tirto.id - Lima tahun pertama dalam hidup Nabi Muhammad dihabiskan di sebuah desa di gurun, agak jauh dari kota Makkah. Dia diasuh dan disusui seorang perempuan dari suku Hawazin bernama Halimah al-Sa’diyah binti Dzuayb.
Pada masa itu sangat lazim terjadi bayi dari kalangan berada di Makkah diasuh dan disusui para ibu dari perdesaan gurun. Selain karena udara desa yang lebih menyehatkan, si bayi juga diharapkan bisa belajar bahasa Arab “murni”.
Halimah mengasuh Muhammad, yang sudah yatim sejak dalam kandungan, seperti anaknya sendiri. Konon, menurut sumber-sumber tradisional Islam, rezeki keluarga Halimah semakin lancar selama Muhammad bersama mereka. Air susu Halimah juga tidak pernah mengering.
Ketika Muhammad berumur sekitar dua tahun, Halimah membawanya kembali ke ibunya. Tapi perasaan Halimah kepada sang bocah sudah kepalang sayang. Ia pun memohon kepada Aminah, ibunda Muhammad, untuk melanjutkan pengasuhan. Aminah mengabulkan. Halimah kemudian menggendong lagi Muhammad untuk pulang ke desanya.
Beberapa bulan setelah itu, terjadi sebuah peristiwa ajaib. Suatu kali, putri Halimah berlarian melaporkan kepada sang ibu bahwa Muhammad didatangi dua lelaki berpakaian serba putih untuk membelah dadanya. Halimah ketakutan dan segera mendatangi Muhammad di tempat ia bermain. Saat Halimah keluar, Muhammad sudah berada di depan rumah dengan wajah pucat.
Sumber-sumber Islam tradisional Islam menceritakan kisah tersebut dan umumnya menafsirkan dua orang yang mendatangi Muhammad adalah para malaikat. Dua malaikat itu bertujuan untuk menyucikan hati Muhammad.
Kontroversi dan Faktualitas
Seturut penelusuran Mun’im Sirry dalam Kontroversi Islam Awal: antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis (2013), sumber tertua yang mengisahkan cerita itu adalah Musannaf, kitab kumpulan hadis yang disusun Abd al-Razzaq al-San'ani pada abad ke-8. Menurut Mun'im, riwayat-riwayat lain menyebut detail yang berbeda-beda mengenai peristiwa pembelahan dada itu. Ada yang menyebut operasi tersebut dilakukan dua burung; ada pula, bersumber dari sebuah hadis, yang menyatakan operasi dilakukan langsung oleh malaikat Jibril dan Mikail.
Selain hadir dalam berbagai versi yang berbeda-beda, cerita itu juga terdengar tidak masuk akal terutama bagi para pembaca modern. Tafsir historis dan hipotesis Mun’im bisa menjadi pertimbangan menarik untuk menilai peristiwa tersebut.
“Keragaman versi tersebut,” catat Mun’im, “tidak perlu dibaca dalam konteks kontradiksi, karena persoalannya bukan apakah kisah-kisah penyucian itu bersifat historis atau tidak. Berbagai versi penyucian Nabi yang beragam tersebut merefleksikan perkembangan doktrin ‘ishmah (kemaksuman Nabi) yang mulai menjadi diskursus penting pada abad kedelapan dan sesudahnya” (hlm. 236).
Bagi umat beragama, kisah-kisah keajaiban seorang nabi memang kadang-kadang tidak untuk dibuktikan faktualitas atau historisitasnya. Yang lebih dipentingkan adalah aspek teologisnya.
Beberapa penulis biografi Nabi Muhammad dari kalangan Islam juga memperdebatkan kisah tersebut dan mempertanyakan mukjizat-mukjizat lain. Salah satu yang paling menonjol adalah Muhammad Husain Haekal, bekas menteri pendidikan dan cendekiawan Mesir awal abad ke-20.
Dalam biografi Nabi Muhammad yang dipublikasikan pertama kali pada 1935 dan telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa (terjemahan bahasa Indonesia terbaru diterbitkan pada 2015 dengan judul Sejarah Hidup Muhammad), Haekal menyampaikan keberatannya, meski tidak eksplisit, atas faktualitas kisah itu. Ia hanya memaparkan perdebatan di kalangan orientalis awal abad ke-20 dengan para sarjana Islam tentang peristiwa tersebut (hlm. 126-128). Tapi bisa kita baca, Haikal tidak menguraikan peristiwa pembelahan dada Muhammad kecil sebagai fakta.
Sementara Karen Armstrong dalam Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis (2011), memilih jalan tengah serta lebih berhati-hati menyusun narasi tentang pembelahan dada tersebut. Armstrong bahkan tidak memberi uraian kritis atas kisah itu dan seperti “percaya begitu saja” terhadap apa yang tertera dalam sumber tradisional.
“Kisah ini sama dengan legenda-legenda di kebudayaan lain yang menggambarkan suatu permulaan: Kisah itu menyimbolkan kemurnian yang diperlukan jika permulaan itu adalah untuk menerima suatu pengalaman ketuhanan tanpa menodai pesan sucinya,” catat Armstrong (hlm. 89).
Tapi betapapun sukar dibuktikannya kisah tersebut, keberadaan Nabi Muhammad kecil di desa Halimah bisa diterima hampir semua sarjana pengkaji Islam. Bahkan periode lima tahun di bawah pengasuhan Halimah boleh jadi merupakan salah satu momen terindah dalam masa kanak-kanak Nabi Muhammad.
Kelak, ketika Nabi Muhammad sudah menjadi orang terpandang, ia tidak pernah melupakan ibu susunya itu. Nabi sangat menghormatinya. “Setiap kali Halimah datang berkunjung, Nabi membentangkan pakaiannya yang paling berharga untuk tempat duduk Halimah,” tulis Haikal (hlm. 129).
==========
Pada Ramadan tahun ini redaksi menampilkan sajian khusus bernama "Tarikh" yang ditayangkan setiap menjelang sahur. Rubrik ini mengambil tema besar tentang sosok Nabi Muhammad sebagai manusia historis dalam gejolak sejarah dunia. Selama sebulan penuh, seluruh artikel ditulis oleh Ivan Aulia Ahsan (Redaktur Utama Tirto.id dan pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta).
Editor: Irfan Teguh