tirto.id - Bert Randolph Sugar, penulis tinju dan sejarawan olahraga yang telah menulis lebih dari 80 buku, menyebut kembalinya George Foreman ke ring tinju sebagai cerita comeback terbaik dalam sejarah. George Foreman pernah mengundurkan diri dari ring tinju di usia yang baru 28 tahun. Ia memutuskan menekuni karier baru sebagai pendeta.
Namun sepuluh tahun kemudian, ia kembali bertinju. Hingga kini, George Foreman masih memegang rekor petinju tertua yang meraih gelar juara kelas berat versi WBA dan IBF di usia 45 tahun.
Karier gemilang Foreman dimulai tahun 1968 ketika ia berhasil meraih medali emas olimpiade di Mexico City. Saat kembali ke AS, ia diarak keliling kota sambil melambaikan bendera AS kecil layaknya pahlawan perang. Setahun setelah meraih medali emas, Foreman terjun ke tinju profesional. Selanjutnya, Foreman yang dijuluki "Big George" langsung mencatat rekor gemilang: 40 kemenangan beruntun.
Di antara 40 pertandingan itu, ada nama Joe Frazier, juara kelas berat versi WBA, WBO, dan majalah The Ring. Mulanya publik tinju meramalkan sebuah pertandingan seru, namun Frazier justru dipukuli sejak ronde pertama dan akhirnya menyerah KO di ronde kedua. Pertandingan singkat itu mengangkat nama "Big George" ke puncak daftar nama petinju terbaik kelas berat dunia.
Setelah menghajar Frazier, Foreman sempat berhasil mempertahankan gelarnya dua kali ketika melawan José Roman dan Ken Norton. Kekalahan pertama baru datang di pertandingan profesional Foreman yang ke-41. Lawannya bukan petinju sembarangan: Muhammad Ali. Pertandingan itu digelar di Zaire--sekarang bernama Republik Demokratik Kongo.
Promotor Don King memberikan label "Rumble in the Jungle" untuk pertandingan ini. Karena publisitas yang begitu gencar, partai ini selalu dikenang publik sebagai salah satu pertandingan tinju paling berkesan dalam sejarah. Maklum, Ali yang berumur 32 tahun harus menghadapi Foreman yang baru 25 tahun dan belum pernah kalah.
Foreman diunggulkan 4-1. Konon pertandingan ini memecahkan rekor jumlah penonton televisi. Sementara di gelanggang tinju, tak kurang dihadiri 60 ribu pasang mata yang menyaksikan pertandingan. Kabarnya, Mobutu Sese Seko, Presiden Zaire kala itu, menggelontorkan uang sebesar 5 juta Dollar untuk masing-masing petinju agar mau datang ke Zaire. Ia berharap negaranya bisa menarik perhatian dunia.
Di luar dugaan, Foreman takluk setelah menerima hantaman beruntun di ronde ke-8. Ia jatuh tersungkur dan mencatat kekalahan pertama dalam karier profesionalnya. Sementara bagi Ali, kemenangan itu menjadikannya juara dunia untuk kedua kalinya.
Tapi George Foreman jelas bukan petinju kacangan yang kariernya langsung hancur karena satu kekalahan. Usai dikalahkan Muhammad Ali, ia bangkit. Lawan berikutnya, Ron Lyle, dipukul KO di ronde ke-5.
Joe Frazier, nama besar lain dalam tinju kelas berat, kembali menjadi korban Foreman. Pada pertandingan yang digelar di New York, Foreman menang TKO dari Frazier di ronde ke-5. Selanjutnya, Foreman sempat menang tiga kali sebelum berangkat ke Puerto Rico untuk menghadapi Jimmy Young. Dalam pertandingan dengan Young inilah momen spiritual dialami oleh Foreman yang kala itu baru berusia 28 tahun.
Banting Setir Jadi Pengkhotbah
Foreman bertarung melawan Jimmy Young pada 17 Maret 1977 di Roberto Clemente Coliseum, Puerto Rico. Popularitas lawannya kalah mentereng dibandingkan Muhammad Ali atau Joe Frazier. Namun, pertandingan berlangsung alot dan harus diselesaikan dalam 12 ronde. Di akhir pertandingan, Foreman berjalan lunglai kembali ke sudutnya. Ia tahu dirinya kalah. Dan memang benar, juri memutuskan Jimmy Young menang angka mutlak.
Saat kembali ke ruang ganti, Foreman mendapatkan sebuah pengalaman religius. Ia mengalami kelelahan akut dan heatstroke. Saat itu, Foreman merasa hampir mati dan hanya bisa pasrah pada Tuhan. Di tengah keadaan itu, ia mengaku mendengar perintah Tuhan untuk mengubah haluan hidupnya. Karena itulah tak lama kemudian ia menarik diri dari ring tinju. Meski tak mengumumkan pensiun secara resmi, ia benar-benar tak naik ring untuk satu dekade penuh.
Foreman kemudian berubah total dari petinju ganas menjadi pengkhotbah yang ditahbiskan dalam kongregasi Kristen di Houston, lalu mendirikan pusat kajian agama Kristen untuk para remaja.
Selama sepuluh tahun ia bolak-balik berceramah di Church of the Lord Jesus Christ di Houston. Ia juga kerap tampil di televisi menceritakan berbagai pengalaman religius, dan sempat berkelakar soal Jimmy Young yang ternyata memukul KO iblis dalam tubuhnya.
Don King, sang promotor nyentrik, adalah satu dari sekian banyak orang yang paling getol membujuk Foreman untuk kembali naik ring. Gereja tempatnya biasa berkhotbah tentu saja tidak senang. Church of the Lord Jesus Christ mendapatkan banyak keuntungan dengan kehadiran pengkhotbahnya yang terkenal itu.
Gereja mendapatkan keuntungan finansial besar-besaran dari Foreman yang konon telah menggelontorkan tak kurang dari 100 ribu Dollar untuk pembangunan gedung gereja. Keuntungan finansial ini tampaknya lebih memberikan dampak positif ketimbang keahliannya berkhotbah yang dianggap biasa-biasa saja.
Meski demikian, Foreman punya satu jurus yang sering ia pakai kala berkhotbah:
“Jika kamu tidak tahu harus bicara apa, berterima kasih saja kepada Yesus,” ujarnya seperti dikutip Andrew R.M. Smith dalam Now Way but to Fight: George Foreman and the Business of Boxing (2020:338)
Kembali ke Ring Tinju
Pada 1987, secara mengejutkan Foreman memutuskan kembali bertinju. Alasannya, kehabisan uang dan ingin mencari dana untuk pusat pendidikan Kristen bagi remaja. Di luar dugaan, 24 pertandingan langsung ia lahap dan semuanya berakhir dengan kemenangan.
Seluruh pertandingan tanpa gelar itu mengantarkan Foreman menjadi penantang utama Evander Holyfield dalam perebutan gelar kelas berat versi WBA, WBC, dan IBF. Namun, Foreman kalah. Meski demikian, di usianya yang sudah 42 tahun ia masih sanggup menyelesaikan 12 ronde dan memberikan perlawanan sengit.
Kekalahan ketiga dalam karier profesionalnya ini lagi-lagi tak menghentikan sepak terjang Foreman di ring tinju. Ia kembali naik ring dan menang melawan Jimmy Ellis, Alex Stewart, dan Pierre Coetzer, sebelum akhirnya kalah lagi saat melawan Tommy Morrison.
Pada 5 November 1994, tepat hari ini 27 tahun lalu, di usianya yang hampir 46 tahun, Foreman naik ring untuk memperebutkan gelar juara kelas berat versi WBA dan IBF. Lokasi ring yang disiapkan sangat premium: MGM Grand Garden Arena di Las Vegas. Lokasi ini belakangan menjadi lokasi paling prestisius untuk gelaran tinju profesional modern.
Ia berhadapan dengan Michael Moorer, petinju berusia 27 tahun dan bergaya southpaw (kidal). Moorer punya masalah kepercayaan diri. Ketika mengalahkan Evander Holyfield dan merebut gelar juara dunia, kepercayaan dirinya harus digenjot habis-habisan oleh Teddy Atlas, pelatih tinju kenamaan.
Pada ronde ke-8, satu pukulan telak Moorer sempat membuat Foreman hilang keseimbangan. Ia hampir jatuh. Tapi dua ronde kemudian, Foreman balas menghantam wajah Moorer dengan pukulan tangan kanan yang membuatnya terkapar di kanvas ring dan tak sanggup bangkit lagi. George Foreman pun didaulat menjadi juara dunia tinju kelas berat tertua di usia 45 tahun.
“Saya pikir saya bisa mengalahkan Michael Moorer karena saya telah bermimpi memenangkan sabuk kelas berat itu. Suatu malam yang lain, saya bermimpi lagi memukul KO moorer,” kata George Foreman dalam autobiografinya.
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Irfan Teguh