tirto.id - “Ketahuilah bahwa saya, Samuel Colt, dari Hartford, di wilayah Hartford di negara bagian Connecticut, telah menemukan sesuatu yang baru dan melakukan peningkatan teknis pada senjata api.”
Kata-kata Colt tersebut termaktub dalam patennya, “Revolving Gun”, yang disahkan Kantor Paten Amerika Serikat dengan keluarnya sertifikat bernomor 138 --dan kemudian berganti menjadi USX9430-- pada 25 Februari 1836, atau tepat hari ini 184 tahun silam.
Revolver, atau wheel gun, adalah salah satu jenis senjata api yang populer di dunia. Cara menggunakannya cukup dengan masukkan peluru ke dalam tabung berputar, dan ketika “pin hammer” alias pelatuk memukul “primer”--bagian di amunisi yang bertugas sebagai pemantik gunpowder atau mesiu--maka peluru/proyektil akan terlontar bak roket.
Seturut dengan pernyataan Colt, revolver telah ada sebelum paten miliknya, USX9430, keluar. Konon, penemunya asal Cina, Zhao Shi-Zhen, disebut sebagai penggagas versi awal revolver dengan penciptaan senjata api yang diberi nama Xun Lei Chong.
Namun, yang membedakan revolver zaman Dinasti Ming itu dengan yang diciptakan Colt adalah “kerja krusialnya (revolver Colt) berada pada titik tumpu” atau fulcrum, demikian dijelaskan dalam di patennya tersebut.
Revolver ciptaan Colt, yang kemudian dikenal dengan nama “Paterson”, merupakan revolver yang sanggup menembak berulang kali tanpa perlu penggunanya mengokang-ulang setiap hendak menembak.
Keistimewaan tersebut tercipta karena Paterson, selain menggunakan 36 bagian bergerak, memanfaatkan mekanisme ratchet, suatu sistem yang memungkinkan gerakan linier atau putar kontinu hanya dalam satu arah, sekaligus mencegah gerakan dari arah yang berlawanan.
Gairah dan Masalah Senjata Api di Amerika Serikat
Pada suatu masa, Amerika Serikat punya masalah dengan senjata api. Namun, kali ini bukan soal penembakan brutal.
Pamela Haag, dalam bukunya berjudul “The Gunning of America” menyebut bahwa pada dekade 1750-an hingga 1790-an, AS tidak memiliki cukup senjata api untuk mengamankan diri akibat munculnya Perang Revolusi. Mengutip Blair Report, yang dirilis pada 1756, Haag menyebut bahwa AS hanya “memiliki 36.000 milisi tetapi lebih dari setengahnya tidak memiliki senjata.”
Namun, krisis tersebut tak hanya disebabkan perang. Pada 1776, gubernur di Rhode Island menyurati George Washington, Presiden AS pertama. Ia mengatakan bahwa penduduknya, “atas rasa aman yang dirasakan, membuang senjata api yang dimiliki secara sukarela.”
Washington dengan tegas mengatakan bahwa AS “mengalami kelangkaan senjata”. Demikian pula dengan profesi pembuatnya, yang juga dikenal dengan istilah “gunsmith”.
Di tahun-tahun AS mengalami kelangkaan tersebut, senjata api hanya diciptakan oleh pandai besi yang bekerja sesuai pesanan. Ketika Perang Revolusi dan Perang Sipil berkecamuk, AS berada di posisi, yang disebut Haag, “undergunned”.
Colt, bertahun-tahun kemudian, memperbaiki masalah yang dihadapi AS ini.
Secara teknis, paten USX9430 mendeskripsikan buatan Colt dengan revolver dan senjata api lainnya. Namun, jika ditelaah lebih jauh, Colt tak hanya merevolusi cara teknis senjata api bekerja. Di dekade ketika paten Revolver Colt dikeluarkan, yaitu 1830-an, tukang senjata api bekerja secara terbatas dalam hal kuantitas.
Rita Reif, dalam laporannya di The New York Times, menyebut bahwa seorang “gunsmiths” harus melakukan 200 tahapan untuk menciptakan satu unit senjata api.
19 tahun selepas memperoleh paten atas revolver-nya itu, Colt membangun pabrik senjata api di Hartford dengan memanfaatkan mesin otomatis berpenggerak uap. Itu adalah pabrik pertama yang memproduksi senjata api secara massal.
William Hosley, kurator Wadsworth Atheneum, sebagaimana dikatakannya pada Reif, menyebut bahwa ketika membangun pabrik itu, Colt turut merevolusi bagaimana penciptaan satu unit senjata api dilakukan.
“Terdapat barisan mesin, labirin peralatan, dan setiap pekerja mengerjakan satu bagian saja,” urai Hosley. “Pabrik senjata Hartford yang didirikan Colt merupakan prototipe revolusi industri Amerika,” lanjutnya.
Rata-rata harga jual satu unit senjata buatan pabrik Colt hanya dibanderol di angka $10 kala itu atau sekitar $300 dengan nilai dolar saat ini. Colt menyebut, kesuksesannya merevolusi dunia penciptaan senjata api terjadi karena adanya “gairah”.
Namun, Haag, masih dalam bukunya, menyatakan bahwa kesuksesan Colt dan juga industrialis senjata api lainnya, terjadi lebih karena faktor “sumber daya, modal, dan kerabat”. Mulai dari reputasi, koneksi sosial dan politik, dewan direksi, modal, hingga pemeliharaan kontrol keluarga.
“Colt secara rutin meminta ayahnya, Christopher Colt, seorang pedagang sutra, untuk mendapatkan lebih banyak dana, dan pada tahun 1837 Christopher menasehati Samuel untuk mencoba kerabat lain, bibinya,” tulis Haag.
Dan karena kesuksesan industrialis senjata api berbanding lurus dengan keluarga, maka menurut Haag “nama keluarga adalah nama senjata; keyakinan pada keluarga dan keyakinan pada senjata, sama.” Itulah kenapa Di AS, orang cenderung menyebut “gun owner”, bukan “gun consumer”.
Hanya saja, kesuksesan Colt melakukan produksi massal senjata api ditambah dengan Amandemen Kedua Konstitusi Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa “hak rakyat untuk memiliki dan memanggul senjata, tidak akan dilanggar negara”, kelak menghasilkan krisis baru: penembakan massal.
German Lopez, dalam laporannya di Vox, menyebut bahwa kini AS memiliki lebih banyak senjata api dibandingkan penduduk. Tercatat ada 120,5 senjata api per 100 penduduk. Catatan itu jauh lebih besar dibandingkan negara manapun. Beberapa pembanding: Yaman (52,8 senjata per 100 penduduk), Serbia (39,1 senjata per 100 penduduk), hingga Irak (19,6 senjata per 100 penduduk).
Atas tingginya angka kepemilikan senjata api, lanjut Lopez, maka lazim terdengar kabar penembakan massal di AS. Semenjak tragedi penembakan di Sandy Hook meletus pada 2012 lalu, hingga kini ada lebih dari 2.000 penembakan massal yang terjadi di negara tersebut. Jumlah itu jauh lebih tinggi dibandingkan rentang 1966 hingga 2012.
Dalam laporan Max Fisher diThe New York Timesdijelaskan: dalam rentang itu ada 90 penembakan massal dan secara keseluruhan, “hanya” ada 270 juta senjata api di tangan warga sipil AS.
Editor: Eddward S Kennedy