tirto.id - Anggota Komisi V DPR, Andi Taufan Tiro telah divonis oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Rabu (26/4/2017). Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu divonis hukuman 9 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider kurungan 6 bulan.
Selain itu, Majelis Hakim juga memberikan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik Andi Taufan sampai lima tahun setelah menyelesaikan hukuman pidananya. Selama kurun waktu itu dia tidak berhak dipilih untuk jabatan publik.
Majelis hakim menilai Andi Taufan terbukti menerima suap Rp7,4 miliar terkait program dana aspirasi proyek pembangunan jalan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di Maluku dan Maluku Utara.
Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa yang meminta hakim menjatuhkan hukuman 13 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan kepada Andi Taufan.
Pencabutan Hak Politik
Andi Taufan bukan satu-satunya politisi yang dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik. Dari penelusuran Tirto, sepanjangtahun 2017 saja ada nama-nama pejabat publik dan politisi lain yang oleh majelis hakim juga dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik ini.
Pada 8 Maret 2017, mantan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, I Putu Sudiartana juga dicabut hak politiknya selama 5 tahun. Selain itu, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan, dan kewajiban uang pengganti Rp300 juta kepada I Putu Sudiartana.
Sebelumnya, pada 20 Februari 2017, mantan Ketua DPD RI, Irman Gusman juga mendapatkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik selama 3 tahun setelah Irman Gusman selesai menjalani pidana pokoknya. Saat itu, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 4 tahun dan 6 bulan penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan, serta hukuman tambahan untuk Irman.
Jika ditarik jauh ke belakang, para pejabat publik dan politisi yang telah dicabut hak politiknya oleh Majelis Hakim jumlahnya cukup banyak. Data yang dihimpun tim riset Tirto menunjukkan sejak tahun 2014 hingga Desember 2016 saja, setidaknya ada sekitar 17 nama politisi dan pejabat publik yang oleh Majelis Hakim dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik tersebut.
Politisi yang hak politiknya dicabut, misalnya: Luthfi Hasan Ishaaq (mantan Presiden PKS), Akil Mochtar (mantan Ketua MK), Ratu Atut Chosiyah (mantan Gubernur Banten), Fuad Amin (mantan Bupati Bangkalan), Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat), hingga Patrice Rio Capella (mantan Sekjen Nasdem). Selain nama-nama populer tersebut, masih ada sejumlah nama lain yang hak politiknya juga dicabut oleh majelis hakim.
Hukuman tambahan ini mulai menjadi tren bermula dari kasus korupsi simulator sim yang menjerat Irjen Polisi Djoko Susilo. Saat itu, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri itu dicabut hak politiknya pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Kemudian pada tingkat kasasi, pencabutan hak politik Djoko tersebut diperkuat.
Maraknya pencabutan hak politik ini menuai pro dan kontra. Bagi kelompok yang kontra, pencabutan hak politik dinilai berlebihan karena hal tersebut merupakan hak dasar setiap manusia. Bahkan tidak sedikit yang menilai hal tersebut sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).
Sementara kelompok yang pro, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru mendukung upaya tersebut. Komisi antirasuah berharap, hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik dapat menimbulkan efek jera yang lebih tegas, terutama bagi seorang pejabat publik yang cenderung menyelewengkan kewenangan yang diembannya.
KPK berharap, pemberian hukuman tambahan yang selama ini hanya diterapkan oleh Mahkamah Agung (MA) diharapkan bisa menjadi rujukan hukum (yurisprudensi) hakim-hakim pengadilan di tingkat daerah. Selain itu, KPK tak segan-segan akan menuntut hukuman pencabutan hak politik kepada terdakwa koruptor yang melakukan tindak pidana korupsi skala besar.
Dasar Hukum Pencabutan Politik
Ahli pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, M. Arif Setiawan mengatakan pencabutan hak tertentu merupakan salah satu pidana tambahan. Namun, hal tersebut hanya bisa dijatuhkan terkait dengan jabatan politik yang diperoleh melalui proses pemilu, dan tidak bisa dijatuhkan secara tetap atau permanen.
“Harus ada batas waktu definitif tentang berapa lama pencabutan hak politik tersebut bisa dijatuhkan. Sepanjang dilakukan melalui proses peradilan yang adil (due process of law),” ujarnya pada Tirto, Kamis (27/4/2017).
Artinya, pencabutan hak politik yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim bukan tanpa dasar. Hal tersebut diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 10 poin b yang menyebut hukuman tambahan terdiri dari pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
Sebagai pidana tambahan, pencabutan hak tertentu berarti hanya bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan. Menurut pakar pidana Andi Hamzah, seperti dikutip laman Hukum Online (Januari 2014), hukuman ini tidak dapat berdiri sendiri, kecuali dalam hal-hal tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif, dalam arti dapat dijatuhkan tetapi tidak harus.
Artinya, secara hukum pidana, hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik sudah diatur. Namun, KUHP juga memberikan ketentuan yang jelas soal batasan pencabutan hak ini, seperti diatur dalam Pasal 38 ayat (1) dan (2). Merujuk pada ketentuan ini, maka hakim menentukan lamanya pencabutan hak politik tersebut.
Misalnya, dalam hal pidana mati atau pidana seumur hidup, maka lamanya pencabutan juga seumur hidup. Akan tetapi dalam hal pidana penjara tertentu atau pidana kurungan, maka lamanya pencabutan hak paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun dari pidana pokoknya. Dalam konteks ini, narapidana yang dicabut hak politiknya oleh hakim dapat dihidupkan kembali hak politiknya.
Hal tersebut diperkuat dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Maret 2009. Dalam konteks ini, MK pernah pernah mengeluarkan putusan No 4/PUUVII/ 2009 yang menetapkan bahwa hukuman pencabutan hak politik dianggap konstitusional, tetapi dengan batasan-batasan tertentu.
Misalnya, pencabutan hak politik hanya berlaku sampai lima tahun sejak terpidana selesai menjalankan hukumannya, serta jabatan yang boleh diduduki itu hanya jabatan yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan, bukan jabatan yang diraih karena pengangkatan atau penunjukan.
Melihat ketentuan tersebut, maka peluang para terpidana yang pernah mendapat hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik tidak benar-benar menghalangi karier mereka untuk kembali ke dunia politik.
Mereka masih diperbolehkan untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden, wakil presiden, anggota legislatif dan kepala daerah. Namun, mereka jangan pernah bermimpi untuk menjadi menteri, duta besar, dan jabatan lain yang tidak melalui pemilihan langsung oleh rakyat.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz