tirto.id - Bagaimana sebaiknya seorang serdadu mengakhiri hidupnya? Ini mungkin pertanyaan yang paling banyak dibahas dalam berbagai dengan tema perang dunia kedua. Dua film penting Letters from Iwo Jima dan Flags of Our Fathers yang disutradarai Clint Eastwood. Mati demi negara atau menyerah dan melanjutkan hidup di hari lain.
Tapi bagaimana jika para serdadu itu tak pernah menjumpai perang lantas gugur di masa damai?
Baru-baru ini, empat prajurit TNI AD meninggal dunia dan delapan prajurit mengalami luka-luka akibat kecelakaan saat latihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) TNI di Natuna, Kepulauan Riau. Hal ini dibenarkan oleh Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen TNI Alfret Denny Teujeh.
"Pimpinan TNI Angkatan Darat menyampaikan rasa belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas gugurnya empat prajurit terbaik TNI AD dalam insiden kecelakaan latihan di Natuna, beberapa saat yang lalu. Semoga almarhum husnul khatimah dan bagi keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan," kata Kadispenad saat dikonfirmasi di Jakarta, seperti dikutip Antara.
Ia mengatakan insiden tersebut terjadi dalam latihan pendahuluan PPRC TNI yang dilaksanakan pada Rabu sekitar pukul 11.21 WIB. Ketika itu, salah satu pucuk Meriam Giant Bow dari Batalyon Arhanud 1/K yang sedang melakukan penembakan mengalami gangguan pada peralatan pembatas elevasi, sehingga tidak dapat dikendalikan.
"Akibatnya, empat orang meninggal dunia dan delapan prajurit lainnya dari satuan Yon Arhanud I Kostrad mengalami luka-luka karena terkena tembakan. Saat ini para korban sedang dievakuasi ke rumah sakit terdekat," katanya.
Empat orang yang meninggal itu adalah Komandan Baterai (Danrai) Kapten Arh Heru Bayu, Pratu Ibnu Hidayat, Pratu Marwan, dan Praka Edy. Adapun prajurit yang mengalami luka-luka adalah Pratu Bayu Agung, Serda Alpredo Siahaan, Prada Danar, Sertu B Stuaji, Serda Afril, Sertu Blego Switage, Pratu Ridai, dan Pratu Didi Hardianto.
Ini bukan pertama kali prajurit TNI gugur saat latihan. Dalam pantauan tim riset Tirto, sejak 2012 ada beberapa kasus kecelakaan yang berujung pada kematian. Ini menunjukkan keselamatan prajurit TNI saat latihan masih belum memadai.
Pada 7 Juli 2012, bertempat di perairan Pasir Putih, Situbondo, Komandan Satuan Kapal Selam Koarmatim Kolonel Laut (P) Jeffry Stanley Sanggel dan Mayor Laut (T) Eko Indang Prabowo dari Angkatan Laut mengalami kecelakaan saat latihan simulasi penyelamatan dengan kapal selam KRI Cakra 401.
Dalam skenario tersebut, ada enam orang anak buah kapal selam KRI Cakra terjebak di dalam kapal selam yang tidak bisa muncul ke permukaan. Keenam orang ABK kapal selam tersebut dibagi dalam tiga sorti untuk menyelamatkan diri dari dalam kapal selam tersebut. Dalam skenario simulasi tersebut, dua orang orang yang dievakuasi dari dalam kapal selam KRI Cakra-401 menjadi korban.
Kecelakaan laut yang membunuh prajurit TNI kembali terjadi pada 3 Oktober 2013 di Bali. Kali ini korbannya adalah sersan satu Wahyu Eko Setiawan Kopassus. Ia meninggal saat terjadi gangguan teknis saat penyelaman dalam simulasi penyelaman untuk pengamanan KTT APEC. Saat itu ada dua anggota yang terjebak, tapi satu orang lainnya bisa diselamatkan.
Kecelakaan laut merupakan beberapa penyebab kematian paling banyak prajurit TNI yang sedang berlatih, tapi selain kecelakaan laut, kecelakaan saat latihan terbang juga menjadi penyebab lain kematian prajurit.
Pada 20 Desember 2015 di Yogyakarta Letnan Kolonel Pnb Marda Sarjono dan Kapten Pnb Dwi Cahyadi, keduanya dari Angkatan Udara terjatuh saat melakukan akrobat pesawat udara. Korban gugur saat menerbangkan pesawat T-50 Golden Eagle dalam Gebyar Dirgantara HUT Sekolah Penerbang TNI AU ke-70 di Kota Yogyakarta. Kedua pesawat itu jatuh setelah melakukan atraksi selama dua puluh menit. Saat itu keduanya menerbangkan Pesawat T50i Golden Eagle yang tergabung dalam Skuadron Udara 15 yang bermarkas di Lanud Iswahyudi Maospati, Madiun, Jawa Timur.
Kecelakaan ganda juga terjadi pada 7 April 2016 di Jakarta saat Kopral Dua Beni dan Prajurit Satu Supranoto, keduanya personel Pasukan Khas TNI Angkatan Udara, mengalami kecelakaan saat melakukan latihan gladi bersih terjun payung di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Kedua korban terjun dari pesawat C-130 Hercules yang terbang di atas Lanud Halim sekitar pukul 09.00 WIB.
Mereka celaka akibat kendala teknis. Salah satu korban gagal mengembangkan parasutnya lantaran tali yang terbelit ke badan penerjun. Korban kemudian jatuh di atap rumah dinas TNI AU yang masih berada di kawasan Lanud Halim. Satu korban lain jatuh di landasan pacu Lanud Halim. Awalnya, parasut korban mengembang sempurna. Namun angin kencang yang berembus membuat korban terpelanting dan jatuh. Setelah dua jam mengalami perawatan intensif, keduanya dinyatakan meninggal di rumah sakit.
Banyaknya kasus kematian saat latihan yang menimpa prajurit TNI semestinya menjadi perhatian. Harus ada standar pengamanan khusus saat latihan yang bisa menjaga dan menjamin keselamatan para prajurit. Kementerian pertahanan Inggris pada 2014 merilis data berjudul "Health and Safety Statistics Report" yang menunjukkan bahwa 38 persen personel militer Inggris mengalami kecelakaan serius saat latihan. Kecelakaan itu kemudian menjadi pertimbangan untuk mengamati ulang standar operasional prosedur pengamanan dan keselamatan latihan.
Terkait santunan, pemerintah memang menyiapkan dengan cukup baik. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 102 Tahun 2015 menggantikan aturan sebelumnya yakni PP Nomor 67 tahun 1991, disebutkan santunan risiko kematian bagi anggota Polri, TNI, dan PNS Kemenhan yang meninggal karena gugur dalam bertugas kini mencapai Rp400 juta. Sedangkan korban meninggal dalam kategori tewas mendapat santunan Rp275 juta.
Tidak hanya mendapatkan uang dari santunan risiko kematian, keluarga petugas negara yang masuk kategori "gugur" mendapat santunan kematian sebesar Rp17 juta, sementara untuk bintara dan tamtama Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan PNS yang menduduki jabatan pelaksana sebesar Rp15,5 juta. Keluarga yang ditinggal juga mendapatkan bantuan beasiswa pendidikan untuk anak mereka sebesar Rp30 juta.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani