia 26 tahun, ia mengambil jeda sejenak dari program pelatihan untuk bergabung dengan Ekspedisi ke-6 Antartika Soviet. Dari 12 orang lain di tim yang ditempatkan di Pangkalan Novolazarevskaya, ia menjadi tenaga medis satu-satunya.
Pada 29 April 1961 fisik Rogozov tiba-tiba melemah. Ia terserang demam sedang. Perutnya mual-mual serta ada rasa sakit yang teramat sangat di bagian bawah kanan. Obat-obatan konvensional yang ia telan tidak mampu menanggulangi gejala-gejala tersebut.
Rogozov penasaran atas apa yang sebenarnya menimpa dirinya. Keesokan hari ia yakin bahwa ada peritonitis atau peradangan pada lapisan dinding perutnya. Rasa sakitnya kian memburuk saat malam menjelang.
Mirny adalah pangkalan penelitian Soviet terdekat. Sayangnya ia berjarak lebih dari 1.600 km, sementara itu tidak ada transportasi udara yang menghubungkan antar pangkalan riset Soviet. Jika ada pun, lokasi Rogozov sedang dilanda badai salju yang parah.
Rogozov sudah tak tahan lagi. Kembali mengutip jurnal pribadinya, selain rasa sakit, ia juga tahu penyakitnya akan makin parah jika dibiarkan tanpa penanganan medis. Pada pukul 2 pagi, pada 1 Mei 1961, ia pun membedah perutnya sendiri.
Anggota tim yang bertugas sebagai sopir dan ahli meteorologi menolongnya mempersiapkan instrumen dan memegangi cermin agar Rogozov bisa melihat isi perut yang tak terlihat dari matanya langsung. Rogozov berada dalam posisi semi-berbaring dan sedikit miring ke arah kiri.
“Aku bekerja tanpa sarung tangan. Sulit untuk melihat (bagian yang dioperasi). Cermin cukup membantu, tapi kadang juga menjadi penghalang. Kendalanya, cermin membuat posisi bayangan menjadi terbalik. Sentuhan kubuat sehati-hati mungkin. Pendarahannya cukup berat, tapi operasi tetap berjalan pelan asal pasti.”
Larutan novocaine dipakai untuk membius dinding perut. Rogozov membuat sayatan sepanjang 10-12 cm di perut. Saat berupaya membedah peritoneum atau rongga perut bagian dalam, secara tidak sengaja ia turut menyayat usus buntu. Saat Rogozov menjahit luka itu, ia melihat bahwa pangkal usus buntunya mengandung noda gelap.
Rogozov memperkirakan pangkal usus buntunya akan koyak dalam 24 jam ke depan. Oleh sebab itu ia memutuskan untuk memotong dan mengangkat apendiksnya, lalu menginjeksi antibiotik ke rongga peritonium.
Sekitar 30-40 menit sejak operasi berjalan, Rogozov kembali mengalami lemah fisik dan mual. Ia mesti mengambil jeda tiap empat hingga lima menit untuk beristirahat selama 20-25 detik. Jarum jam menunjuk pukul 4 pagi. Setelah dua jam berlalu, operasi mandiri Rogozov pun berhasil.
Suhu tubuhnya berangsur-angsur normal setelah lima hari berselang. Secara umum, kondisinya mengalami perbaikan. Jahitan dilepas di hari ketujuh. Di minggu kedua, Rogozov sudah mampu bangkit dari ranjang dan mengerjakan tugasnya kembali.
Russian Beyond The Headlines mencatat Rogozov disambut bak selebriti saat pulang kampung. Pemberitaan tentangnya meluas hingga ke negara lain. Kisahnya diangkat di berbagai artikel, buku, film, dan lagu. Ratusan orang dari Soviet dan luar negeri mengiriminya surat. Ia dianugerahi Order of the Red Banner of Labor.
Terlepas dari puji-pujian, insiden luar biasa Rogozov dijadikan pelajaran berharga bagi pemerintah Uni Soviet. Kebijakan terkait keamanan personel tim ekspedisi ke tempat yang jauh dan terisolir diubah. Setiap yang mau berangkat juga mesti menjalani pemeriksaan kesehatan yang intensif.
Dokter-Dokter Bernyali Tinggi
Rogozov sebenarnya bukan orang pertama yang melakukannya operasi pembedahan diri sendiri. Chidinma Nwaogbe dan kawan-kawan pernah mengompilasikan pengalaman serupa dari berbagai negara dan dipublikasikan di jurnal Translational Research in Anatomy edisi Maret 2018.
Orang pertama yang melakukan operasi usus buntu, menurut catatan Nwaogbe dkk adalah Evan O’Neill Kane.
Kane adalah adalah ahli bedah yang bekerja di Pennsylvania, Amerika Serikat, pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Pada 15 Februari 1921, ia membuang usus buntunya untuk memahami bagaimana rasanya menjalani prosedur itu dari kacamata pasien. Usia Kane waktu itu 60 tahun.
Ia juga punya tujuan lain: memperkenalkan pembiusan atau anestesi lokal dalam operasi bedah, sebab saat itu operasi usus buntu masih didominasi oleh pemakaian bius total. Ia menggunakan novacaine, zat cukup baru yang tidak lebih berbahaya ketimbang kokain.
Selama operasi ia dikelilingi sekaligus diawasi oleh timnya. Operasi itu memakan waktu sekitar 30 menit. Ia menyatakan saat itu anggota tim terlalu panik. Namun, dua minggu kemudian, Kane sudah benar-benar sembuh dan kembali ke pekerjaan rutinnya mengoperasi pasien.
Gilanya lagi, operasi mandiri itu pun bukan yang pertama, juga bukan yang terakhir. Pada 1919, ia mengamputasi salah satu jarinya yang terkena infeksi. Sedangkan operasi ketiga ia lakukan pada 1932, ketika usianya 70 tahun, untuk mengobati vhernia inguinalisnya sendiri. Nama Kane pun tersohor akibat operasi-operasi mandiri tersebut.
Hernia inguinalis agaknya dulu menjadi masalah banyak orang. Namun, ilmu kedokteran belum semaju sekarang, sehingga muncul dokter lain yang nekat menjalani operasi mandiri. Contohnya adalah M. Alexandre Fzaicou, seorang dokter bedah asal Rumania.
Fzaicou melaksanakan operasi hernia inguinal secara mandiri pada 1909. Kala itu ukuran hernianya sudah “sebesar telur ayam”. Pembiusan baru berhasil setelah percobaan beberapa kali selama 25 menit. Operasi berlangsung selama satu jam. Walhasil, insomnia, sakit kepala, dan nyeri fisik ia rasakan selama seminggu. Dua minggu setelahnya, ia bisa beraktivitas dengan normal lagi.
Cerita menarik lain ada pada pengalaman M. Clever Maldigny, seorang ahli bedah militer di tubuh Pengawal Kerajaan Perancis. Pada usia 27, ia telah menjalani enam operasi batu ginjal. Operasi keenam ia lakukan sendiri pada tahun 1824. Batu yang sukses ia keluarkan ternyata sebesar kacang walnut.
Operasi kerapkali dilakukan bukan untuk penyembuhan, tapi juga demi lahirnya terobosan baru. Salah satu pelakunya adalah Werner Theodor Otto Forssman. Saat Forssman masih belajar operasi bedah di sebuah rumah sakit dekat Berlin, ia tertarik untuk mengembangkan teknik kateterisasi (memasukkan kateter ke dalam bilik atau pembuluh darah) jantung.
Jelas prosedur tersebut amat berbahaya jika dilakukan ke jantung sendiri. Namun pada 1929 ia benar-benar melakukannya—dan berhasil. Karena eksperimen dan dedikasinya di bidang kardiologi, Forssman dianugerahi Hadiah Nobel Kedokteran pada 1956. Ia juga mendapat gelar sebagai Bapak Kateterisasi Jantung.
======
Redaksi tidak menyarankan pembaca untuk melakukan operasi mandiri. Jika Anda merasakan gangguan kesehatan yang membutuhkan bantuan medis, atau mengetahui teman atau kerabat yang ingin melakukan operasi mandiri, amat disarankan untuk menghubungi otoritas medis yang berwenang.
Editor: Windu Jusuf