tirto.id - Senin (20/11/2017), Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan untuk menunda jalannya sidang putusan gugatan yang diajukan Dwi Aryani kepada maskapai asal Uni Emirat Arab, Etihad Airways. Dwi Aryani merupakan penyandang disabilitas yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan (diturunkan paksa) oleh Etihad akibat naik pesawat tanpa pendamping.
Majelis hakim mengungkapkan, ditundanya sidang putusan gugatan bernomor perkara 846/Pdt.G/2016/PN.JKT.Sel tersebut karena pihak majelis hakim merasa “belum siap” membacakan hasil putusan walaupun gugatan sudah dilayangkan semenjak 12 bulan lalu.
Saat proses sidang berlangsung, pihak Etihad sempat mengajak Aryani menempuh jalan mediasi dengan menawarkan ganti tiket perjalanan pulang-pergi. Akan tetapi, Aryani menolak dan tetap melanjutkan gugatannya. Selain Etihad, pihak lain yang turut serta digugat ialah PT Jasa Angkasa Semesta (perusahaan jasa layanan bandara) serta Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan.
Kasus Aryani dan Etihad terjadi pada 3 April 2016 di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. Menurut pengakuan Aryani, perlakuan tidak menyenangkan Etihad berlangsung tatkala kepala kru mencecar Ariyani dengan pertanyaan-pertanyaan bernada melecehkan. Ariyani ditanya apakah ia bisa menyelamatkan diri ketika pesawat mengalami kecelakaan. Pelecehan juga datang dari seorang petugas operasi airport. Abror, nama petugas tersebut, bertanya apakah Aryani bisa berjalan atau tidak.
Alih-alih menyesali apa yang mereka lontarkan, pihak maskapai justru meminta Aryani turun dari pesawat. Alasannya, Aryani menggunakan kursi roda dan tidak membawa pendamping. Aryani mencoba membela diri. Ia meyakinkan petugas bahwa bukan kali pertama dirinya naik pesawat. Petugas terus ngotot dan berdalih bahwa apa yang mereka lakukan sudah sesuai peraturan penerbangan Etihad.
Faktanya, di dalam peraturan tidak disebutkan adanya larangan terbang bagi penyandang disabilitas. Bahkan, di peraturan tersebut termaktub ketentuan untuk tidak berlaku diskriminatif kepada penyandang disabilitas.
Akhirnya, Aryani dipaksa harus turun dari pesawat. Mengenai hal itu, ia mengungkapkan kepada BBC Indonesia, “Kami sebagai penyandang disabilitas berharap pihak berwenang dan maskapai penerbangan lebih banyak memberikan sosialisasi agar tidak terjadi diskriminasi bagi penyandang disabilitas saat hendak bepergian menggunakan pesawat.”
Sedianya, Aryani akan terbang ke Jenewa guna menghadiri Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas di kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, akibat perlakuan maskapai yang sewenang-wenang tersebut, Aryani batal terbang.
Bukan Satu-Satunya Kasus
Apa yang menimpa Aryani nyatanya bukan kasus pertama. Pelakunya ialah maskapai lokal Lion Air yang memperlakukan penumpangnya secara tidak menyenangkan di Soekarno-Hatta. Pada April 2011, Ridwan Sumantri yang akan melakukan riset mengenai undang-undang disabilitas di Bali, mengaku memperoleh perlakuan diskriminatif dari Lion Air. Ia kecewa sebab tak memperoleh tempat duduk di bagian depan agar memudahkan gerak-geriknya. Ridwan justru mendapat kursi di tengah dengan nomor 23A. Padahal sejak check-in, Ridwan telah meminta kursi khusus kepada petugas.
Di samping itu, Ridwan juga diwajibkan menandatangani surat pernyataan sakit dari kru Lion Air akibat menggunakan kursi roda. Dalam surat tersebut dijelaskan, dirinya (Ridwan) musti bertanggungjawab apabila penumpang lain ikut sakit. Ridwan jelas menolak. Apa yang disodorkan kru Lion Air merupakan bentuk diskriminasi. Walhasil, setelah 40 menit berdebat dengan kru dan diancam bakal diturunkan dari pesawat, Ridwan meneken surat pernyataan tersebut.
Hal serupa juga dialami Aria Indrawati. Pada pertengahan 2010, ia diminta menandatangani surat yang sama dengan milik Ridwan. Mengutip Antara, Aria menolak untuk menandatanganinya sebab tahu bahwa surat itu tidak tepat ditujukan untuk dirinya. Dampaknya, Aria tak mendapatkan bantuan dari petugas Lion Air mulai sebelum, saat berada, hingga keluar pesawat. “Bahkan, sewaktu pesawat pindah gate saya malah dibantu penumpang lain untuk meminta pendampingan petugas,” kenangnya.
Diskriminasi terhadap disabilitas tak hanya terjadi di Indonesia. Pada 5 Juni 2017 di Bandara Amami, Jepang Selatan, maskapai penerbangan Vanilla Air memperlakukan penumpangnya dengan buruk. Hideto Kijima, seorang penumpang yang mengalami kelumpuhan, bersiap terbang ke Osaka. Kala itu, pesawat Vanilla Air tidak mempunyai lift untuk mengangkut para penumpang.
Melihat kondisi demikian, Kijima meminta rekan-rekannya untuk menggendongnya masuk pesawat. Namun, pihak Vanilla Air justru melarang rekan-rekan Kijima dengan alasan “aturan keselamatan". Akhirnya Kijima mesti merangkak untuk menaiki 17 anak tangga mmenuju pesawat tanpa bantuan sedikit pun.
“Jika orang yang tak bisa berjalan tidak diperbolehkan naik pesawat, seharusnya bayi dan orang-orang lanjut usia tak dibolehkan juga,” jelasnya. “Apa yang dilakukan pihak maspakai merupakan pelanggaran hak asasi manusia.”
Namun Vanilla Air akhirnya merespons Kijima. “Kami meminta maaf karena telah menyebabkan kesulitan terhadap penumpang,” ujar juru bicara maskapai seperti dikutip kantor berita AFP pada Juni 2017.
Implementasi Peraturan
Tiap negara memiliki peraturan masing-masing mengenai perlakuan penyandang disabilitas di pesawat terbang. Australia, misalnya, lewat Civil Aviation Safety Authority (CASA) pemerintah menegaskan para petugas maskapai dilarang keras merendahkan, berbicara keras, serta melakukan perbuatan tidak menyenangkan kepada penyandang disabilitas.
“Apabila penumpang [disabilitas] bepergian sendiri, biarkan mereka memberi tahu Anda bagaimana cara terbaik untuk membantu. Penumpang mungkin hanya membutuhkan bantuan seperti mengangkat kaki saat pindah dari kursi roda ke tempat duduk. Jika dilakukan secara keliru hal ini akan sangat berbahaya,” tulis CASA dalam situs resminya.
Tindakan pertolongan lain yang bisa dilakukan petugas kepada penumpang disabilitas adalah membantu reservasi penerbangan, melakukan check-in, memastikan ketersediaan ruang bagi penyandang disabilitas, hingga menyiapkan toilet portable guna memudahkan penumpang disabilitas.
Sementara itu, Uni Eropa juga memberlakukan peraturan yang sama perihal perlakuan penumpang disabilitas dalam pesawat terbang. Melalui peraturan Nomor 1107 yang diteken pada 15 Agustus 2016, Uni Eropa menjamin pemenuhan hak penyandang disabilitas saat bepergian menggunakan pesawat.
Beberapa poin yang termuat dalam peraturan ini antara lain melarang maskapai menolak reservasi dari penumpang penyandang disabilitas, memastikan penumpang penyandang disabilitas menerima bantuan saat berada di dalam pesawat tanpa biaya sepeser pun, hingga memberlakukan sanksi bagi mereka yang melanggar peraturan.
Untuk Indonesia sendiri, penanganan penumpang disabilitas diatur dalam Pasal 134 ayat (1) sampai (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Pasal-pasal tersebut menjelaskan bahwa penyandang disabilitas berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus dari badan usaha angkutan udara niaga.
Pelayanan yang dimaksud dalam pasal pertama meliputi pemberian prioritas tambahan tempat duduk, penyediaan fasilitas kemudahan naik dan turun dari pesawat, ketersediaan personel untuk penyandang disabilitas, hingga penyediaan buku petunjuk keselamatan dan keamanan penerbangan yang dapat dimengerti penyandang disabilitas. Semua pelayanan itu tidak boleh dikenakan biaya.
Dari ketentuan peraturan tersebut, apa yang sudah dilakukan Etihad jelas merupakan tindakan melanggar hukum. Dengan menurunkan paksa Aryani—atau dalam hal ini penumpang pesawat—Etihad sudah melanggar ketentuan Pasal 134 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan di mana sejatinya setiap penyandang disabilitas berhak memperoleh layanan khusus dari maskapai. Alih-alih mendapatkan fasilitas yang sifatnya memudahkan perjalanannya, Aryani justru diminta turun dengan dalih konyol.
Walaupun Etihad merupakan maskapai asing akan tetapi keberadaannya terikat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Pasal tersebut menegaskan bahwa Undang-Undang Penerbangan berlaku untuk semua kegiatan penggunaan wilayah udara yang dilakukan pesawat udara asing dari dan/atau ke wilayah Indonesia serta pesawat udara Indonesia di luar wilayah negara. Maka dari itu, Etihad bisa disimpulkan masuk dalam kategori “pesawat udara asing dari dan/atau wilayah Indonesia” yang otomatis terikat pemberlakuan undang-undang.
Enam tahun lalu Indonesia telah meratifikasi Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Tujuan konvensi tersebut adalah untuk memajukan, melindungi, dan menjamin kesamaan hak kebebasan mendasar bagi semua penyandang disabilitas serta penghormatan terhadap martabat penyandang disabilitas. Namun, masalah Aryani dan Etihad memperlihatkan bahwa perjuangan penghapusan diskriminasi dan stigma terhadap penyandang disabilitas ternyata masih panjang.
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf