tirto.id - Virus Covid-19 nyaris tak bisa dihindari. Keberadaannya pun nyaris sudah tersebar di seluruh Indonesia, termasuk di ujung Timur Indonesia. Dokter Sri Riyanti Windesi SpA pun bercerita tentang pengalamannya saat bertugas di RSUD Selebesolu kota Sorong selama masa pandemi ini.
Riyanti adalah dokter yang sering berpindah tugas. Ia pertama kali ditempatkan sebagai dokter umum di Pusat Kesehatan Masyarakat (PKM) Siriwini Nabire, Papua pada tahun 1994. Kemudian pertama praktik spesialis anak di RSUD Fakfak Papua Barat 2012 dan sempat berpindah-pindah di Raja Ampat dan Kaimana.
Riyanti bilang, pada awal virus corona Covid-19 masuk di bulan Maret 2020, kenaikan kasusnya masih berfluktuasi. Namun, setelah masuk ke bulan Juni sampai September 2020, kasusnya mulai parah, termasuk kasus anak, tapi masih banyak kasus ringan.
Saat Riyanti ikut menangani kasus Covid-19, keluarganya merasa amat cemas. Sebab, kala itu pengetahuan dan pengalaman tentang virus tersebut masih sangat terbatas. Kendati demikian, Riyanti mengaku mendapat dukungan penuh dari keluarganya sembari terus mengingatkan agar selalu patuh terhadap protokol kesehatan.
Dokter Riyanti pun memilih untuk pisah kamar tidur karena setiap hari melakukan kontak dengan pasien Covid-19. Ia pun harus keluar dari rumah di saat orang lain tetap berada di rumah. Selain itu, kamar mandi dan semua peralatan yang dari luar pun pun harus didesinfeksi.
"Jujur sebagai manusia biasa pada awal merawat pasien Covid-19 saya sangat takut dan cemas. Apalagi setiap hari mendengar berita teman sejawat yang berguguran akibat Covid-19," kata dr Sri Riyanti sebagaimana dilansir laman resmi Satgas Covid-19.
Tantangan di Awal Pandemi
Dokter kelahiran Kota Biak, Papua ini mengatakan, tantangan yang harus ia hadapi, termasuk nakes lainnya adalah: ada yang percaya Covid-19, ada yang tidak percaya dan ada juga yang menganggap sikap Riyanti terhadap virus itu berlebihan. Di sisi lain, jumlah APD pun masih terbatas.
Belum lagi, kata dia, saat tenaga kesehatan mulai mendapat bantuan mask N95, justru ada pihak-pihak yang menuduh rumah sakit sengaja membuat situasi menjadi buruk sehingga bisa menvonis seseorang terkena Covid-19 dan mendapat keuntungan dari sana.
"Sedih bila ada keluarga pasien yang menghujat nakes, mengatakan kami sengaja meng-covid-kan semua pasien," kata dokter Riyanti.
Belum lagi, kata dia, ada keluarga pasien yang tidak jujur dan menyembunyikan hasil rapid yang reaktif sehingga menyebabkan nakes ikut tertular. Kendati demikian, ia mengaku senang apabila ada pasien yang sembuh dan diperbolehkan pulang ke rumah.
"Senang juga saat hasil swab kami semua petugas yang terpapar hasil swabnya negatif," tutur dr Sri Riyanti.
Sebagai seorang tenaga kesehatan, ia pun sedih kalau mendengar ada yang meninggal. "Meskipun pasien saya alhamdulillah tidak ada yang meninggal karena covid," katanya.
Maka daripada itu, ia pun kesal kalau melihat orang-orang yang melanggar protokol kesehatan. Namun, hal lain yang membuatnya tetap kuat menghadapi kondisi ini adalah masih banyak teman, sahabat, keluarga yang mengapresiasi pekerjaan tenaga kesehatan, yang juga mendoakan agar tetap semangat dan menjaga diri.
"Alhamdulillah makin ke sini saya makin tenang, makin bisa berdamai dengan pandemi ini, apalagi setelah makin banyak orang mendapat vaksinasi. Protokol kesehatan akhirnya menjadi prosedur tetap yang mengalir begitu saja, menjadi kebiasaan sehari-hari," ujar dr Sri Riyanti.
Ia pun mengingatkan masyarakat yang abai terhadap protokol kesehatan, karena ada banyak orang yang kehilangan keluarga tercintanya karena Covid-19. Selalu #IngatPesanIbu dengan cara menerapkan 3M yakni memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak.
"Sudah divaksin bukan berarti kebal, vaksinasi covid hanya salah satu cara menurunkan tingkat penularan, prokes tetap wajib dijalankan," kata dr Sri Riyanti.
Ia pun berharap pandemi ini akan segera berakhir dan situasi kembali seperti sedia kala. "Semoga kita bertemu di waktu yang akan datang tanpa ketakutan, rasa cemas, bisa menghirup udara bebas," tutur dr Riyanti.
Editor: Agung DH