tirto.id - Siapa musisi yang tak gembira mendapat apresiasi besar saat menampilkan karya di depan penonton? Apalagi diganjar tepuk tangan sepanjang perjalanan dari turun panggung menuju tempat makan yang disediakan panitia?
Ini dialami oleh Keubitbit, grup musik etnik asal Aceh, yang baru saja tampil di ajang International Jazz Festival Dr. Emil Iliev di Borovets, Sofia, Bulgaria 2 Agustus lalu.
Keubitbit dibentuk pada 2014 dengan berdasar pada semangat dan nuansa musik pesisir. Mereka kini beranggotakan Safrullah/Aloel (bass), Indra Fahmi Hakim (drum), Raden Trio Ananda Bagus Prakoso (saksofon), Teuku Hariansyah/Apoen (perkusi rapa’i & gendrang), Trinanda Imawan Wibisono (piano/keyboard), Hijruddin Marlin/Didin (gitar), dan Fahmi Arabi (vokal).
Berakar pada musik etnik Aceh, Keubitbit mengemas musik mereka dengan berbagai pengaruh. Hasilnya adalah musik fusion yang memancarkan musik jazz hingga progresif. Karya-karya Keubitbit banyak mengandung kisah sosial, budaya, dan permasalahan umat manusia yang dibungkus dengan melodi khas Timur Tengah. Keunikan Keubitbit adalah permainan ritmis unik yang lahir dari dua alat musik khas Aceh, rapa’i & geundrang. Hal ini jadi makin spesial karena ditambah dengan sentuhan teknik bernyanyi cepat yang menjadikan musik Keubitbit mempunyai karakter yang kuat.
Dengan musik mereka, Keubitbit masuk dalam nominasi Karya Produksi World Music Terbaik di ajang Anugerah Musik Indonesia (AMI) Awards 2020 lewat lagu "Saban Sabee".
Tampil di Bulgaria adalah cerita menarik tersendiri. Aloel mengisahkan mereka mendapat undangan bermain di sana sejak bulan Maret silam. Namun mereka masih harus mempersiapkan segala sesuatunya, terutama perkara finansial.
"Keubitbit baru mengajukan visa itu tepat satu minggu sebelum keberangkatan, dan visa keluar pas di tanggal 30 Juli, Malam itu juga kami langsung membeli tiket penerbangan,” kenang Aloel.
Perjalanan panjang pun mereka tempuh, dengan rute Jakarta - Singapura - Dubai - Istanbul. Lalu dari Istanbul, mereka memberanikan diri menyewa mini van, melanjutkan perjalanan darat yang memakan waktu 10 jam hingga sampai ke Borovets. Mereka tiba di kota yang dikenal dengan wisata ski ini pada tanggal 1 Juli pukul 05.00 pagi waktu setempat.
“Yang menarik, pada sesi press conference, mereka banyak bertanya tentang Indonesia, mereka penasaran dengan budaya Indonesia, dan waktu itu banyak di hadiri oleh media media besar Bulgaria, yang memang menyempatkan waktunya untuk bertanya,” jelas Aloel.
Di Borovets, mereka manggung selama 60 menit, membawakan total sembilan lagu. Perlu tiga lagu ("Peumulia Jamee", "Hembala", dan "Sep Sep Hansep") sebelum penonton mulai makin hangat, antusias, dan menampilkan energi mereka. Di panggung ini, mereka juga membawakan lagu baru, "Raja Taki" yang dirilis pada 15 Juni silam.
“Mendengar 'Raja Taki' menggema di bukit Borovets, membuat penonton bertepuk tangan dengan antusias. Selepas manggung, kami naik ke atas untuk makan di salah satu restoran yang sudah di sediakan panitia. Seiring kami berjalan ke atas restoran itu, tepuk tangan tetap berlanjut sampai kami sampai di meja. Karena sambutan ini, salah satu personel kami ada yang menangis karna terharu,” kisah Aloel.
Saat ini Keubitbit sudah kembali ke Jakarta. Mereka berencana untuk kembali rekaman single baru dan bersiap untuk membuat konser tunggal di Jakarta dalam waktu dekat. Sesuai dengan maknanya, Keubitbit --berasal dari Bahasa Aceh yang berarti kesungguhan-- mereka melakukan perjalanan musiknya dengan sungguh-sungguh.
Editor: Nuran Wibisono