Menuju konten utama

Ketika Uang Konten Kreator Dipotong Penyedia Layanan Aplikasi

Setelah dihantam algoritma, kini para konten kreator menghadapi jebakan batman dari layanan sumbangan langsung (crowdfunding) pemirsa.

Ketika Uang Konten Kreator Dipotong Penyedia Layanan Aplikasi
Ilustrasi Crowdfunding. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Tak lama setelah dunia web bertransformasi menjadi Web 2.0, hingga memungkinkan penggunanya saling berinteraksi, influencer (pemengaruh) lahir.

Kemampuannya dalam bertutur (visual atau audio) memanfaatkan aplikasi zaman kiwari, merentang dari YouTube, Instagram, hingga TikTok demi memperoleh popularitas.

Tentu tak semua individu pemilik kemampuan bertutur via aplikasi kekinian ingin menjadi influencer. Terlebih, diamini publik saat ini, influencer mengandung konotasi negatif, yakni terlalu menggebu-gebu memublikasikan konten viral penuh kepalsuan/manipulasi.

Namun, manisnya efek popularitas dalam selubung aplikasi yang menggiring pundi-pundi melimpah, keengganan menjadi influencer dari para individu pemilik kemampuan bertutur menginisiasi profesi baru.

Profesi itu, sebagaimana disampaikan Kyle Chayka dalam "What the 'Creator Economy' Promises and What It Actually Does" (The New Yorker, Juli 2021), ialah "kreator" atau "kreator konten."

Istilah ini pertama kali digunakan YouTube sebagai kosakata alternatif "YouTube Star" pada awal 2011. "Menyiratkan bahwa [titel ini diberikan] hanya untuk beberapa individu terkenal atau berhasil di platform tersebut," tulis Chayka.

Namun kiwari, istilah ini digunakan oleh hampir semua orang yang memproduksi segala bentuk konten online demi pundi-pundi, menghindari penggunaan istilah influencer.

Para pengguna TikTok atau Instagram yang memublikasikan kontennya demi uang kerap mendaku diri sebagai "kreator TikTok" atau "kreator Instagram". Begitupun dengan pengguna Clubhouse atau SoundCloud sebagai "kreator audio", hingga OnlyFans sebagai "kreator konten dewasa".

Gabungan para kreator YouTube/Instagram/TikTok/OnlyFans atau apapun nama aplikasinya lantas menginisiasi ekonomi baru bernama "ekonomi kreator" yang kini bernilai $1,3 miliar--dari kerja sama merek atau, dicontohkan YouTube, pembagian cuan iklan.

Meskipun ekonomi kreator sangat menggiurkan, namun tanpa merilis konten kontroversial ala influencer, jalan terjal mesti ditempuh kreator demi mendulang uang yang cukup, paling tidak untuk mengambalikan modal produksi--sebelum berbicara tentang keuntungan melimpah.

Musababnya, hanya membagi $0,01 hingga $0,03 per iklan tayang, kreator YouTube hanya dapat menghasilkan uang $10 hingga $30 per 1.000 tayangan video atau "views" dari konten video yang dibuat, misalnya.

Dan "views" itu, yang menjadi indikator seberapa banyak cuan pembagian iklan dibagi atau alasan perusahaan pemilik merek mau bekerja sama, terselubung dalam teknologi yang sukar ditaklukan kreator, yakni algoritma.

Algoritma merupakan "sistem rekomendasi" yang menurut Chayka dalam tulisan lainnya, "The Age of Algorithmic Anxiety (The New Yorker, Juli 2022), "bertugas sebagai mesin komputasi pribadi untuk membantu pengguna maya mengindeks serta menyortir konten digital yang begitu banyak berseliweran."

Sistem ini pertama kali diperkenalkan pada 1992 oleh peneliti Palo Alto Research Center milik Xerox. Tujuannya untuk menyortir email berdasarkan relevansinya, dan kemudian dipopulerkan Larry Page dan Sergey Brin melalui "PageRank" dalam jantung Google.

Algoritma kini menjadi pondasi utama pelbagai aplikasi yang digunakan kreator dalam mendulang uang. Menuntun apa yang dapat disaksikan pengguna maya dan apa yang dianggap menarik si pengguna maya atas jejak digital yang ditinggalkan.

Dalam buku Algorithms to Live By: The Computer Science of Human Decisions (2016), Brian Christian dan Thomas L. Griffiths menuturkan bahwa secara mendasar, algoritma sangat membantu manusia.

Misalnya bagaimana PageRank dapat dengan apik mengurutkan situsweb yang relevan sesuai dengan kata kunci yang diberikan. Namun, dalam ranah aplikasi-aplikasi sosial, algoritma tampak menyederhanakan selera pengguna maya, memutus penemuan organik.

Misalnya, dengan hanya sempat mendengarkan lagu "Hotel California" di Spotify, algoritma Spotify spontan merekomendasikan lagu-lagu lain dari para pengguna lain yang memiliki judul tersebut di playlist mereka--mengira memiliki selera serupa.

