Menuju konten utama

Ketika Sony Berkuasa di Ranah Fotografi

Saat ini, foto lebih banyak dihasilkan melalui ponsel, bukan kamera.

Ketika Sony Berkuasa di Ranah Fotografi
seseorqang memperhatikan foto di smartphone. FOTO/iStockphoto

tirto.id - “Awalnya fotografi semata-mata tentang bahan kimia,” tulis J.B. Williams dalam buku berjudul The Electronics Revolution: Inventing The Future (2017). “Listrik,” lanjut Williams, “tidak digunakan dalam bentuk apapun dalam fotografi, bahkan jika disangkut-pautkan pada flash, lampu kilat, yang mula-mula dihasilkan sejumlah ‘zat kimia jahat’, yang ketika dipicu akan terbakar atau meledak menghasilkan cahaya pendek nan cemerlang.”

Studi berjudul “Technology and the Market: George Eastman and the Origins of Mass Amateur” (1975) karya Reese V. Jenkins menyatakan bahwa hingga abad ke-20, fotografi identik dengan "segala hal yang mahal dan membutuhkan teknik rumit dalam upaya menciptakan foto”. Dibutuhkan pengetahuan proses fotografi bernama wet-collodion, teknik yang mencampurkan soluble iodide dan larutan collodion guna melapisi plat kaca, yang kemudian menghasilkan selembar foto.

Dalam George Eastman: Founder of Kodak and the Photography Business 1930 yang ditulis oleh Carl W. Ackerman disebutkan bahwa George Eastman, pendiri Kodak, memiliki ramuan kimia tersendiri untuk menghasilkan foto. Dalam bahasa kimiawi yang kompleks, ramuan itu ialah “pencampuran antara Gel 40 gram, Bro Am 23¼ gram, Air ¾ ons, dan Perak 40 gram.” Pada 1880, Eastman menyederhanakan ramuan penciptaan fotonya dengan hanya memanfaatkan “plat kering”.

Kembali ke buku yang ditulis William, listrik pertama dimanfaatkan dalam dunia fotografi pada akhir 1920-an, tatkala perusahaan Jerman bernama Hauser dan perusahaan Amerika Serikat bernama General Electric menciptakan flash alias lampu kilat dengan memadukan bola lampu, aluminium foil, dan oksigen yang dapat menghasilkan cahaya terang tatkala listrik dialirkan. Tetapi, cikal-bakal pemanfaatan listrik secara menyeluruh di dunia fotografi dimulai oleh Jack Morton, kepala divisi elektronik Bell Labs pada dekade 1950-an, yang menantang Willard S. Boyle, koleganya, untuk menciptakan semikonduktor baru menggantikan bubble memory (buih magnet)--sejenis memori komputer yang menggunakan lapisan film sangat tipis untuk menyimpan data.

Memanfaatkan prinsip Metal Oxide Semiconductor (MOS), Boyle dan koleganya di Bell Labs--yang dikemudian hari berubah menjadi AT&T Labs, lalu kembali ke nama asal, dan akhirnya dimiliki Nokia--sukses menciptakan Charge Coupled Device (CCD) berbentuk dua dimensi pada 1971. CCD merupakan integrated circuit (IC) yang sensitif terhadap cahaya, atau dalam kata lain, sensor gambar. Secara umum, kerja sensor gambar seperti CCD, dimulai dengan pemanfaatan sebuah area yang terdiri dari larik piksel (pixel array), yang masing-masingnya berisi detektor foto yang peka cahaya dan sanggup bekerja mengubah cahaya menjadi arus elektromagnetik, lalu mengubah arus itu menjadi data biner. Sayangnya, dalam kasus CCD yang baru diciptakan Bell Labs, gelombang elektronik yang tertangkap mudah hilang. Meskipun sesungguhnya telah sukses menciptakan sensor gambar, hal ini membuat Bell Labs kesulitan mengimplementasikannya menjadi kamera digital sungguhan.

Kodak sadar dengan kelemahan ini. Pada 1973, Kodak memerintahkan karyawan barunya, Steven Sasson, untuk mencari tahu cara menciptakan kamera digital memanfaatkan CCD. Sasson mengakali kelemahan CCD dengan mengubah gelombang elektronik menjadi angka. Angka tersebut lantas disimpan dalam memori RAM untuk kemudian disimpan di media penyimpanan lain berupa kaset.

Sebagaimana dilaporkan The New York Times, meskipun apa yang dilakukan Sasson di kemudian hari dianggap revolusioner, saat itu, menurut Sasson sendiri, pekerjaannya membuat kamera digital menggunakan CCD “bukanlah proyek besar Kodak.” Menurut Sasson, bagi Kodak, fotografi masihlah tetap soal film seluloid, bukan digital. Kodak menyuruhnya mengembangkan fotografi digital, dalam pemikirannya, “hanya proyek biasa-biasa saja untuk membuatku tidak mengganggu rekan-rekan lain di kantor.”

Meskipun bukan proyek utama, Sasson melakukan pekerjaannya dengan sempurna. Pada 1975, Sasson menciptakan Rube Goldberg, sebuah kamera--atau lebih tepat disebut ‘mesin’--yang sanggup menciptakan foto secara digital berukuran 100x100 piksel. Karyanya ini membuahkan nomor paten bernomer US4131919A berjudul “Electronic Still Camera," yang dikeluarkan Jawatan Paten AS pada 1977.

Singkatnya, Sasson adalah pencipta fotografi digital pertama. Sayangnya, Kodak mencampakan Sasson dan ciptaannya. Buktinya, pada 1990, bukan Kodak yang merilis kamera digital untuk konsumen pertama, melainkan Dycam dengan Model 1 dan Logitech dengan Fotocam, kamera digital bersensor CCD berukuran 284x376 piksel. Tujuh tahun berselang, atau tepatnya pada 1997, ilmuwan bernama Philippe Kahn sukses melahirkan konsep kamera ponsel, mengkoneksikan point-and-shoot-camera dengan ponsel lipat Motorola melalui beberapa baris kode pemrograman di laptopnya. Berbekal ide ini, pada 2000 Sharp merilis J-SH04, ponsel berkamera pertama di dunia.

Revolusi fotografi pun lahir.

Hari ini, masyarakat dunia memproduksi foto jauh lebih banyak dari dekade-dekade sebelumnya. Business Insider mencatat 1,2 triliun foto sukses diciptakan umat manusia pada 2017. Angka ini meningkat dari 660 miliar foto yang diambil manusia pada 2013. Yang unik, 85 persen dari total foto yang dihasilkan manusia di 2017 diciptakan melalui ponsel pintar, bukan kamera digital (atau analog). Kamera konvensional sendiri hanya menyumbang 10,3 persen dari total foto yang dihasilkan manusia.

Fotografer legendaris Annie Leibovitz menyatakan kepada Wiredbahwa hari ini iPhone dan ponsel pintar lainnya adalah “kamera bidik zaman ini", bukan Canon, Nikon, atau bahkan Kodak yang memang telah mati ditelan zaman. Hari ini, merujuk data yang dipublikasikan IDC, Apple adalah penguasa pangsa pasar ponsel pintar, dengan porsi 19,9 persen bagian per kuartal 4-2019, unggul dibandingkan Samsung (18,8 persen), Huawei (15,2 persen), Xiaomi (8,9 persen), dan OPPO (8,3 persen).

Di dunia fotografi, Apple kelihatan lebih berkuasa dibandingkan perusahaan-perusahaan fotografi konvensional, misalnya Canon atau Nikon. Sayangnya, jika melihat lebih dalam, bukan Apple (atau produsen ponsel manapun) yang berkuasa di dunia fotografi, melainkan Sony, perusahaan yang menurut fotografer Inggris Sean Tucker sangat mungkin "tidak dikenang oleh para fotografer profesional”.

Infografik Hasil Foto di Dunia

Infografik Hasil Foto di Dunia. tirto.id/Quita

Menurut laman resminya, Sony mulai mengembangkan sensor gambar pada 1996. Kala itu, alih-alih mengembangkan CCD, Sony malahan mengembangkan varian sensor gambar Complementary metal–oxide–semiconductor alias CMOS. Sony beralasan bahwa sensor CCD memang menghasilkan gambar lebih baik (kala itu), tetapi, seperti permasalahan yang ditemui Sasson, CCD sangat lambat membaca data dan juga mudah hilang. Menurut Sony, jika kelak dunia visual digital berevolusi ke area lebih tinggi, High Definition (HD) atau 4K, CCD bakalan lebih buruk. Maka, pilihan yang paling logis adalah CMOS.

Empat tahun berselang, Sony sukses melahirkan IMX001, sensor gambar CMOS pertama mereka. Perlahan tapi pasti, prediksi Sony terbukti benar. Dunia visual digital memang bergerak ke arah HD hingga 4K. CMOS yang mereka ciptakan pun menjadi pilihan.

iPhone 11 dari Apple menggunakan sensor gambar Sony Exmor IMX356. Samsung Galaxy S20 Ultra menggunakan Sensor Sony IMX586 dipasang pada Samsung Galaxy S20 Ultra. Huawei P40 memilih menggunakan Sony IMX700. Sony IMX350 dijadikan senjata utama oleh Xiaomi Mi 10 Pro.

Selain PlayStation, bisnis sensor milik Sony adalah yang paling moncer menghasilkan uang bagi perusahaan. Sebagaimana diwartakan Statista, Sony menghasilkan uang senilai 1,07 triliun Yen dari jualan sensor gambar pada 2019. Bahkan, sebagaimana dilaporkan Bloomberg, Sony kewalahan menerima menerima pesanan sensor gambar, meskipun pabrik dibuka 24 jam.

Tentu, masifnya foto yang dihasilkan melalui ponsel tidak hanya menguntungkan Sony sebagai pencipta sensor, tetapi juga kehidupan bermasyarakat. Melalui kamera ponsel, kesewenang-wenangan aparat--juga sikap rasialis masyarakat umum--bisa direkam. Di AS, misalnya, pengabadian peristiwa melalui kamera ponsel seperti yang terjadi pada kasus George Floyd dan Ahmaud Arbery sanggup menguak fakta fahwa rasisme masih menghantui umat manusia.

Baca juga artikel terkait FOTOGRAFI atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf