tirto.id - Nabi Muhammad saw. gembira bukan kepalang ketika datang sekelompok orang yang mengaku dari sebuah tempat bernama Urainah. Kepada Rasulullah, para musafir yang baru saja hilir-mudik mengunjungi sudut-sudut dunia itu mengaku ingin masuk Islam. Mereka ingin berikrar di hadapan sang pembawa risalah dan agama baru.
“Masuk Islam di depan Nabi lebih afdal dan bagus, bukan?” demikian salah seorang berbisik kepada Muhammad.
Tanpa perlu waktu lama, prosesi pembacaan syahadat sebagai pintu gerbang masuk Islam pun dilakukan. Lalu, orang-orang dari Urainah tersebut berbaur dengan penduduk Madinah. Sebagai mualaf, mereka dibimbing oleh para sahabat untuk melakukan ini-itu ritual ibadah, termasuk cara bersuci dan melakukan salat fardu. Mereka diajari pelajaran yang dasar-dasar sebelum masuk ke ilmu-ilmu yang lebih mendalam soal Islam.
Hari berganti, lalu muncullah drama. Pagi belum begitu sempurna ketika salah seorang anggota kelompok dari Urainah ini menghadap sang Nabi. Ia menceritakan kondisi beberapa saudara di kelompoknya yang kesulitan beradaptasi dengan cuaca Madinah. Rasulullah menyimak dengan saksama.
“Bintik-bintik di tubuh saudara kami semakin hari semakin banyak, ya Rasulullah. Nampaknya mereka terkena penyakit cacar. Tapi saya pastikan mereka tidak terkena gudik,” demikian jubir kelompok Urainah itu berkisah kepada Rasulullah.
Didasari sikap lemah lembut dan kasih sayang yang demikian luas kepada umatnya, Rasulullah memerintahkan salah seorang tukang gembala dari kalangan sahabat untuk segera membawa anggota kelompok Urainah yang sakit cacar itu ke luar kota Madinah. Mereka sementara diungsikan dulu agar kondisinya membaik.
Hari itu juga, unta-unta pilihan disiapkan. Keesokan harinya, mereka berangkat ke daerah yang cuacanya mirip dengan kondisi di Urainah. “Saya tahu tempatnya. Tidak begitu jauh,” demikian salah seorang anggota perjalanan meyakinkan.
Perjalanan ‘ekspedisi cacar’ dimulai. Unta-unta bergerak menggendong orang-orang yang sakit cacar. Senyum kebahagiaan mengembang. “Beginilah seharusnya. Sesama muslim, Muhajirin ataupun Ansor harus saling membantu dan tolong menolong,” salah seorang dari mereka berseloroh disambut riuh suara tanda setuju seluruh anggota perjalanan.
Perjalanan itu sungguh menjadi jalan keluar. Setelah tiga hari perjalanan, ketika mereka sudah lumayan jauh meninggalkan kota Madinah, penyakit cacar yang mendekap orang-orang Urainah itu berangsur pulih dan hilang.
Perdebatan pun dimulai. Penggembala unta yang diberi tugas menjadi pendamping ekspedisi itu mengajak pulang. Rasulullah beramanat, setelah sembuh rombongan harus segera diajak kembali. Namun, ajakan itu ditolak mentah-mentah oleh seluruh anggota perjalanan. Mereka berdalih khawatir akan terkena cacar lagi jika harus kembali ke kota Madinah.
“Sebaiknya kita tinggal di sini saja. Kita akan terhindar dari penyakit bedebah dan menjijikkan itu,” demikian seorang anggota berdalih.
Tak disangka, keesokan harinya salah seorang anggota ekspedisi nekat membunuh penggembala unta. Mayatnya dibuang dan unta-unta itu dibawa kabur oleh mereka.
