Menuju konten utama

Ketika Vaksin Dianggap Berbenturan dengan Keyakinan Agama Islam

Menurut Ahmad Utomo, pemerintah seharusnya mewajibkan vaksinasi dengan dasar kedaruratan.

Ketika Vaksin Dianggap Berbenturan dengan Keyakinan Agama Islam
ilustrasi vaksin. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Pada 2019 ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mempublikasikan 10 ancaman kesehatan dunia. Salah satunya adalah gerakan anti-vaksin. Padahal, menurut lembaga ini, vaksinasi adalah cara paling efektif untuk menghindari penyakit dan menekan angka kematian.

Gerakan anti-vaksin ada di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat. Akibatnya, wabah campak menyebar dari barat daya Washington ke Pasifik barat laut baru-baru ini. Seperti diberitakan The Guardian, penyakit itu menyebar karena tingkat vaksinasi yang rendah di kawasan tersebut.

Di Indonesia, gerakan anti-vaksin pun ada. Cakupan imunisasi MR selama dua tahun baru mencapai 87 persen. Artinya, target 95 persen belumlah terpenuhi. Salah satu faktor anti-vaksin di Indonesia adalah isu kandungan babi pada vaksin. Padahal, pada Agustus 2018 lalu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan vaksin Measles-Rubella (MR) produksi Serum Institute of India (SII) boleh digunakan lewat fatwa mubah, karena situasi mendesak.

Urusan Vaksin dan Keyakinan Religius Berbenturan?

Tak bisa dinafikan bahwa ada kepentingan publik yang bisa berbenturan dengan keyakinan religius. Salah satunya adalah urusan vaksin. Bagaimana memastikan seluruh warga terlindung dari virus, apabila ada yang berkeyakinan bahwa vaksin virus tersebut bertentangan dengan ajaran agama yang mengharamkan kandungan babi masuk ke dalam tubuh?

Peneliti utama di Stem-cell and Cancer Institute, Ahmad Utomo, menekankan bahwa dari sisi Islam, urusan persebaran penyakit adalah tanggung jawab pemerintah. Ia menyampaikannya saat membahas kontroversi vaksin di hadapan pemuda-pemudi muslim di Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSIST).

“Ketika bicara dari sisi Islam, ketika ada wabah, ancaman-ancaman penyakit, siapa yang harusnya bertanggung jawab? Apakah bisa dibiarkan masyarakat masing-masing minum herbal yang banyak? Atau sudah [ada] intervensi negara?” kata Ahmad, yang tak lupa menegaskan bahwa pernyataannya ada dalam kapasitasnya sebagai peneliti, meski lembaga Stem-cell and Cancer Institute ada di bawah naungan bisnis farmasi Kalbe Farma.

Ia berpendapat bahwa peran negara tak bisa digantikan entitas lain. Ketika wabah muncul, kata Ahmad, ormas dan LSM belum tentu bisa berperan seperti halnya negara.

Pendiri sekolah Mafatih Islamic School Kalibata ini juga mengingatkan adanya perbedaan hukum terhadap penguasa dan hukum terhadap individu dalam Islam. Ia mengistilahkan rakyat sebagai konsumen yang tak punya otoritas, sedangkan pemerintah adalah lembaga yang punya otoritas.

“Salat itu individu, tutup aurat [juga individu]. Tapi kalau negara, dia akan memastikan hal-hal yang tidak bisa, tidak mampu, dan tidak boleh dilakukan individu,” ungkap Ahmad.

Ahmad mengapresiasi tindakan pemerintah Indonesia yang melakukan berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia soal vaksinasi. Namun, menurutnya, aturan yang dibuat pemerintah soal vaksin setengah-setengah.

“Kalau [vaksin] darurat, kenapa jadi enggak wajib? Konsep itu enggak nyambung. Kalau darurat kan genting, tapi [kenapa] masyarakat masih boleh punya pilihan untuk tidak divaksin? Secara konsep, enggak masuk akal,” tandasnya.

Dalam aturan tentang vaksin, Ahmad menilai bahwa hukum Islam telah menjadi bulan-bulanan politik, sehingga kebijakan yang diambil menjadi tak jelas.

Infografik Rubella Pada wanita Hamil

Infografik Rubella Pada wanita Hamil

Vaksin di Pakistan dan Malaysia

Ahmad pun mencontohkan aturan vaksin yang telah ditetapkan oleh negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Pakistan dan Malaysia.

Di Pakistan, mereka telah memiliki Program Perluasan Imunisasi (EPI) yang diluncurkan pada 1978. Dalam program itu, Pakistan mengatur imunisasi TBC, poliomielitis, difteri, pertusis, tetanus, dan campak. Negara ini juga mulai menggalakkan program vaksin baru seperti Hepatitis B, haemophilus influenzae tipe B (Hib) dan vaksin pneumokokus (PCV10).

Aturan vaksin yang Pakistan terapkan bertujuan untuk mencegah kematian anak hingga 17 persen. Negara ini, misalnya, menetapkan pemberian vaksin campak 1 pada usia 9 bulan, dan vaksin campak 2 pada usia 15 bulan.

Pakistan juga menerapkan hukuman bagi yang melanggar aturan itu, yakni denda atau kurungan penjara atau kedua hukuman tersebut. Pada anak-anak, hukuman itu dijatuhkan kepada orangtua mereka (PDF). Pada 2015, negara ini pernah memenjarakan ratusan orangtua karena tak mengimunisasi anak mereka dengan vaksin polio.

Jika pemerintah Pakistan mewajibkan penduduknya untuk melakukan vaksin, pemerintah Malaysia membebaskan warganya dari biaya vaksin. Kementerian Kesehatan dan Departemen Pembangunan Islam Malaysia membeberkan pentingnya vaksin serta kajian vaksin dalam hukum Islam dalam lembaran "Soalan Lazim Mengenai Vaksin dan Imunisasi" atau "Frequently Asked Questions on Vaccine and Immunisation" (PDF).

Dalam poin 27, mereka menyampaikan bahwa program imunisasi untuk menghindari diri dari bahaya penyakit tertentu hukumnya wajib. Hal itu didasarkan pada kaidah fikih: menolak kerusakan adalah didahulukan daripada mencari kemaslahatan.

Bagaimana jika vaksin mengandung kandungan yang haram dikonsumsi? Lembar FAQ dari lembaga resmi itu itu menjelaskannya dalam poin ke-28. Disebutkan bahwa meski pada dasarnya Islam mencegah penggunaan obat dari sumber haram, dalam keadaan darurat, obat tersebut bisa dikonsumsi dengan beberapa syarat.

"[...U]bat yang bersumberkan perkara-perkara yang ditegah adalah diharuskan selama mana tiada ubat lain dari sumber yang halal ditemui dan ianya dilakukan mengikut kadar yang diperlukan sahaja," demikian nukilan jawabannya.

Baca juga artikel terkait VAKSIN atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Widia Primastika
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani