Menuju konten utama

Kisah di Balik Lagu Klasik "Hari Lebaran"

Lagu karya Ismail Marzuki ini menceritakan kondisi masyarakat saat lebaran dan sindiran terhadap pemerintah.

Kisah di Balik Lagu Klasik
Ilustrasi Ismail Marzuki pencipta lagu “Hari Lebaran”. tirto.id/Fiz

tirto.id - Lagu ini nyaris tidak pernah absen setiap kali lebaran datang. Di mal-mal, bahkan diputar beberapa versi lagu ini yang didaur oleh musikus berbeda-beda. Versi terbaru diaransemen oleh band Sentimental Moods pada bulan April 2018, khusus untuk menyambut lebaran.

Lagu "Hari Lebaran" ini pertama kali direkam oleh pada 1954 di RRI Jakarta. Penyanyinya adalah Didi, sedangkan grup musik Lima Seirima menjadi pengiringnya. Sosok Didi sempat mengundang pertanyaan, siapakah orang ini? Belakangan, diketahui bahwa Didi adalah nama samaran Suyoso Karsono.

Pengamat musik Denny Sakrie dalam wawancara dengan Koran Tempo pada 2011 pernah mengatakan bahwa nama Didi dipakai untuk menutupi identitas asli penyanyi. "Dia menggunakan nama samaran karena tidak ingin diketahui orang,” kata Denny seperti dilansir Koran Tempo.

Lagu ini kemudian direkam kembali oleh Didi namun dengan beda pengiring, lalu populer. Belakangan, sejumlah artis seperti Gita Gutawa, Tasya, dan grup musik Deredia membawakan lagu ini kembali. Deredia membawa lagu ini dengan versi yang lengkap.

Versi yang dibawakan Deredia sangat berbeda dengan versi Sentimental Moods yang menghilangkan lirik dan hanya berisi musik. Aransemen Deredia membuat badan ingin ikut goyang dan mulut melantunkan liriknya.

Realitas di Balik Lagu

Di sini letak perbedaan dari aransemen sebelum-sebelumnya. Hilangnya lirik yang menggambar suasana lebaran pada masa itu membuat terasa ada yang kurang. Padahal, lirik lagu ini yang memiliki kekuatan dan pesan yang membekas.

Misalnya pada bait keempat dan ketujuh, Ismail menggambarkan secara gamblang perbedaan cara merayakan lebaran orang desa dan kota. Orang desa gambarkan Ismail berduyun-duyun ke kota dengan pakaian bagus, naik trem setahun sekali dan jalan-jalan sampai kaki pincang.

Dari segala penjuru mengalir ke kota

Rakyat desa berpakaian gres serba indah

Setahun sekali naik terem listrik pere

Hilir mudik jalan kaki pincang hingga sore

Penggambaran ini kocak dan membuat orang tertawa membayangkannya. Belum lagi disambung lirik pada bait selanjutnya, mereka akhirnya memilih copot sandal dan sepatu karena kaki lecet.

Ismail tidak hanya mengolok-olok orang desa, ia juga menampar cara orang kota merayakan lebaran. Begini ia menggambarkannya :

Cara orang kota berlebaran lain lagi

Kesempatan ini dipakai buat berjudi

Sehari semalam maen ceki mabuk brendy

Pulang sempoyongan kalah main pukul istri

Gambaran itu telak menampar kaum urban pada masa itu yang lekat dengan kekerasan dalam rumah tangga. Penggambaran ini tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia pasca-kemerdekaan. Jika benar lagu ini dibikin oleh Ismail pada awal tahun 50an, pada masa itu kondisi politik Indonesia sedang tidak stabil. Republik Indonesia Serikat yang dirikan pada 1949 secara resmi berakhir pada 17 Agustus 1950.

Pertanyaannya, apakah itu gambaran realitas yang dilihat oleh Ismail?

Dalam satu wawancara dengan Koran Tempo, 2011, Rachmi Aziah, putri Ismail mengatakan bahwa ayahnya sering membuat lagu berdasar kondisi masyarakat saat itu. "Bapak saya memang selalu membuat lagu berdasarkan peristiwa yang sedang terjadi," ujar Rachmi seperti dilansir Koran Tempo.

infografik kisah lagu hari lebaran

Sindiran kepada Pemerintah

Tidak hanya menggambarkan realitas dengan gamblang, lagu ini juga menyindir pemerintah pada masa itu. Ismail menulis lirik “Selamat para pemimpin, rakyatnya makmur terjamin” sebagai bentuk sindiran atas kondisi rakyat pada masa itu yang belum sejahtera.

Sindirin juga terasa pada bagian lirik berikut:

Maafkan lahir dan batin

Lan taun hidup prihatin

Cari wang jangan bingungin

Lan syawal kita ngawinin

Pada masa itu, mencari pekerjaan bukan hal yang mudah. Untuk negara yang baru seumur jagung, masih banyak hal yang perlu dikerjakan untuk membangun ekonomi negara.

Saat itu, Perdana Menteri Mohammad Nasir memiliki lima program kerja pokok. Pertama, menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman. Kedua, mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan. Ketiga, menyempurnakan organisasi Angkatan Perang. Keempat, mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat, dan terakhir memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.

Pada saat itu, dikenalkan program ekonomi Sumitro Plan, salah satu dengan memberikan kredit kepada pengusaha agar menumbuhkan perekonomian nasional. Sayangnya, pemberian kredit ini justru diselewengkan. Kondisi tidak jauh berbeda pada kabinet selanjutnya. Kabinet ini dinamai kabinet Sukiman, berlangsung mulai 27 April 1951–3 April 1952. Pada masa ini, muncul korupsi di lembaga negara dan banyak pejabat yang hidup dengan gaya mewah.

Korupsi inilah yang dikritik oleh Ismail. Kritik itu tegas disampaikan pada dua baris terakhir lagu.

Kondangan boleh kurangin

Korupsi jangan kerjain

Bait terakhir lagu ini sempat menghilang ketika masa Orde Baru. Barulah setelah Reformasi, lagu ini dinyanyikan secara lengkap, sampai kata korupsi muncul. Dalam sejarah penciptaan lagu di Indonesia, lagu ini mungkin bisa jadi merupakan salah satu yang pertama kali menggunakan kata korupsi.

Sayangnya, tak lama setelah lagu ini direkam dan menjadi populer, Ismail Marzuki sakit dan meninggal pada 25 Mei 1958. Sebelum meninggal, ia sempat membuat lagu khusus untuk menyemarakkan pemilu tahun 1955. Lagu itu juga menjadi populer pada zaman Orde Baru, yang dikenal dengan judul "Mars Pemilu".

Baca juga artikel terkait LEBARAN 2018 atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Musik
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Maulida Sri Handayani