Kabar pembunuhan dan pencurian unta akhirnya sampai ke telinga Rasulullah. Kecewa dan marah atas perilaku kelompok mualaf dari Urainah itu, Rasulullah memerintahkan beberapa sahabat untuk mengejar dan menangkapnya. Rasulullah dikhianati.
Kelakuan orang Urainah memang nekat betul: pura-pura masuk Islam demi onta-onta pilihan. Kisah ini termaktub di banyak kitab. Salah satunya ditulis oleh Ibnu Hajar Al-Asqalany dalam Fathul Bāry syarhi Shahih Bukhari (Fathul Baāry, 1998: 253-254. vol.7).
***
Pengkhianatan juga menimpa Sirajuddin at-Takrūri atau yang dikenal dengan Ibnu Mulaqqīn. Ulama moncer pada abad pertengahan yang mengarang setidaknya 75 judul buku itu difitnah dan dikhianati oleh orang-orang dekatnya sendiri.
Ketika Sultan Saifuddin Barquq menawarinya jabatan hakim agung, orang-orang dekat Ibnu Mulaqqīn menerbitkan surat palsu yang menyatakan telah terjadi praktik suap-menyuap terkait jabatan itu. Ibnu Mulaqqīn dijebloskan ke dalam penjara. Pengkhianatan sahabat-sahabat dekatnya nyaris sempurna dan membuat Ibnu Mulaqqīn kecewa berat.
“Hadirin yang terhormat, jabatan hakim agung adalah jabatan luhur dan sangat mulia. Siapa yang menduduki posisi itu bukanlah orang sembarangan. Harus bersih. Mesti jujur, tanpa pamrih. Tapi, seperti yang kita saksikan, hari ini kita sangat malu karena tragedi suap-menyuap jabatan hakim agung melanda negeri kita. Kutukan Tuhan macam apa yang akan diberikan kepada kita. Jebloskan Ibnu Mulaqqīn ke dalam penjara. Hukum seberat-beratnya,” demikian kata seorang orator di depan istana kala itu.
Pintu maaf benar-benar ditutupnya tatkala Ibnu Mulaqqīn mendengar sahabat-sahabatnya menerbitkan sebuah selebaran yang berisi propaganda tentang karya-karyanya yang disebut sebagai sampah akademik dan jiplakan.
“Ilmu harus dibalas dengan ilmu. Lalu apakah pengkhianatan harus dibayar dengan pengkhianatan pula?” demikian Ibnu Mulaqqin meratap.
Pengkhianatan itu menjadi pukulan berat bagi dirinya. Setelah ia dinyatakan bebas, ia menutup diri. Tidak menaruh rasa percaya kepada siapa pun, ia hidup menyendiri dengan buku-bukunya. Suatu ketika, kebakaran besar melanda rumah dan melahap habis seluruh koleksi di perpustakaannya. Ibnu Mulaqqīn tak sadarkan diri dan meninggal beberapa hari setelah kebakaran hebat itu (As-Syakhawi, Taudhīhul Abhar, 1996: 12).
Barangkali dendang syair yang digubah Mahmud Sāmy ratusan tahun kemudian ditujukan, salah satunya, untuk mengenang pengkhianatan-pengkhianatan yang dilakukan oleh para pendengki, termasuk yang dialami Nabi Muhammad saw. dan Ibnu Mulaqqīn:
“Falyaqul hāsidy alā kulli sya’in, fasam’iy anil khanā fijtinābi, walā ubāly bimā yuqālu wa in kunta malīan biraddil jawābi” (biarkanlah para pendengki membual segalanya tentang diriku, sebab telingaku telat tertutup untuk segala ucapan buruk. Aku tak peduli dengan apa yang diucapkan, meski benakku penuh sesak dengan jawaban).
==========
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang kisah hikmah yang diangkat dari dunia pesantren dan tradisi Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Hikayat Ramadan". Rubrik ini diampu selama sebulan penuh oleh Fariz Alnizar, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan kandidat doktor linguistik UGM.
Editor: Maulida Sri Handayani