Menuju konten utama
12 Agustus 1865

Ilmu Bedah dan Antiseptik: Dari Sweeney Todd Hingga Joseph Lister

Kebersihan dan kondisi steril, baik kamar bedah, alat bedah, maupun dokter bedah merupakan prinsip dasar yang harus dipenuhi dalam tindakan operasi.

Ilmu Bedah dan Antiseptik: Dari Sweeney Todd Hingga Joseph Lister
Ilustrasi Mozaik Joseph Lister. tirto.id/Sabit

tirto.id - “To shave-a da face, to cut-a da hair, require da grace, require da flair. For if-a you slip, you nick-a da skin, you clip-a da chin, you rip-a da lip a bit, beyond-a repair.”

Itu adalah lirik yang dinyanyikan Adolfo Pirelli ketika beradu kemahiran mencukur melawan Sweeney Todd, si tukang cukur di London, dalam film musikal Sweeney Todd: The Demon Barber of Fleet Street. Pirelli sesumbar bahwa dirinya yang paling memiliki keluwesan dan kemahiran mencukur, karena meleset sedikit saja, kulit pelanggan akan terluka.

Meski mengaku pernah mencukur Sang Paus, tapi kontes mencukur itu berhasil dimenangkan oleh Sweeney Todd, yang tampaknya lebih cakap menggunakan pisau. Dalam sejumlah versi lain, profesi Sweeney Todd lebih ditegaskan lagi sebagai seorang barber-surgeon, alias “tukang cukur & bedah.”

Pada Abad Pertengahan di Eropa, profesi tukang cukur memang merangkap sebagai ahli bedah sekaligus dokter gigi. Kemahirannya menggunakan pisau, pekerjaan yang dekat dengan anggota tubuh dan kulit manusia, dianggap mumpuni untuk melaksanakan ketiga tugas berat tadi. Barber-surgeon mendapatkan keahliannya dari mengasah keterampilan dan magang sebagai asisten barber-surgeon lain yang lebih senior.

Selain gunting dan pisau cukur, seorang barber-surgeon juga harus mahir menggunakan gergaji untuk mengamputasi anggota tubuh, tang untuk mencabut peluru, juga bor tangan untuk melubangi tulang/tengkorak. Mereka membuka praktik di pusat kota atau berkeliling dari desa ke desa menenteng kotak perkakasnya, menawarkan jasa cukur rambut, jambang, atau cabut gigi (Tucker, Holly. Blood Work. A Tale of Medicine and Murder in the Scientific Revolution, 2011, hlm. 41-42).

Isu kebersihan dan sterilisasi tidak terbayangkan di masa itu.

Pada pertengahan abad ke-19, Joseph Lister, seorang mahasiswa kedokteran di London telah berkutat dengan peradangan pada jaringan kulit. Ia mempelajari jaringan kulit dan otot kuda, kucing, kelinci, dan marmut, selain juga jaringan mata para pasien yang ia operasi. Lister mempelajari tahap-tahap awal terjadinya peradangan dengan meneliti selaput kaki katak dan sayap kelelawar, yang ia kembangkan dari penelitian gurunya, Wharton Jones.

Meskipun ilmu kedokteran belum mengenal infeksi pada masa itu, tetapi studi-studi awal yang dilakukan Lister tentang terjadinya peradangan merupakan fondasi penting dalam kontribusi revolusioner Lister di masa depan terkait penyembuhan luka dan efek infeksi pada jaringan tubuh. (Howard, Edward R. “Joseph Lister: His Contributions To Early Experimental Physiology”, Notes & Records of Royal Society, Vol. 67, 2013, hlm. 191–198).

Praktik bedah pada masa Joseph Lister jauh dari bersih, apalagi steril. Kendati pada tahun 1546 Fracastoro sudah mengajukan teori bahwa kuman-kuman kecil dapat menyebabkan penyakit menular, tak satu pun ilmuwan dapat melihat hubungannya dengan terjadinya infeksi pada luka. Di rumah sakit, sprei dan jas lab tidak dicuci setelah digunakan. Pisau dan gunting bedah juga baru dibersihkan ketika hendak disimpan. Alat yang sama digunakan sepanjang hari untuk mengorek-ngorek nanah semua pasien, sedangkan luka bernanah dianggap sebagai bagian dari proses penyembuhan. Tindakan bedah pun dilakukan di ruang praktik biasa, bukan di kamar khusus. Rumah sakit-rumah sakit mulai melarang tindakan bedah karena seringnya terjadi komplikasi akibat pembusukan luka.

Lister tertarik pada proses penyembuhan luka ketika dirinya menjadi asisten Sir John Eric Erichsen, dokter bedah terkenal penulis Science and Art of Surgery (1853). Sebagaimana kepercayaan yang dipegang teguh hingga akhir abad ke-19 bahwa banyak penyakit menular disebabkan oleh udara busuk alias miasma, demikian pula Sir Erichsen melihat sebab pembusukan luka. Luka-luka yang membusuk mengotori udara sehingga menyebabkan gangrene. Lister tidak yakin miasma menjadi biang keroknya, karena ketika luka bekas operasi dibersihkan, beberapa luka bisa sembuh. Lister curiga terdapat sesuatu di dalam luka itu sendiri yang bertanggungjawab atas terjadinya gangrene dan sepsis. (Pitt, Dennis dan Jean-Michel Aubin, “Joseph Lister: Father of Modern Surgery”, Canadian Journal of Surgery, Vol. 55, No. 5, Oktober 2012, hlm. 8-9).

Ketika membaca hasil penelitian Louis Pasteur yang dilakukan pada tahun 1863, Recherches sur la putrefaction, Lister mulai melihat titik terang atas pencariannya. Pasteur mengajukan postulat bahwa pembusukan adalah sejenis fermentasi yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme yang bertanggung jawab atas terjadinya infeksi pada luka. Berangkat dari postulat ini, Lister beragumen bahwa infeksi dapat dicegah bila luka dijauhkan dari organisme penyebab pembusukan dan sepsis. (Clark, Paul F. “Joseph Lister. His Life and Work”, The Scientific Monthly, Desember 1920, Vol. 11, No. 6, hlm. 518-539).

Pada 1864, Lister tercengang dengan efek yang dihasilkan asam karbol (fenol) pada pengelolaan limbah di kota Carlisle, yang tidak hanya menghilangkan bau busuk, tetapi juga mematikan parasit pada ternak. Pada Maret 1865, Lister melakukan percobaan pertamanya pada manusia. Eksperimen itu gagal. Alih-alih menyerah, Lister semakin tekun menyempurnakan dosis zat antiseptik pertama itu.

Infografik Mozaik Ilmu Bedah

Infografik Mozaik Ilmu Bedah. tirto.id/Sabit

Pada 12 Agustus 1865, tepat hari ini 156 tahun silam, seorang bocah laki-laki bernama James G dibawa ke Glasgow Royal Infirmary karena mengalami retak pada kaki kirinya akibat tertabrak mereta. Lister membersihkan dan mengobati luka anak itu dengan kain yang sudah dicelupkan pada asam karbol. Empat hari kemudian ketika Lister memeriksa kembali luka James, tidak ada tanda-tanda terjadi pembusukan. Lister membersihkan lagi luka anak itu dengan kain yang diberi sedikit asam karbol. Lima hari kemudian, Lister tidak melihat tanda-tanda pembusukan atau munculnya nanah. Demikian Lister melaporkan keberhasilannya dalam “New Method of Treating Compound Fracture, Abscess, etc” di The Lancet, 16 Maret 1867.

Untuk mengukuhkan prinsip antisepsis temuannya, dalam makalahnya yang lain pada 1867, Lister menyatakan, “Untuk mencegah terjadinya pembusukan dengan segala risiko yang menyertainya adalah sesuatu yang sangat diinginkan. Tetapi sampai akhir-akhir ini tampaknya tidak mungkin tercapai, karena sepertinya sia-sia untuk mencoba mengecualikan oksigen, yang secara umum dianggap sebagai agen penyebab pembusukan. Tetapi ketika penelitian-penelitian Pasteur menunjukkan bahwa sifat septik pada udara tidak bergantung pada oksigen atau konstituen gas apa pun, tetapi pada organisme kecil… Berpijak pada prinsip ini saya mendasarkan sebuah praktik yang akan saya coba berikan penjelasan singkatnya.” (Lister, Joseph. “On The Antiseptic Principle in the Practice of Surgery”, The British Medical Journal, 21 September 1867, hlm. 246).

“Saya menggunakan larutan 1 banding 20 untuk kulit pasien dan tangan saya sendiri… selama 40 tahun saya mempraktikkan prinsip antiseptik, dan saya tidak pernah memiliki alasan untuk meragukan kemanjurannya...” Tetapi kemajuan yang dibuat Lister menjadi sasaran kritik dan lambat diperkenalkan di berbagai tempat. Perlu perjuangan panjang untuk meyakinkan para dokter dan rumah sakit bahwa kebersihan dan kondisi steril, baik kamar bedah, alat bedah, maupun dokter bedah merupakan prinsip dasar yang harus dipenuhi dalam melakukan tindakan operasi.

“Sistem antisepsis Joseph Lister adalah penemuan revolusioner yang prinsipnya tidak berubah sampai hari ini, bahwa sebisa mungkin mengusahakan tempat dan alat bedah yang digunakan steril. Teknik sterilisasi memang berubah-ubah dan semakin maju, tetapi prinsipnya tidak berubah,” demikian pernyataan Profesor Sjamsuhidajat dalam sebuah wawancara pribadi pada 6 Agustus 2021.

Dokter Sjamsu adalah dokter bedah senior yang telah mengajar ilmu bedah sejak dekade 1960-an hingga berhenti praktik pada 2010 lalu ketika usianya menginjak 80 tahun, batasan umur bagi dokter bedah Indonesia dalam melakukan tindakan. Pengalamannya yang panjang mengonfirmasi betapa fundamental prinsip yang dibangun Joseph Lister. Sementara barber-surgeon terakhir menutup praktik sekitar tahun 1820-an di Inggris.

Baca juga artikel terkait DOKTER BEDAH atau tulisan lainnya dari Uswatul Chabibah

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Irfan Teguh Pribadi