tirto.id - Dalam tradisi pesantren, mengantarkan seorang kiai adalah sebuah kehormatan besar. Tak terkecuali bagi Gaffar Rahman, Sekretaris Jenderal PBNU periode 1990-an awal. Terlebih sosok yang diantarkannya adalah K.H. Ahcmad Muchith Muzadi, seorang ulama senior Nahdlatul Ulama (NU).
Disebut senior karena Kiai Muchith adalah santri langsung dari Kiai Hasyim Asy’ari. Ia mondok Pesantren Tebuireng pada era 1930-an. Kiai Muchith juga dikenal sebagai salah satu pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 1998 di Ciganjur bersama KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan beberapa kiai NU lainnya.
Seperti yang ditulis Moch. Eksan dalam Kiai Kelana: Biografi Kiai Muchith Muzadi (2000: 58), Kiai Muchith juga terdaftar sebagai anggota laskar Hizbullah yang ikut berjuang dalam Perang Kemerdekaan Indonesia sejak tahun 1944.
Setelah Indonesia merdeka, kakak kandung dari K.H. Hasyim Muzadi ini diangkat menjadi komandan kompi Laskar Hizbullah pada 1945. Informasi ini menunjukkan bahwa Kiai Muchith terlibat aktif dalam perang gerilya menghadapi Agresi Militer II Belanda di wilayah Tuban, Jawa Timur. Jadi, selain sebagai seorang ulama, Kiai Muchith juga merupakan seorang veteran pejuang kemerdekaan.
Itulah yang kemudian membuat Gaffar merasa bangga bisa mengantarkan Kiai Muchith. Sekalipun keduanya sangat dekat dan akrab karena sama-sama jadi pengurus NU, tetap saja hormat dan takzim Gaffar kepada Kiai Muchith masih tinggi.
Pada suatu siang (tidak jelas disebutkan tahun berapa, tapi kemungkinan periode 1990-an) Kiai Muchith baru saja menyelesaikan urusan di Jakarta. Ditemani Gaffar, Kiai Muchith berencana pulang ke Surabaya. Keduanya berencana naik Kereta Api Mutiara Selatan jurusan Surabaya. Karena takut terjebak macet, Kiai Muchith dan Gaffar datang lebih awal ke Stasiun Gambir, Jakarta Pusat.
Begitu sampai, Gaffar baru mengetahui bahwa Kereta Mutiara Selatan berangkat masih cukup lama. Keduanya pun menunggu di kursi peron stasiun. Karena lama menunggu, Gaffar pun mengusulkan ide kepada Kiai Muchith.
“Kiai, bagaimana kalau kita ngopi-ngopi dulu?”
Sebagai orang asli Jawa Timur (Kiai Muchith tinggal di Jember), ajakan minum kopi adalah ajakan yang pantang ditolak. “Baik, daripada menunggu kereta di ruang tunggu begini, lebih baik duduk-duduk sambil minum kopi,” sambut Kiai Muchith bungah seperti dikisahkan ulang oleh Akhmad Fikri A.F. dalam Tawashow di Pesantren (1999: 72-74).
Keduanya pun mencari warung di dekat stasiun. Sambil ngopi, suasana membosankan berubah jadi cair. Kedua tokoh NU ini membicarakan hal apa saja di warung kopi sampai lupa waktu.
Tiba-tiba dari arah Stasiun Gambir, terdengar suara peluit yang menjadi tanda bahwa kereta api akan berangkat.
“Lho itu kereta kita bukan?” tanya Kiai Muchith.
Gaffar yang panik langsung berdiri. “Wah, kereta kita mau berangkat itu,” kata Gaffar sambil buru-buru membayar kopi di warung. “Ayo, Kiai, Ayo.”
Tergopoh-gopoh keduanya langsung mengejar kereta yang sudah berjalan pelan-pelan. Sudah tentu Gaffar yang lebih muda bisa lebih cepat meraih gerbong paling belakang lalu melompat naik. Sementara Kiai Muchith yang sudah cukup sepuh, hanya bisa berlari-lari kecil.
Semakin lama kereta berjalan semakin lama semakin cepat.
“Cepat, Kiai. Cepat lari,” teriak Gaffar sambil mengulurkan tangannya bersiap meraih tangan Kiai Muchith.
Napas yang memburu dan paru-paru yang menua membuat stamina Kiai Muchith cepat habis. “Aduh, aku sudah tidak kuat,” kata Kiai Muchith sambil ngos-ngosan.
Merasa sudah tidak akan bisa lagi mengejar kereta yang semakin menjauh, Kiai Muchith hanya bisa memandang Gaffar yang hanya bisa balik memandang. Barangkali Gaffar merasa perlu untuk turun dari kereta. Sebagai seorang yang pernah menjadi santri, Gaffar tentu tahu kalau sosok seperti Kiai Muchith tidak pantas untuk diperlakukan seperti itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Mau terjun turun dari kereta pun mustahil karena laju kereta telanjur sudah sangat kencang.
Melihat adegan dramatis seperti di film-film India tersebut, seorang petugas stasiun mendekati Kiai Muchith. “Ada apa, Pak?” tanya petugas.
“Itu, saya ketinggalan kereta,” kata Kiai Muchith masih memburu napas.
“Lho, memangnya Bapak mau kemana?” tanya petugas lagi.
“Mau ke Surabaya. Aduh, padahal saya harus segera sampai ke Surabaya ini,” jawab Kiai Muchith lemas tak berdaya.
“Lha kok bisa ketinggalan? Memangnya tadi dari mana, Pak?” tanya Petugas.
“Begini, Pak. Tadi saya sama teman saya beli tiket Mutiara Selatan jurusan Surabaya. Karena dikira masih lama kami ngopi dulu. Eh, tiba-tiba kereta berangkat. Ya saya kejar keretanya tadi. Teman saya udah naik duluan. Saya sudah tidak kuat kalau mesti ikut ngejar. Capek saya,” terang Kiai Muchith kecewa.
Wajah petugas stasiun mendadak berubah khawatir. “Tapi, tapi, kereta Mutiara Selatan belum berangkat, Pak,” kata petugas. “Itu keretanya masih di stasiun,” tunjuk sang petugas ke arah jalur rel lain.
Tentu saja Kiai Muchith terkejut. “Lho? Lalu tadi kereta yang berangkat kereta apa?”
“Itu kereta Bima, Pak,” kata petugas.
“Tujuannya ke mana?”
“Ke Malang, Pak,” jawab petugas.
Mendengar itu, Kiai Muchith bukannya gembira karena tidak salah naik kereta, tapi malah berlari menuju ujung peron sambil berteriak sekencang mungkin, “Faar, Gaffaaar, ternyata kamu yang salah naik kereta, Faaarr.”
Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagiannya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khasanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini akan tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS