tirto.id - Putri Mako, cucu tertua Kaisar Jepang Akihito jadi berita pekan ini. Ia jadi kepala berita di sejumlah media terkait keputusan kontroversialnya melepaskan gelar kebangsawanan demi menikahi rakyat biasa. Konstitusi di Jepang memang mengatakan, perempuan dalam keluarga kerajaan harus melepas kebangsawanannya jika menikahi pria dari rakyat biasa.
Pria yang merebut hati Putri Mako itu bernama Kei Komuro, seorang karyawan di sebuah badan hukum di Yokoshima, Jepang. Keduanya bertemu pada 2011 lalu saat masih menjadi mahasiswa di International Christian University di Tokyo. Setahun kemudian, Kei memberanikan diri melamar kekasihnya, yang jelas-jelas bukan orang sembarangan.
Lamaran itu rupanya tak hanya diterima Putri Mako, tapi juga direstui kedua orang tuanya, Pangeran Naruhito dan Putri Kiko. Bahkan juga mendapat restu dari kakek-neneknya, Kaisar Akihito dan Permaisuri Michiko. Tanggal pertunangan mereka, seperti dikutipJapan Times, akan diumumkan pertengahan Juni mendatang, dan pesta pernikahannya sendiri direncanakan berlangsung tahun depan.
Semua tampak berjalan lancar, kecuali fakta bahwa Putri Mako harus rela meninggalkan tahta kebangsawanannya dan mengikuti suami jadi rakyat biasa. Aturan Kekaisaran Jepang yang menganut sistem patriarkat memang belum adil pada perempuan, sebab aturan yang sama tak berlaku pada laki-laki di keluarga Kekaisaran. Tante dan nenek Putri Mako: Putri Masako dan Permaisuri Michiko sendiri adalah keturunan orang biasa yang dipersunting pangeran dan kaisar. Tapi, Putri Mako sepertinya tak peduli, risiko kehilangan kebangsawanan pun tampaknya siap dijalaninya.
Ia memang bukan Putri Jepang pertama yang akan dikeluarkan dari silsilah tahta. Bibinya—adik bungsu sang ayah—Putri Sayako menikahi pegawai negeri di Kantor Gubernur Tokyo pada 2005 silam, dan tentu saja kehilangan kebangsawanannya. Ia mengganti namanya menjadi Sayako Kuroda, mengikuti sang suami, Yoshiki Kuroda.
Kala itu, keputusan Sayako tentu saja sebuah kontroversi yang mengundang debat pro dan kontra. Keluarga Kerajaan Jepang masih dianggap dewa oleh masyarakatnya sampai 1946. Bagi golongan konservatif, keputusan Sayako membuang kebangsawannya tentu saja dipandang negatif. Tapi di saat bersamaan, aturan yang memaksa Putri-Putri Kerajaan melepaskan kebangsawanannya ketika menikahi orang biasa juga dikecam.
Sayako tak patah arang. Ia bulat pada tekadnya memilih cinta. Ia bahkan jauh-jauh hari mempersiapkan diri untuk jadi ibu rumah tangga, mempelajari hal-hal yang selama ini tak perlu repot-repot dipelajarinya, seperti: menyetir, berbelanja di pasar, dan membeli perabotan rumah lewat katalog.
Selepas menikah, Sayako bahkan tinggal di sebuah apartemen yang cuma punya satu kamar bersama suaminya. Lepasnya kebangsawanan Sayako juga membawanya pada hak dan kewajiban warga negara, seperti: membayar pajak, ikut pemilu, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah.
“Aku ingin belajar macam-macam hal baru dan menanti-nanti kehidupan baruku sebagai anggota keluarga Kuroda, sambil memupuk (kenangan) di hati tentang hidupku bersama Yang Mulia dan keluargaku,” ungkap Sayako, selepas resepsi pernikahannya, 12 tahun silam.
Lalu siapkah Putri Mako juga melewati perubahan nasib seperti sang bibi?
Ia memang belum melemparkan pernyataan apa pun tentang pernikahannya, namun keseriusan Putri Mako tergambarkan dari rencana pernikahan yang sudah dibocorkan publisis Kekaisaran Jepang. Jika semua lancar, Putri Mako dan Kei Komuro akan mengakhiri masa lajang mereka di usia 26, usia yang relatif muda.
Jikalaupun jadi rakyat biasa, usia muda tampaknya bukan jadi masalah sang Putri untuk membangun masa depan keluarga yang cerah. Ia kini adalah seorang peneliti afiliasi di University Museum of Tokyo, yang pada Januari 2016 lalu mendapat gelar masternya dari University of Leicester, Inggris. Putri Mako juga kini masih tercatat sebagai mahasiswa doktoral di International Christian University.
Sang calon suami bekerja di lembaga hukum. Saat ini, Komuro memang belum berkualifikasi sebagai pengacara, tapi mantan pegawai bank ini terkenal cerdas, gigih, dan gampang bersosialisasi. Ia kini juga tengah mengambil masternya di jurusan hukum bisnis di Hitotsubashi University’s Graduate School of Internasional Corporate Strategy.
Antara Cinta dan Tahta
Dalam sejarah manusia, para bangsawan dari berbagai kerajaan dan kekaisaran di dunia memang punya aturan sendiri tentang pernikahan. Kebanyakan dari mereka menimbang pernikahan sebagai tindakan politik, ekonomi, dan diplomatik untuk mempertahankan kekuasaan, memperluas daerah, gencatan senjata, mempertahankan darah biru, atau menjaga eksklusivitas.
Praktik ini terjadi di sepenjuru dunia. Misalnya Kerajaan Inggris, Dinasti Cina, bahkan Kerajaan-Kerajaan Indonesia di zaman Hindu-Buddha hingga pasca-proklamasi: Ratu Elezabeth II menikahi Pangeran Phillip yang masih sepupu jauhnya; Pangeran Dorgon, bupati Qing Manchu di China menikahi Putri Yishun dari Korea; bahkan dalam tahapan keraton, Raden Ajeng Kartini disuruh menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang demi menjaga kedamaian.
Tak menuruti aturan kerajaan tentu saja punya risiko yang besar. Salah satunya seperti yang dihadapi Sayako dan Putri Mako: ancaman dikeluarkan dari silsilah tahta. Pengalaman yang sama juga dirasakan sejumlah bangsawan yang berani melanggar norma, seperti Pangeran Johan Friso dari Belanda, yang kehilangan didepak dari keanggotaan kerajaan karena menikahi Mabel Wisse Smit, seorang aktivis HAM.
Tapi sebagian besar keluarga monarki sudah mulai lebih terbuka pasca-Perang Dunia I, masa ketika jumlah kematian akibat perang begitu banyak. Para pangeran, raja, dan kaisar di sejumlah monarki mulai berani mempersunting rakyat jelata. Mereka yang terkenal di antaranya adalah Diana Spencer yang dinikahi Pangeran Charles dari Inggris, dan Kate Middelton yang dinikahi putra pertama Diana, Pangeran William.
Di Jepang sendiri, nenek dan tante Putri Mako juga orang biasa yang dipersunting keluarga kerajaan. Tapi kakek dan pamannya tak sampai dikeluarkan dari silsilah tahta karena krisis regenerasi yang melanda Jepang sejak 1965.
Dengan keluarnya Putri Mako dari dari silsilah tahta, maka komposisi anggota kekaisaran Jepang kian menipis. Padahal jika hukum yang ada direvisi dan tetap membiarkan Putri Mako, ataupun Sayako untuk tetap jadi bagian kerajaan, mereka bisa saja melahirkan putra-putra yang bisa meneruskan generasi. Tapi tampaknya Putri Mako tak peduli tentang masalah itu. Ia sudah punya pilihan dari pertanyaan sulit tentang tahta atau cinta.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani