tirto.id - Senin, 14 Maret 2016 pukul 09.00 WIB, Balai Kota DKI Jakarta yang berlokasi di Jalan Medan Merdeka Selatan penuh sesak dengan ratusan pengemudi taksi dari berbagai perusahaan. Mereka memarkir mobilnya berjejer sehingga nyaris menutup sebagian besar ruas jalan di jantung ibukota tersebut. Jalanan di kawasan Monas menuju Jl. Thamrin ditutup. Kemacetan parah tak terhindarkan.
Sekitar 2.000 pengemudi melakukan demo. Mereka terdiri dari 800 pengemudi taksi, 200 pengemudi angkutan bus kecil, 800 dari angkutan lingkungan, serta 200 pengemudi bus kota. Tuntutan mereka sama: menuntut pemerintah untuk melarang operasi angkutan umum berplat hitam berbasis aplikasi online.
Mereka membentangkan spanduk dan poster yang berisi tuntutan pembubaran transportasi berbasis aplikasi yang dianggap ilegal.
"Wahai penguasa!!! Buka mata anda!! Berantas sistem transportasi ilegal online." Tuntutan keras itu tertera dalam salah satu spanduk. Ada juga poster yang berisi: "Uber dan Grab berkeliaran sengsarakan kami."
Ketika massa berada di depan Istana Negara, mereka berteriak kepada pengemudi ojek online yang lewat di depannya. "Gojek, keluar kau!" teriak para supir taksi. Mereka juga memaksa turun supir taksi yang lewat untuk ikut berdemo. "Turun, bro, ikutan sini, yang solid dong!"
Selain berorasi, ada juga yang melakukan aksi teaterikal. Salah satu pendemo mengecat badan mereka seolah-olah mereka ditindas oleh perusahaan ojek aplikasi online. Para penampil aksi berteriak meminta pemerintah menghentikan operasi mereka yang dinilai melanggar undang-undang.
Massa juga memukul foto Presiden Indonesia, Joko Widodo yang dinilai tidak pro-rakyat dan tidak mengerti hukum. Presiden Jokowi memang pernah menegur menteri Perhubungan, Ignatius Jonan karena pernah melarang ojek berbasis aplikasi untuk beroperasi.
Pedang Bermata Dua
Perselisihan antara transportasi konvensional dan berbasis aplikasi sebenarnya bukan hal baru. Ketika ojek berbasis aplikasi seperti Gojek dan Grab Bike mulai ngetren di tahun 2015, ada gejolak dari kalangan ojek pangkalan atau opang. Berkali-kali ojek pangkalan dilaporkan menyerang pengemudi ojek berbasis aplikasi yang dianggap mengambil penumpang di daerah mereka. Pada bulan-bulan pertama kemunculan Gojek, hampir setiap hari ada berita penyerangan serupa.
Kini, para opang sepertinya sudah bisa menerima keadaan. Sebagian opang ada yang bergabung dengan ojek berbasis aplikasi, sebagian lagi memilih pasrah dengan tetap mengandalkan pelanggan-pelanggan setianya.
Jika perseteruan ojek sudah mereda, tidak demikian dengan pengemudi taksi dan kendaraan umum. Mereka rupanya sudah tak tahan karena pendapatannya terus turun akibat maraknya transportasi berbasis aplikasi.
Tohari, salah satu supir taksi yang ikut dalam aksi tersebut berharap agar pemerintah segera melarang angkutan ilegal beroperasi. Ia mengaku sangat dirugikan oleh maraknya transportasi berbasis aplikasi.
"Sejak ada Gojek dan Grab Bike, pendapatan saya turun drastis, Mas, sekarang omzet cuma Rp 200 ribu aja, buat setoran saja nggak cukup," katanya. Sebelum marak transportasi berbasis aplokasi, Tohari bisa memperoleh pendapatan hingga Rp 700 ribu per hari. Tohari dan kawan-kawannya akan terus menentang keberadaan angkutan ilegal jika pemerintah tidak menghentikannya.
Hal senada juga dikatakan oleh Samsul Arifin, yang pendapatannya sekarang sudah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. "Sekarang ini, saya malah sering ngutang, karena sudah minim pendapatannya dari narik taksi," katanya. Meski pendapatannya tekor, tetapi Samsul tidak mau beralih profesi menjadi tukang ojek karena profesi sebagai supir taksi sudah digelutinya selama 6 tahun.
Berbeda dengan Zainul, ia berencana untuk beralih profesi apabila operasi angkutan berplat hitam tidak dihentikan. Ia merasa profesi yang ia geluti selama 4 tahun ini sudah tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. "Kalau kayak gini terus, saya berhenti aja, mau buka usaha," katanya.
Kehadiran transportasi berbasis aplikasi memang seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, pengemudi taksi konvensional memang merugi karena jumlah penumpang dan pendapatan turun, sehingga nasib mereka makin tak pasti. Namun, di sisi lain, kehadiran transportasi berbasis aplikasi membantu kehidupan banyak orang. Tidak sedikit dari mereka yang kehidupannya membaik setelah menjadi pengemudi Uber atau Grab.
Salah satu pengemudi taksi berbasis aplikasi, sebut saja Budi, mengungkapkan perbaikan kehidupannya setelah pindah profesi. Selama lebih dari delapan tahun, Budi menjadi pengemudi salah satu armada taksi besar di Indonesia. Statusnya tak pernah berubah sebagai pengemudi. Sejak tahun 2015, Budi mulai menjadi pengemudi taksi berbasis aplikasi. Pendapatan Budi ternyata semakin meningkat hingga bisa menyicil kendaraan sendiri. Kini, Budi menjadi pengemudi taksi berbasis aplikasi dengan menggunakan mobilnya yang dicicilnya sendiri.
Menjadi pengemudi taksi berbasis aplikasi juga bukan notabene dilakukan oleh orang yang kesulitan keuangan. Banyak orang yang sudah mapan seperti PNS, manajer perusahaan swasta, ataupun pengusaha yang nyambi jadi supir Uber. Mereka biasanya mengambil penumpang yang sejalan dengan tujuan ke tempat pekerjaannya.
Suami bintang sinetron Poppy Bunga, Muhammad Fattah Riphat, merupakan satu dari sekian orang yang tak malu menjadi pengemudi Uber. Fattah yang juga berprofesi sebagai pengacara ini mengaku memeroleh pendapatan tambahan yang tidak sedikit dari nyambi sebagai sopir Uber.
"Saya awalnya pelanggan taksi uber. Saya ke mana-kemana lagi macet, dan suka males nyetir. Biasanya saya nggak bawa mobil. Sampe ketika saya ngobrol sama bapak-bapak sopir Uber. Ternyata bapak itu pengusaha punya showroom. Akhirnya saya penasaran, saya pelajari. Lalu saya email Uber pusat, saya dapet nomer Uber ternyata ada juga di Jakarta. Saya kontak dan datang ke seminarnya. Pas saya datang, yang jadi supir Uber banyak dan ada yang PNS, pengusaha, pegawai bank, mahasiswa dan lain-lain," tutur Muhammad Fattah Riphat, seperti dilansir dari Bintang.com.
Fattah tidak sendiri. Masih banyak kaum profesional lain yang mencari tambahan dengan menjadi pengemudi Uber, Grab Car, ataupun sekadar menyewakan mobilnya untuk dijadikan armada transportasi berbasis aplikasi. Tambahan dari menjadi pengemudi ataupun menyewakan kendaraan dirasa membantu keuangan, di tengah tuntutan kebutuhan yang makin besar.
Tak hanya dari sisi pengemudi, kehadiran transportasi berbasis aplikasi ini juga menguntungkan pengguna. Tarifnya jauh lebih murah. Aplikasinya juga memudahkan pemesanan. Taksi konvensional seperti Blue Bird dan Express mengenakan tarif Rp 4.000 per kilometer, dengan tarif buka pintu Rp 7.500. Keduanya juga mengenakan minimum pemesanan Rp 40.000, serta biaya pembatalan pesanan Rp15.000 untuk Blue Bird dan Express Rp 16.500.
Bandingkan dengan Uber yang tarifnya Rp 2.001 per kilometer dan Grab Rp 3.500. Keduanya tidak mengenakan tarif buka pintu. Namun, Uber dan Grab mengenakan biaya rental masing-masing Rp 3.000 dan Rp 2.500. Uber mengenakan minimum pesanan Rp 3.000, sedangkan Grab Rp 10.000. Sementara untuk biaya pembatalan pesanan, Uber mengenakan Rp 30.000, sementara Grab tidak mengenakan.
Tersandung Legalitas
Kehadiran transportasi berbasis aplikasi memang memberikan alternatif yang menguntungkan baik dari sisi pengguna maupun pengemudi. Sayangnya, operasi mereka di Indonesia masih tersandung soal legalitas.
Ketua I Organda DKI Jakarta Priyatmedi menjelaskan taksi Uber menjalankan bisnis melanggar aturan dan ilegal karena tidak membayar pajak sehingga tarifnya lebih murah. Sementara itu, Kepala Dishub DKI Jakarta, Benyamin Bukit, menambahkan keberadaan taksi Uber melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, UU Perseroan dan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2014 tentang Angkutan Umum.
Atas dasar legalitas yang tidak ada, sejumlah taksi Uber menjadi sasaran operasi pihak berwajib. Pada 9 Juni 2015, aparat Polda Metro Jaya membekuk lima orang sopir taksi Uber. Mereka ditangkap setelah dijebak petugas Dishub DKI Jakarta dan Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) yang berpura-pura memesan taksi Uber dari kawasan SCBD, Jakarta.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sendiri secara tegas menyatakan operasi Uber masih ilegal. Penegasan itu disampaikan setelah pihak Uber menyatakan bahwa Gubernur Ahok memberikan dukungan terhadap operasional taksi berbasis aplikasi itu.
“Uber sampai hari ini masih ilegal. Jangan kurang ajar gitu lho, saya sudah bilang sama orangnya,” tegas Ahok, Kamis (10/12/2015).
Jika ingin legal di Indonesia, Uber diminta membereskan berbagai persyaratan administrasi operasional, seperti uji kir, penempelan stiker Uber Taxi, pembentukan perusahaan dengan izin dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Untuk pemilik mobil juga harus membayar pajak penghasilan. Jika penghasilan pemilik mobil di bawah Rp 4,8 miliar setahun, cukup membayar pajak sebesar 1 persen.
Kementerian Perhubungan pun belum memberikan lampu hijau untuk pengoperasian layanan taksi Uber.
"Jika Uber masih ingin beroperasi maka harus terlebih dahulu menjadi perusahaan yang legal dengan mematuhi semua peraturan perundangan soal angkutan darat, termasuk UU Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan," kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Djoko Sasono, seperti dilansir dari Antara.
Beberapa hal yang diatur dalam UU Nomor 22/2009, yaitu perusahaan harus memiliki badan hukum yang jelas, kendaraan yang dimiliki harus laik jalan melalui pengujian kendaraan bermotor (KIR), dan asuransi.
"Hingga hari ini kami masih menunggu Uber untuk mengajukan izin dan lain-lain. Jika Uber sudah memenuhi apa yang disyaratkan dalam UU, maka pengoperasiannya tentu tidak akan sulit," kata Sasono.
Untuk menjadi angkutan umum, Uber harus mematuhi semua peraturan perundangan yang mengatur setiap angkutan umum diantaranya harus memakai pelat kuning. Jika angkutan tersebut tidak menggunakan pelat kuning dan tak memenuhi syarat lain yang tercantum dalam undang-undang maka tak bisa beroperasi.
Rontoknya Saham Blue Bird dan Express
Kehadiran taksi berbasis aplikasi yang dianggap masih ilegal itu tentu saja membuat pusing perusahaan taksi. Dua perusahaan taksi yang sudah melepas sahamya di publik, Blue Bird Grup atau PT Blue Bird Tbk (BIRD) dan PT Express Transindo Utama Tbk (TAXI) pusing kepala. Saham keduanya terus terpuruk dan diprediksi akan menghadapi ajalnya jika tidak melakukan terobosan.
Untuk Blue Bird sejauh ini masih aman kinerjanya. Sepanjang 2012 hingga 2014, laba Blue Bird masih dalam tren meningkat meski mulai melambat. Pada 2012, laba Blue Bird hanya Rp 118,171 miliar, naik menjadi Rp 713,202 miliar pada 2013, dan Rp 739,822 miliar pada 2014. Hingga semester I-2015, Blue Bird sudah mencetak laba Rp 446 miliar. Blue Bird menargetkan labanya di tahun 2015 bisa mencapai Rp900 miliar.
Namun, nasib baik tidak dialami Express yang labanya cenderung turun. Pada 2012, Express mencetak laba Rp 80,189 miliar dan meningkat menjadi Rp 131,783 miliar pada 2013. Namun, laba Express turun menjadi Rp 118,285 miliar pada 2014. Hingga semester pertama 2015, Express hanya meraup laba Rp 32,4 miliar.
Harga saham kedua perusahaan juga cenderung terus turun sejak transportasi berbasis aplikasi marak. Harga saham keduanya kini sudah di bawah harga ketika Initial Public Offering (IPO). Blue Bird Grup yang sahamnya berkode BIRD, ditawarkan pada harga Rp 6.500. Harga sempat mencapai titik tertinggi Rp 12.100 pada 16 Januari 2015. Setelah itu, harga terus cenderung turun hingga menjadi hanya Rp 6.125 pada 10 Maret 2016.
Nasib mengenaskan juga dialami oleh Express. Pada penawaran perdananya, saham berkode TAXI dibandrol Rp 650. Harga TAXI sempat mencapai tertingginya di Rp 1.830 pada 23 September 2013. Seiring maraknya transportasi berbasis aplikasi, saham TAXI terus turun dan sempat mencapai titik terendahnya di Rp 80 pada 18 Januari 2016. Hingga 10 Maret 2016, saham TAXI berada di Rp 143.
Analis NH Korindo Securities Indonesia, Reza Priyambada mengatakan, laba bersih perusahaan taksi konvensional memang terganggu oleh kehadiran transportasi berbasis aplikasi.
“Prospektif jasa transportasi konvensional bila tidak beralih ke online semakin lama akan terpuruk. Kondisi ini tidak bisa dipungkiri. Sekarang ini semua usaha yang cepat berkembang yakni online. Kalau misalkan suatu usaha tidak mengikuti perkembangan zaman akan tergeser dengan sendirinya usaha transportasi Taksi Express dan Blue Bird akan lebih mudah menggunakan online,” ujar Reza.
Menurut Reza, apabila Blue Bird dan Express ingin terus bertahan, mereka harus memiliki strategi jitu dalam memberikan pelayanan dan strategi pemasaran yang baik. “Itu yang harus dicermati Express dan Blue Bird beralih ke aplikasi, bukan demo. Sekarang seperti itu trennya. Kalau Blue Bird sudah ada kerja sama dengan perusahaan menggunakan voucher, seharusnya lebih bagus lagi ditambah, yang terpenting masyarakat gampang untuk melakukan order,” ujarnya.
Dalam pandangan Reza, Blue Bird dan Express mau tidak mau harus mengikuti tren bisnis berbasis aplikasi seperti sekarang ini. Basis aplikasi justru akan menguntungkan kedua perusahaan karena adanya kepastian tarif.
“Express dan Blue Bird akan lebih mudah menggunakan online, apalagi sudah tertera biayanya. Jadi tidak perlu takut argo kuda karena sudah ditentukan dan tidak diputar-putar jalannya oleh oknum sopir nakal karena bayarnya sesuai dengan harga yang sudah ditetapkan sebelum kita memesan,” ungkap Reza.
Sementara itu, pengamat transportasi dari Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Azas Tigor Nainggolan mengatakan, perusahaan taksi konvensional mestinya tak perlu merasa ketakutan dengan hadirnya taksi berbasis aplikasi. Syaratnya, perusahaan taksi konvensional memberikan keunggulan pelayanan melebihi yang diberikan oleh perusahaan jasa transportasi berbasis online.
“Harusnya mereka kalau merasa kalah bersaing dengan taksi online introspeksi, bersaing dengan fair memperbaiki layanan, ini kan masalah persoalan layanan. Nah, persoalan layanan jangan kayak anak kecil melakukan demo merengek pemerintah mengharapkan dapat fasilitas pemerintah,” tuturnya.
Oleh karena itu, ia menyarankan kepada seluruh perusahaan taksi konvensional untuk menjalin kerja sama dengan perusahaan jasa transportasi berbasis aplikasi yang sudah lebih dahulu menerapkan seperti itu.
“Ini kan bisnis ya harus diperbaiki. Kalau saya naik Grab Car dan Uber bisa istirahat mereka tahu jalan karena ada GPS. Kedua, kalau transportasi online cepat dapatnya, beda hal saya naik Blue Bird harus mandu sopir padahal orang memilih naik taksi karena nyaman mereka (taksi konvensional) harus kayak gitu,” ungkap Tigor.
Bagi sebagian orang, kehadiran Grab dan Uber memang musibah. Namun, bagi sebagian yang lain, kehadiran Grab dan Uber menjadi berkah. Tidak mudah menjembatani mereka yang merasa dirugikan dan mereka yang diuntungkan. Tugas pemerintah adalah membangun jembatan agar tidak timpang sebelah. Tegakkan aturan setelah terlebih dahulu mendengarkan suara-suara dari para pemangku kepentingan.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti