Menuju konten utama

Ketua Tamasya Al-Maidah Nilai Amien Dikriminalisasikan KPK

Ustaz Sambo mengatakan bahwa penyebutan nama Amien Rais oleh Jaksa itu sebagai penerima sebagai sebuah bentuk kriminalisasi.

Ketua Tamasya Al-Maidah Nilai Amien Dikriminalisasikan KPK
Anak Amien Rais, Hanafi Rais dan puluhan mahasiswa dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) melakukan aksi di depan Gedung KPK, Jakarta, Selasa (5/6). Mereka mengecam KPK karena menyebut nama Amien Rais yang menerima aliran dana proyek pengadaan alat kesehatan. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Jaksa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Rabu (31/5/2017) menyebut nama mantan Ketua Umum PAN Amien Rais telah menerima uang senilai Rp600 juta dalam kasus dugaan korupsi Alkes yang menjerat mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari.

Menanggapi hal itu, Ketua Tamsya Al-Maidah Ustaz Sambo mengatakan bahwa penyebutan nama Amien Rais oleh Jaksa itu sebagai penerima sebagai sebuah bentuk kriminalisasi. "Ada diskriminasi perlakuan dari aparat keamanan," kata Sambo di Gedung KPK, Senin (5/6).

Ia juga menyayangkan sikap KPK yang menurutnya tidak mengusut kasus korupsi-korupsi lain yang lebih besar dan jelas pelakunya.

"Kasus yang mestinya ditangani sepuluh tahun yang lalu, tidak jelas intinya dibuka-buka untuk menutupi kasus yang gede. Kami tidak memungkiri kalau salah ya salah. Tapi, kan kalau dilihat dari jumlah ini kan hanya 600 juta. Tapi yang 600 miliar dari [kasus] Sumber Waras kenapa tidak dibuka terang-terangan? Orangnya jelas, sumber dananya nampak, kenapa itu tidak dibuka? Itu kan ada something ketidakadilan," kata dia.

Sambo pun menuding KPK telah melakukan politisasi hukum untuk memenuhi permintaan rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dianggapnya sebagai dalang di balik ini. "Kami bikin perlawanan hukum dan perlawanan moral. Urusan hukum tetap, tapi membangun opini juga penting. Bahwa rezim ini main-main hukum sebagai alat politik," katanya.

ICW Bantah KPK Kriminalisasikan Amien Rais

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri menyatakan bahwa tidak ada kriminalisasi dalam penyebutan nama Amien Rais. Karena, menurutnya, pasal yang ada untuk hal itu sudah jelas.

"Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan bahwa penerima hasil korupsi dapat dikenakan pidana serta denda: 'Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar'," kata Febri saat dihubungi Tirto, Senin (5/6/2017).

Lebih lanjut Febri menyatakan penyebutan nama Amien dalam sidang tersebut justru sudah tepat. Karena, menurutnya, penuntut perlu memperkuat dakwaan atas terdakwa mantan Menkes Siti Fadila Supari.

"Kalau penyebutan nama Amien Rais dalam dakwaan untuk menutupi kasus besar lain, kami pikir tidak mungkin dilakukan KPK. KPK bekerja berdasarkan sistem bukan pada isu dan rumor yang beredar hangat di publik," katanya.

Untuk itu, Febri menyarankan Amien mengembalikan uang yang telah diterimanya dari Sutrisno Bachir Foundation sebesar Rp600 juta kepada KPK.

"Vitalia Shesya saja mengembalikan semua barang dan uang yang diterima dari hasil korupsi Ahmad Fathanah. Masa Pak Amien Rais gak mau mengembalikan uang hasil korupsi Siti Fadillah Supari?" Katanya.

Kendati demikian, ia juga mengatakan apabila Amien sudah mengembalikan uang tersebut, makanya dirinya juga belum tentu terbebas dari hukum atas kasus ini.

"Jadi tinggal KPK bagaimana menindaklanjutinya. Kami ingin melihat penggunaan pasal ini. Karena seringkali banyak orang penerima hasil korupsi berlindung di balik ketidaktahuannya atas proses tindak pidana korupsi yang menjadi sumber dana tersebut," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KORUPSI ALAT KESEHATAN atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Alexander Haryanto