Menuju konten utama
29 Mei 1973

Kisah Puteh Ramlee, Seniman Besar Malaysia Berdarah Aceh

Teuku Zakaria bin Teuku Nyak Puteh alias P. Ramlee merupakan seniman besar Malaysia yang juga disukai di Indonesia.

Kisah Puteh Ramlee, Seniman Besar Malaysia Berdarah Aceh
Ilustrasi Mozaik P Ramlee. tirto.id/Sabit

tirto.id - Dunia hiburan Indonesia kehilangan Bing Slamet, seniman serba bisa yang meninggal pada 17 Desember 1974. Setahun sebelumnya, Malaysia juga kehilangan sosok seniman penting, yakni Teuku Zakaria bin Teuku Nyak Puteh alias P. Ramlee, yang wafat pada 29 Mei 1973, tepat hari 48 tahun lalu. Keduanya nyaris seumuran, berkarier di zaman yang sama, dan sama-sama memulai karier sejak muda.

Teuku Nyak Puteh (1902-1955) adalah orang Aceh dari Lhokseumawe dan masih terhitung keluarga Uleebalang--kepala pemerintah dalam Kesultanan Aceh yang memimpin suatu daerah setingkat kabupaten. Menurut James Harding dan A. H. Ahmad Sarji dalam P. Ramlee The Bright Star (2002:3), ayah P. Ramlee menyeberangi Selat Malaka dan menetap di Penang. Di tempat ini terdapat banyak pedagang asal Aceh.

P. Ramlee yang lahir pada 22 Maret 1929 belajar di Sekolah Melayu, lalu melanjutkan ke Penang Free School jelang Perang Pasifik. Sejak remaja dia sudah bisa memainkan biola, gitar, piano, dan ukulele. Alat musik terakhir mulai dikuasainya pada usia 13 tahun. Sejak muda, P. Ramlee sudah ikut kelompok orkes sebagai pemain musik, seperti orkes Teruna Sekampung dan Sinaran Bintang Sore. Dia mulai berkarier sejak 1946 dan pada 1947 menjadi juara bintang radio di Penang. Di masa inilah dia mulai memakai nama P. Ramlee sebagai nama panggungnya.

Dia kemudian hidup dari panggung ke panggung dan mulai terkenal di semenanjung Malaya. Pada suatu malam di bulan Juni, P. Ramlee diundang untuk bernyanyi dalam pameran pertanian di Bukit Mertajam. Salah satu penontonnya di malam itu adalah Balden Singh Rajhans, pembuat film yang terpukau oleh P. Ramlee. Dia pun mengajaknya untuk main dalam film Chinta (1948).

Sebagai pendatang baru, P. Ramlee menerima peran antagonis. Dia memerankan Putar, lelaki yang menaruh hati pada Chinta dan menjadi penghalang hubungan Chinta dengan Raja Kanchi. P. Ramlee tidak hanya berakting, tapi juga menyanyikan beberapa lagu dalam film tersebut. Bersama Rajhans, P. Ramlee juga bermain dalam delapan film lainnya. Anjoran Nasib (1952) adalah film terakhirnya dengan Rajhans.

Hingga tahun 1955, P. Ramlee telah bermain dalam 27 film. Ya, kiprahnya di dunia film memang cukup gemilang. Pada 1957, perannya sebagai Hassan dan Sazali--ayah dan anak dalam film Anakku Sazali (1956) yang disutradarai oleh Pengarah Phani Majumdar--diganjar penghargaan sebagai aktor terbaik dalam Festival Film Asia ke-4 di Tokyo. Karier film dan musik P. Ramlee saling mendukung. Dalam film Hang Tuah (1956) yang disutradarai Phani Majumdar, lagu yang digarap Ramlee menjadi lagu terbaik.

Sejak era 1950-an, P. Ramlee juga turut mencoba menjadi sutradara untuk film-film yang dibintanginya. Film-filmnya tak hanya diputar di Malaysia, tapi juga masuk ke Indonesia. Film yang dibuatnya pada 1957 berjudul Bujang Lapok, terdiri dari 3 seri: Bujang Lapok (1957), Pendekar Bujang Lapok (1959), dan Seniman Bujang lapok (1961). Film-film itu dibintangi P. Ramlee bersama S. Shamsuddin dan Aziz Sattar. Televisi swasta Indonesia era 1990-an pernah menayangkan film-film P. Ramlee yang masih bergambar hitam putih.

Salah satu film P. Ramlee yang juga diapresiasi di forum Asia adalah Ibu Mertuaku (1962). Film ini bercerita tentang penyanyi Kassim Selamat yang dikibuli ibu mertuanya hingga terpisah dari istrinya. Di film ini dia berakting, bernyanyi, sekaligus menjadi sutradara.

Infografik Mozaik P Ramlee

Infografik Mozaik P Ramlee. tirto.id/Sabit

Dari Ahmad Dhani hingga Upin Ipin

Satu dekade silam, Ahmad Dhani bersama TRIAD membawakan lagu yang pernah dinyanyikan P. Ramlee, Madu Tiga. Lagu tersebut terdapat dalam film dengan judul yang sama, yang dirilis pada 1964. Bercerita tentang Jamil, laki-laki yang berpoligami setelah 12 tahun kawin tanpa mempunyai anak. Tak hanya dua, Jamil akhirnya memiliki istri ketiga. Dalam film ini, P. Ramlee menjadi sutradara selain berakting dan menyanyi. Film Madu Tiga didapuk sebagai film komedi terbaik dalam Festival Film Asia ke-11 di Taipei (Taiwan).

Dalam kariernya di dunia hiburan, P. Ramlee melakukan lebih dari yang dilakukan oleh Rhoma Irama. Jika Rhoma Irama nyaris selalu menjadi jagoan utama dalam filmnya, P. Ramlee tidak mau sendirian jadi jagoan, setidaknya itu terlihat dalam film Bujang Lapok.

Sepanjang hidupnya, P. Ramlee telah bermain dalam 60 film lebih dan telah menyanyikan setidaknya 300-an lagu. Dia yang berdarah Aceh ini terhitung sebagai seniman agung di Malaysia. Kebesaran P. Ramlee setidaknya ikut diabadikan dalam serial animasi anak dari Malaysia yang sohor di Indonesia, Upin Ipin.

Upin dan Ipin dalam Kenangan Mengusik Jiwa tampak menikmati film-film P. Ramlee koleksi Atuk Dalang. Dalam seri tersebut, tokoh-tokoh kartun banyak meniru dialog dalam film-film P. Ramlee. Azis Sattar bahkan muncul dalam seri itu. Upin Ipin yang punya potensi untuk jadi semacam agen kebudayaan Malaysia tampak menggambarkan P. Ramlee sebagai kebanggaan negaranya. Ya, P. Ramlee yang mendapat gelar Tan Sri itu memang seorang seniman besar.

Baca juga artikel terkait SENIMAN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh