Menuju konten utama
Mozaik

Ang Swee Chai, Dokter Bedah Ortopedi di Kamp Pengungsi Palestina

Setelah menyaksikan Pembantaian Sabra Shatila di Beirut, anggapan tentang masyarakat Palestina sebagai sekumpulan teroris lenyap dalam benaknya.

Ang Swee Chai, Dokter Bedah Ortopedi di Kamp Pengungsi Palestina
Header Mozaik dr. Ang Swee Chai. tirto.id/Tino

tirto.id - Di perairan Mediterania atau sekitar 49 mil dari Gaza, Palestina, Angkatan Laut Israel mencegat kapal Al-Awda milik Freedom Flotilla Coalition (FFC) pada 29 Juli 2018. Kapal ini mengangkut 22 aktivis dan bantuan kemanusiaan senilai 20.721 dolar yang akan diberikan kepada penduduk Palestina.

Para aktivis kemudian dibawa ke zona militer tertutup di Ashdod untuk digeledah dan barang-barangnya disita. Setelah itu, mereka ditahan selama tiga hari di penjara Givron yang terletak di kota Ramla.

Dr. Ang Swee Chai, ahli bedah ortopedi dengan kewarganegaraan ganda Inggris-Singapura, salah satu di antara 22 aktivis yang ditahan saat itu.

Ia menjalani masa penahanan selama tiga hari. Beberapa minggu kemudian ia dideportasi ke Inggris. Sejumlah barang pribadinya, seperti kartu kredit dan uang tunai tidak kunjung dikembalikan oleh pasukan Israel.

Dalam Pembantaian di Beirut

Keterlibatan Ang Swee Chai dalam misi kemanusiaan untuk warga Palestina pada tahun 2018 bukan pengalaman pertamanya. Pada Agustus 1982, ia terdaftar sebagai sukarelawan tenaga ahli bedah ortopedi dari Christian Aid Inggris untuk menolong warga Lebanon dan para pengungsi Palestina.

Dikutip dari memoarnya From Beirut to Jerusalem (2002), ia sedianya ditempatkan di Rumah Sakit Gaza yang menghadap kamp pengungsi Sabra dan Shatila. Namun, karena sebagian bangunan rumah sakit hancur, maka ia dipekerjakan di rumah sakit darurat di basement Near East School of Theology.

Ia melayani pasien yang menderita bermacam-macam luka perang. Namun situasi semakin sulit akibat blokade Israel yang menyebabkan kelangkaan air, listrik, dan pasokan makanan untuk penduduk Beirut. Sehingga sangat tidak memungkinkan untuk melakukan tindakan operasi kepada para pasien.

Hari berganti hari, situasi semakin kondusif setelah PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) meninggalkan Beirut Barat atas perjanjian dengan Israel yang dimediasi Amerika Serikat pada 19 Agustus 1982. Warga di kamp-kamp pengungsian Palestina mulai membangun kembali bangunan-bangunan yang sebelumnya hancur akibat serangan-serangan Israel. Para pasien juga mulai berpindah ke Rumah Sakit Gaza yang berangsur pulih.

Pergaulan dengan warga Palestina dan Lebanon mulai terjalin. Tak jarang, ia mendatangi penduduk di kamp Sabra dan Shatila. Sambutan hangat selalu didapatkannya, bahkan orang-orang Palestina selalu memberi hadiah untuknya.

Malam tanggal 14 September 1982, kedamaian yang tercipta seketika hilang. Suara ledakan bom membuatnya terbangun dari tidur. Berita tengah malam mengabarkan ledakan terjadi di Beirut Timur dan menewaskan Presiden Lebanon, Bashir Gemayel. Serangan tersebut dilakukan dengan dalih mencari sisa-sisa aktivis PLO yang diduga masih berada di Beirut Barat.

Esoknya, di tengah dentuman bom Israel, Rumah Sakit Gaza menjadi sibuk. Seluruh perawat harus memulangkan para pasien rawat inap yang kondisinya mulai membaik agar dapat memberi ruang bagi para korban baru.

Sejumlah tindakan operasi dibatalkan. Meski demikian, tidak ada keluhan dari para pasien. Salah satu dari mereka bahkan berkata, "Tidak apa-apa dokter, kami tahu, bukan anda yang membatalkan operasi kami. Ariel Sharon-lah (kala itu menjabat Menteri Pertahanan Israel) yang membatalkannya," kenang Ang Swee Chai.

Hingga sore hari, bom semakin mendekati Rumah Sakit Gaza. Pada pukul 16.30, ia mendengar kabar Israel telah menyerbu Rumah Sakit Akka dan menembak mati para perawat, dokter, dan pasien.

Malam harinya, kamp Sabra dan Shatila dikepung. Rentetan peluru milisi Kristen Maronit, Phalange--sekutu Israel di Lebanon--dimuntahkan kepada penduduk Palestina.

Pada 18 September 1982, seiring dengan berakhirnya serangan terhadap pengungsi, ia bersama beberapa perawat lainnya dievakuasi dari Rumah Sakit Gaza menuju halaman gedung PBB di ujung kamp. Ia diinterogasi terkait dokumen dan afiliasi politik, hingga akhirnya ditawan di markas Israel.

"Mayat-mayat bertumpuk di gang-gang kamp dan buldoser menghancurkan rumah-rumah kamp. [...] setidaknya 3.000 orang terbunuh," tulisnya dalam Middle East Minormengenang perjalanan saat dibawa tentara Israel.

Pada 1 November 1982, ia bersama Ellen Siegel, perawat asal Amerika Serikat, turut memberikan kesaksian atas pembantaian terhadap warga Palestina di kamp Sabra dan Shatila dalam Komisi Kahan yang digelar di Yerusalem.

Namun kesaksiannya dinyatakan sangat bertentangan dengan informasi dari pejabat IDF (militer Israel) yang terlebih dahulu memberikan kesaksian. Akhirnya komisi tersebut tidak dapat mengurangi penderitaan rakyat Palestina.

Beberapa hari berikutnya ia kembali ke Inggris seiring dengan masa kerjanya sebagai sukarelawan telah habis. Sejak itu, anggapan tentang masyarakat Palestina sebagai sekumpulan teroris lenyap dalam benaknya. Ia tidak dapat menoleransi aksi-aksi militer Israel yang sebelumnya ia dukung dan hormati sebagai orang-orang pilihan Tuhan dalam keyakinannya.

Mendirikan Medical Aid for Palestinians

Sekembalinya ke Inggris, ia mendapat sambutan dari para sahabat dan suaminya, Francis Khoo. Ang Swee Chai berniat untuk melanjutkan perjuangannya membela rakyat Palestina.

Pada awalnya rencana itu terasa sulit. Tak banyak koran yang bersedia memublikasikan pengalamannya. Sebagian besar wartawan bahkan memilih anggota tim dokter yang asli kelahiran Inggris untuk menjelaskan peristiwa di Lebanon.

Atas bantuan biaya dari suaminya, ia membuat seminar secara mandiri untuk mengisahkan kondisi penduduk Palestina di kamp pengungsian.

Gayung bersambut, masyarakat Inggris mulai menunjukkan kepeduliannya dan siap memberikan bantuan untuk rakyat Palestina. Hasilnya, pada akhir tahun 1982, ia bersama suami dan para sukarelawan Inggris yang baru kembali dari Lebanon mendirikan lembaga bantuan medis bernama Medical Aid for Palestinians (MAP).

Lembaga amal ini memberikan bantuan medis bagi para korban dalam Perang Saudara Lebanon pada 1985 dan 1987. Seiring waktu, mereka tidak hanya bekerja untuk warga Palestina di Lebanon, tapi juga di Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Infografik Mozaik dr Ang Swee Chai

Infografik Mozaik dr. Ang Swee Chai. tirto.id/Tino

Gagal Masuk ke Singapura

Atas dedikasinya untuk kemanusiaan, pada 18 Maret 2016, Ang Swee Chai menjadi salah satu dari 14 wanita Singapura yang dianugerahi penghargaan Singapore Woman’s Hall of Fame dark Singapore Council of Women’s Organisations.

Namun, mengutip The Straits Time, ia tidak dapat menghadiri acara penghargaan tersebut karena status kewarganegaraan ganda. Otoritas imigrasi Singapura mengklaim telah empat kali memperingatkannya untuk menanggalkan kewarganegaraan Inggris.

Menurut Ang Swee Chai, permintaan itu sulit dipenuhi. Pasalnya akan berdampak pada hilangnya hak tinggal dan pekerjaannya sebagai dokter bedah di St. Bartholomew’s Hospital dan The Royal London Hospital.

Di sisi lain, dokter kelahiran Penang tahun 1948 ini enggan menanggalkan kewarganegaraan Singapura. Ia tumbuh besar dan mendapat gelar sarjana kedokterannya di University of Singapore, sebelum mengikuti program Fellowship of the Royal College of Surgeons di Inggris untuk menjadi dokter ahli bedah ortopedis.

Sebagai catatan, kepergiannya dari Singapura pada 1977 tidak terjadi atas kehendaknya sendiri. Kala itu, ia dikirim oleh Pemerintah Singapura untuk menjemput suaminya, Francis Khoo, yang melarikan diri ke Inggris.

Hal itu terjadi karena suaminya menentang penghapusan sistem peradilan juri di Singapura hingga terlibat dalam upaya "menyelamatkan Singapore Herald, harian berbahasa Inggris liberal yang ditutup oleh Pemerintah Lee Kuan Yew," tulis Bill Bowring dan Ang Swee Chai dalam "Obituary: Francis Khoo" dikutip dari majalah Socialist Lawyer.

Baca juga artikel terkait PALESTINA atau tulisan lainnya dari Andika Yudhistira Pratama

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Andika Yudhistira Pratama
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi