Menuju konten utama
24 Juni 1895

Kisah Jack Dempsey dan Restoran dalam Film The Godfather

Setelah gantung sarung tinju, Jack Dempsey membuka sebuah restoran di New York. Namun krisis ekonomi memaksa restorannya tutup.

Kisah Jack Dempsey dan Restoran dalam Film The Godfather
Header Mozaik Jack Dempsey. tirto.id/Tino

tirto.id - “Dalam satu setengah jam kamu akan dijemput di depan restoran Jack Dempsey,” ujar Santino Corleone kepada Michael di meja makan rumahnya. Beberapa saat kemudian, Michael sampai di lokasi yang dituju. Ia setengah celingukan sambil sesekali melihat-lihat memorabilia termasuk potongan artikel dan foto petinju legendaris Jack Dempsey.

Setelah itu, Michael dijemput oleh kapten polisi McCluskey dan Sollozzo menggunakan mobil. Mereka menuju ke restoran lain untuk merundingkan bisnis keluarga. Sesuai rencana, dua penjemputnya ditembak mati oleh Michael saat mereka menikmati makan malam. Alur kisah penembakan itu adalah bagian dari film The Godfather (1972) karya Francis Ford Coppola.

Dalam kehidupan nyata, Dempsey memang dikenal sangat bangga dan menikmati bisnis restoran yang dibangunnya sendiri. Sejak pertama kali dibuka pada 1935, restoran itu secara konsisten memberikan layanan makan malam dengan pengalaman seru mendengarkan berbagai anekdot seputar pertandingan tinju langsung dari sang legenda, Jack Dempsey. Selain itu, ada juga pertunjukan tari dan musik. Semuanya tanpa biaya tambahan. Para pengunjung hanya membayar makanan dan minuman yang dipesan.

Restoran yang berlokasi di depan bangunan ikonis Madison Square Garden ini dengan cepat menjadi populer di kalangan warga kota New York. Bert Sugar, sejarawan olahraga, dikabarkan sempat kaget ketika melintas di depan restoran itu.

"Saya sedang berjalan di Broadway dan saya melihatnya di jendela. Dempsey sendiri! Saya tidak bisa memercayainya. Saya pikir itu poster."

Berbeda dengan Bert Sugar, para penggemar tinju yang datang ke sekitar lokasi restoran itu sudah terbiasa dengan sapaan hangat Dempsey. Ia sering melakukannya dari pojok salah satu bilik restorannya.

Dempsey juga kerap berkeliling melayani permintaan tanda tangan dan foto para penggemarnya. Menurut beberapa media yang menulis artikel tentang restoran itu, Dempsey terlihat benar-benar menikmati aktivitas barunya. Selain bisnisnya lancar, para pengunjung juga membuatnya merasa tak pernah pergi jauh dari olahraga tinju yang dicintainya.

Mengalahkan Juara Kelas Berat

Jack Dempsey mulai terkenal ketika Perang Dunia I baru berakhir. Gaya bertinjunya yang agresif membuatnya dijuluki The Manassa Mauler. Ia lahir dari keluarga yang sangat miskin di Manassa pada 24 Juni 1895, tepat hari ini 127 tahun lalu. Setelah mengalami berbagai kesulitan, keluarga Dempsey akhirnya menetap di Salt Lake. Dempsey yang baru berusia 16 tahun terpaksa putus sekolah dan harus membiayai hidupnya sendiri.

Di masa itulah kemampuan tinjunya mulai diasah. Dempsey mendatangi banyak tempat untuk mengajak siapa saja bertinju. Uang taruhan yang terkumpul menjadi incarannya usai bertanding. Dari judi adu jotos jalanan ini ia sanggup membiayai hidup sekadarnya. Tak perlu waktu lama, nasib baik menghampiri Dempsey. Ia terus mendapatkan kesempatan hingga akhirnya mendapat tawaran untuk melawan Jesse Willard, juara kelas berat yang 5 Inci lebih tinggi dan 55 Pon lebih berat darinya.

Sebelum melawan Willard, rekor Dempsey sudah lumayan baik. Ia mengantongi 56 kemenangan dengan hanya empat kali kalah dan sembilan kali imbang. Bahkan dalam enam pertandingan terakhir, ia menganvaskan lawan-lawannya di ronde pertama. Namun Willard jelas bukan petinju kacangan. Terbukti, Willard hanya perlu 20 kali kemenangan profesional untuk menjadi juara dunia.

Pertandingan melawan Dempsey dijadwalkan digelar pada 4 Juli 1919. Dalam laga itu Willard sang juara kelas berat justru harus tujuh kali mencium kanvas ring di ronde pertama. Dempsey keluar sebagai pemenang. Selama tujuh tahun berturut-turut, ia sukses mempertahankan sabuk juara dengan meladeni lima penantang.

Kesuksesan Dempsey di ring tinju berbanding lurus dengan kehidupan finansialnya yang moncer. Ia laris jadi bintang iklan sejumlah produk hingga membuatnya diundang ke berbagai wilayah AS dan sponsor pun berdatangan. Dempsey bahkan sempat tampil dalam produksi film yang kian melambungkan namanya.

Pensiun dari Tinju, Menjadi Pengusaha Restoran

Setelah beberapa tahun berstatus sebagai juara dunia, kehidupan Dempsey berubah. Jack Kearns, manajernya, mengaku kepada media bahwa Dempsey benar-benar kelimpahan rezeki. Secara finansial, ia telah menjadi orang kaya. Meski popularitas dan kekayaan material terbukti tidak mengganggu performa Dempsey di atas ring, hal itu diyakini berpengaruh pada keputusannya untuk absen dari ring tinju dalam waktu yang cukup lama. Pertandingannya melawan Luis Angel Firpo pada 4 September 1923 menjadi pertandingan terakhir Dempsey sebelum rehat tiga tahun.

Ia baru naik ring lagi untuk menghadapi Gene Tunney, petinju AS berdarah Irlandia yang pernah jadi bagian dari Angkatan Laut AS. Meski rekor bertinjunya kalah dari Tunney, tapi Dempsey tetap diunggulkan menang. Namun, mereka yang mengunggulkan Dempsey harus pulang dengan kecewa setelah menonton pertandingan itu. Di akhir pertandingan poin Dempsey kalah banyak dari lawannya.

Red Smith, jurnalis harian The New York Timesmenuliskan cerita kekalahan Dempsey itu dalam artikel obituarinya. “Sayang, aku lupa untuk menghindari pukulannya,” kata Dempsey kepada istrinya yang menemuinya di ruang ganti usai kekalahan tersebut.

Infografik Mozaik Jack Dempsey

Infografik Mozaik Jack Dempsey. tirto.id/Tino

Kekalahan itu membuat Dempsey mulai berpikir untuk berhenti bertinju. Tapi ia sempat naik ring lagi pada 21 Juli 1927. Jack Sharkey, lawannya kala itu, jadi tumbal kemenangan terakhir Dempsey. Pada tanding ulang tanggal 22 September, Dempsey kalah. Kekalahan ini membuatnya benar-benar pensiun dari tinju profesional.

Setelah pensiun, Dempsey sebenarnya punya banyak waktu untuk mencoba peruntungan di luar ring. Tapi, hampir satu dekade penuh ia memilih untuk menyibukkan diri dengan berkeliling AS dan tampil dalam berbagai pertandingan ekshibisi. Maklum, dari tur ekshibisi semacam itu pemasukan uangnya mengalir deras. Ia bahkan sempat tampil lagi dalam sebuah film produksi MGM pada 1933 dan berperan sebagai wasit tinju.

Pada 1935 ia mulai membuka restoran di New York dengan menempati sebuah bangunan tiga lantai di seberang Madison Square Garden, tempat beberapa pertandingannya digelar. Setelah membuka restoran, hingga bertahun-tahun berikutnya, ia ramah menyapa para pengunjung sambil berpose bersama. Tahun 1947, Dempsey memindahkan lokasi restoran ke lantai dasar gedung Brill di Broadway. Menu makanan ditambah, pengunjung bisa menikmati beragam hidangan laut, steak, hingga kue-kue pencuci mulut.

Aktivitasnya di restoran memungkinkan Dempsey memiliki perspektif lain dalam memandang karier tinjunya.

“Di masa jaya sebagai juara, saya tentu tidak bisa melihat sesuatu dengan terlalu objektif. Hal itu karena saya terlalu dekat dengan karier yang sedang di puncak,” ujar Dempsey dalam autobiografinya berjudul Championship Fighting: Explosive Punching and Aggressive Defence (1950:3)

Sekali waktu ketika kehidupan ekonomi agak memberatkan bagi pengusaha kelas menengah di AS, restoran Jack Dempsey terkena dampaknya. Harga sewa melonjak drastis. Beberapa masalah lain muncul dan memaksanya untuk menutup restoran itu pada 1974. Jack Dempsey meninggal pada 31 Mei 1983 dalam usia 87 tahun.

Baca juga artikel terkait PETINJU DUNIA atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Tyson Tirta
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Irfan Teguh Pribadi