tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) Senin (10/7/2017) akhirnya mengabulkan sebagian permohonan uji materi yang diajukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait ketentuan Pasal 9 Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pasal itu diuji karena dinilai tidak sesuai dengan konstitusi.
Amar putusan MK menyebutkan Pasal 9 huruf a UU Pilkada sepanjang frasa "...yang keputusannya bersifat mengikat", bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Karena itu, MK mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan KPU untuk sebagian.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Arief Hidayat, di Gedung MK Jakarta, Senin (10/7/2017), seperti dikutip Antara.
KPU melayangkan gugatan terkait UU Pilkada ini karena menghendaki independensi dalam menyusun Peraturan KPU (PKPU) dan pedoman teknis. KPU menilai kemandirian mereka tergerus dengan keberadaan Pasal 9 huruf a dalam UU Pilkada. Sebab berdasarkan pasal itu, mereka wajib berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam membuat PKPU yang akan menjadi aturan teknis pelaksanaan Pilkada.
Dalam pertimbangannya, hakim MK menyebutkan bahwa frasa “... yang keputusannya bersifat mengikat" telah menghalangi KPU dalam melaksanakan kewenangannya untuk merumuskan peraturan KPU dan pedoman teknis. Sehingga kewenangan itu menjadi tidak dapat dilaksanakan sebab menjadi tidak jelas keputusan mana atau apa yang harus dilaksanakan oleh KPU.
Hal itu kemudian dinilai MK dapat mengancam agenda ketatanegaraan yang bergantung pada PKPU dan pedoman teknis KPU. Karena itu, frasa "...yang keputusannya bersifat mengikat" secara teknis perundang-undangan dinilai menjadi berlebihan, karena tanpa frasa tersebut KPU akan tetap melaksanakan kesepakatan yang dicapai dalam konsultasi atau forum dengar pendapat.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Sunanto mengapresiasi putusan MK tersebut. Menurut dia, dengan adanya putusan itu, hasil konsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam penyusunan PKPU dan pedoman teknis hasilnya tidak berlaku mengikat.
“KPU tetap ada kewajiban untuk konsultasi dengan DPR dan pemerintah. Namun hasil konsultasi itu tidak mengikat sehingga penyusunan PKPU sebagai landasan dalam pelaksanaan Pilkada tidak akan tersandera oleh kepentingan politik,” ujarnya kepada Tirto, Selasa (11/7/2017).
Artinya, KPU bisa membuat PKPU dan pedoman teknis di luar hasil konsultasi yang dilakukan dengan DPR maupun pemerintah. Selain itu, kata Sunanto, putusan MK tersebut juga akan mempercepat proses pengambilan keputusan di KPU karena tidak perlu meminta persetujuan DPR.
Dalam konteks ini, KPU bisa membuat PKPU dan kemudian diserahkan ke Kementerian Hukum dan HAM untuk diundangkan. “Proses pembuatan aturan terkait pelaksanaan Pilkada tidak perlu menunggu DPR dan pemerintah,” ujarnya.
Namun, Sunanto menilai putusan MK tersebut tidak dapat menjadi jaminan terkait independensi KPU dalam pelaksanaan Pilkada. Justru kontrol publik berperan penting dalam mengawal independensi KPU dalam pelaksanaan Pilkada.
“Yang digugat [di MK] kan konsultasinya. Kalau independensi pelaksanaan pilkada lebih ke check and balance,” katanya.
Sementara itu, Plt Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Kaka Suminta mengatakan bahwa putusan MK yang menilai frasa "… yang keputusannya bersifat mengikat" melanggar ketentuan UUD 1945 dan tidak memiliki dasar hukum yang jelas merupakan bagian dari peran MK sebagai penjaga demokrasi.
Kaka Suminta menyatakan, pihaknya mendukung agar MK dan lembaga penegak hukum lainnya menjadi bagian dari penguatan kelembagaan demokrasi sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara. Ia juga meminta pemerintah untuk memperkuat komitmen dalam membangun demokrasi.
“Meminta kepada lembaga pembuat hukum, DPR dan pemerintah untuk membentuk hukum berdasarkan konstitusi, bukan atas dasar kekuasaan dan kepentingan pribadi dan kelompok,” katanya, seperti dikutip Antara, Selasa.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Suhendra