Pada interaksi antarpengguna yang dicita-citakan Web 2.0, algoritma menjadi semacam proksi penghubung manusia. Suatu perantara yang sukar ditaklukan kreator untuk mendistribusikan konten buatannya kepada pengguna maya, karena segala indikator bagaimana algoritma memberikan rekomendasi tak pernah dipublikasikan secara transparan oleh pemilik platform.

Alhasil, "views" sukar diperoleh kreator atas konten buatannya. Dan karenanya, pendapatan--dari pembagian cuan iklan maupun kerja sama perusahaan--sukar pula diperoleh. Kesukaran yang sangat dipahami betul oleh para kreator, salah satunya Jack Conte.

Belasan tahun membangun kanal musik di YouTube, Conte menyebut bahwa "setiap kreator, jika ingin menghasilkan uang [dari pelbagai platform], harus mempertimbangkan algoritma."

Sayangnya, klaim Conte, "[indikator] algoritma cukup sering berubah sehingga [kami, kreator] perlahan tak bisa mengejar perubahan [indikator] algoritma itu."

Terlebih, imbuh Conte, kreator bukanlah seorang jenius IT yang dapat mendobrak algoritma, tetapi, pada titik terdasarnya, "kami [hanyalah] seorang seniman."

Maka, sebagaimana dipaparkan Jonah Weiner dalam "Jack Conte, Patreon, and the Plight of the Creative Class" (Wired, September 2019), Conte akhirnya tak mau lagi mengikuti aturan main ala algoritma yang terkandung dalam pelbagai aplikasi untuk menghasilkan "views", menghasilkan pendapatan.

Bersama istri dan rekannya, Conte membangun Patreon pada 2013 sebagai layanan maya. Para penikmat atau pemirsa dari konten yang disajikan kreator dapat memberikan sumbangan langsung berupa uang.

Melalui Patreon, sekecil apapun "views" yang dimiliki, kreator dapat meminta uang langsung dari para penikmat konten yang dihasilkannya. Hal ini memotong ketergantungan kreator pada pembagian cuan iklan, membuat kreator dapat independen dari tawaran kerja sama perusahaan, serta membuat kreator bisa fokus pada penciptaan konten, bukan memikirkan algoritma.

Patreon perlahan berhasil mengubah bagaimana ekonomi kreator bekerja. Serta tentu saja mendorong kemunculan layanan-layanan serupa, seperti Substack dan Buy Me a Coffe.

Dan, bak kisah Mark Zuckerberg yang mencuri konsep "Stories" dari Snapchat, menggiring pula munculnya layanan serupa di pelbagai aplikasi, semisal YouTube dengan layanan "Membership" (atau tombol "Join"), Twitch dengan "Donate" hingga TikTok dengan "Coin", semacam uang digital yang dapat dibeli penggunanya untuk diberikan kepada kreator.

Infografik Crowdfunding

Infografik Crowdfunding. tirto.id/Fuad

Namun, karena "tak ada makan siang gratis", kemunculan Patreon, Buy Me a Coffe, serta layanan serupa di pelbagai aplikasi yang terasa sangat membantu kreator dalam memperoleh pendapatan, juga melahirkan jebakan batman bernama "fee" atau "bea" atau "ongkos" atau "potongan", dengan nominal/persentase sesuai dengan aturan main pemilik layanan/aplikasi.

Di Patreon, potongan ini merentang dari 5 hingga 12 persen dari total pendapatan kreator. Sementara jika pengguna maya bergabung dalam "Membership" bertarif $5 per bulan untuk mendukung kreator YouTube pujaannya, YouTube mengambil bagian sebesar $1,5 (dan potongannya bertambah $1,5 lagi jika pengguna berlangganan via aplikasi YouTube versi iOS sebagai pajak Apple).

Lebih mengerikan, "fee" atau "potongan" yang dibebankan pemilik layanan kadang tak jelas nominal/persentasenya. Contohnya, sebagaimana diwartakan BBC, beberapa pengguna TikTok di Suriah yang memanfaatkan aplikasi milik ByteDance untuk meminta sumbangan melalui "Coin", terkena potongan yang begitu besar.

"Coin" atau hadiah senilai $500 yang diberikan pengguna TikTok menjadi hanya senilai $155 ketika diterima peminta sumbangan. Atau, dalam uji coba yang dilakukan BBC, terjadi penyusutan hingga 69 persen dari pemberian "Coin" yang mereka lakukan sendiri, yakni dengan mengirim hadiah senilai $106 dan berakhir menjadi $33.

Tak cuma soal potongan, jebakan batman yang berpotensi diterima kreator atau siapapun pengguna layanan pemberi sumbangan ini, adalah kenyataan bahwa si pemilik layanan memiliki kewenangan membekukan akun.

Sebagai contoh, memanfaatkan Patreon untuk mendulang sumbangan dari warga maya di seluruh dunia, akun milik Come Back Alive, organisasi asal Kyiv, Ukraina, yang berjuang mencari dana untuk membeli senjata guna bertempur melawan Rusia, ditutup permanen oleh pihak Patreon--menihilkan sumbangan yang berhasil dikumpulkan untuk diakses.

Baca juga artikel terkait CROWDFUNDING atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi