Menuju konten utama

Ketika Bambang Memilih Pamungkas

Bepe boleh saja gantung sepatu, tapi kontribusinya untuk Persija dan sepakbola Indonesia tak akan benar-benar pamungkas.

Ketika Bambang Memilih Pamungkas
Ikon Persija, Bambang Pamungkas melakukan selebrasi setelah mencetak gol ke tiga untuk Persija dalam lanjutan pertandingan perdelapan besar Piala Presiden melawan Mitra Kukar di Stadion Manahan, Solo, Minggu (4/2/18). tirto.id/Hafitz Mulana

tirto.id - Benny Dollo, mantan pelatih Timnas Sepakbola Indonesia, pernah punya anekdot menarik untuk menggambarkan penurunan performa Bambang Pamungkas alias Bepe pada laga Pra Piala Asia 2011 melawan Oman,19 Januari 2009.

Di pertandingan itu Indonesia tampil dengan skema pragmatis 4-5-1. Bendol mulanya ingin mengandalkan counter-attack, tapi minimnya koordinasi antara Bepe--selaku ujung tombak tunggal--dengan pemain di belakangnya bikin kreativitas lini depan Indonesia lebih sering tersendat. Laga berakhir 0-0 dan Bepe, menurut Bendol, “kelihatan seperti layangan putus.”

“Dengan sembilan pemain yang menjaga area gawang, otomatis Bambang sendirian di garis depan, sehingga waktu kami dapat bola, Bambang tidak dapat support yang bagus dari pemain tengah,” sambung bekas juru taktik Arema tersebut.

Kegagalan Indonesia melaju ke putaran final Piala Asia 2011 memang tanggung jawab bersama. Namun, hal itu tidak mampu menafikan fakta bahwa menjelang era 2010-an, Bepe mulai kehilangan sinarnya.

Pemain yang telah memperkuat timnas sejak 1999 itu akhirnya pensiun dari Timnas Indonesia per April 2013 dengan warisan berupa 86 caps dan 38 gol.

Gantung sepatunya Bepe dari timnas sudah terindikasi di Piala AFF 2012, saat di laga terakhir dia mengenakan nama punggung “Pamungkas”, alih-alih nama “Bambang” yang biasa dia pakai di seragamnya.

Pamungkas dalam KBBI merupakan bentuk tidak baku dari pemungkas yang berarti: orang atau sesuatu yang mengakhiri atau yang menyelesaikan (kerja, persolan, dsb).

“Hal tersebut bukan tanpa alasan. Dalam bahasa Indonesia, kata pamungkas memiliki arti ‘menjadi yang terakhir’. Maka begitu pula dengan perjalanan karier saya bersama tim nasional,” kata Bepe dalam sebuah tulisan di blog pribadinya.

Namun, sekalipun meninggalkan timnas, Bepe tak serta merta memungkasi kariernya di level klub. Sejak saat itu dia masih setia memperkuat Persija, sempat pula hijrah ke Pelita Bandung Raya.

Setelah digerogot usia, karier sepakbola Bepe baru benar-benar ‘pamungkas’ di penghujung 2019 ini. Laga kontra tuan rumah Kalteng Putra di pekan terakhir Liga 1 2019, Minggu (22/12/2019) besok rencananya bakal jadi gim terakhir pemakai kostum nomor 20 itu.

Bepe bahkan sudah berpamitan dengan The Jakmania pada laga kandang terakhir Persija di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Selasa (17/12/2019) malam tadi.

“Saya pernah jadi pemain terbaik di sini, saya pernah jadi top skor di sini, saya juga pernah juara di sini. Namun demikian, saya juga pernah patah kaki di sini, saya pernah depresi di sini, dan saya juga dianggap pengkhianat di sini,” ujar Bepe dalam pidato perpisahannya.

“Namun dalam segala kondisi yang saya alami, kalian semua [suporter] tetap di belakang saya. Untuk itu saya ingin mengucapkan terima kasih sebesar besarnya dari lubuk hati paling dalam.”

Kebanggaan Jakarta dan Indonesia

Lahir di Semarang, 10 Juni 1980, Bepe mengawali karier sepakbolanya pada usia delapan tahun dengan bergabung ke Sekolah Sepakbola (SSB) di Getas, Jawa Tengah. Enam bulan berselang dia pindah menimba ilmu ke SSB Ungaran hingga usia 13 tahun.

Medio 1994, Bepe menjajal level lebih kompetitif dengan bergabung ke beberapa klub, mulai dari Persada Ungaran hingga Persikas Semarang Regency. Bepe sempat pula transit ke Diklat Salatiga pada 1996.

Tiga tahun kemudian bakatnya terendus oleh klub ibu kota, Persija Jakarta. Di tempat ini pula Bambang muda memutuskan memoles talentanya.

Bepe langsung jadi pusat lampu sorot begitu menginjakkan kaki di Jakarta. Di musim perdana berseragam Macan Kemayoran, dia mengemas 24 gol dalam 30 penampilan liga.

Kemonceran inilah yang bikin semusim kemudian Bepe dlirik dan bergabung ke NHC Norad, klub divisi tiga di kompetisi sepak bola Belanda sebagai pemain pinjaman.

11 kali main, Bepe mencetak tujuh gol untuk NHC Norad. Sayang, kariernya di Negeri Kincir Angin tak berujung kontrak jangka panjang.

Selain Persija, Bepe sempat mencicipi berseragam Selangor FA (2005-2007) dan Pelita Bandung Raya (2013-2014).

Walau pernah dituding pengkhianat oleh sebagian fansnya sendiri ketika bergabung dengan Pelita Bandung Raya, loyalitas Bepe untuk Persija pada dasarnya tidak perlu dipertanyakan. Menurut data Transfermarkt, sebanyak 351 pertandingan telah dia lakoni untuk Persija dengan sumbangsih tak main-main: 168 gol.

Bepe adalah kepingan penting saat Persija menjuarai liga pada musim 2001. Ketika klub ini kembali menjadi yang terbaik di Liga 1 2018 lalu, peran Bepe juga tak kalah signifikan. Di ruang ganti, sosoknya dianggap sebagai panutan.

“Saya selalu butuh Bambang, karena dia itu pengayom dan stabilisasi bagi teman-temannya di Persija,” ujar eks Dirut Persija, Gede Widiade akhir musim lalu.

Atas alasan itu pula Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sampai rela menyempatkan waktu memberi ucapan selamat kepada Bepe di Stadion Utama GBK, Selasa (17/12/2019). Anies juga menjanjikan Bepe akan jadi penendang bola pertama saat peresmian stadion baru, BMW Stadium yang rencananya bakal dijadikan markas Macan Kemayoran.

“Bambang, mengakhiri perannya di lapangan hijau. Akan tetapi, titel legendanya tak akan pernah berhenti dalam sejarah sepak bola,” ujar Anies.

Masih Berkontribusi Lewat Tulisan

Selain loyalitas, kemampuan memimpin dan konsistensinya di atas lapangan, Bepe punya daya tarik lain: kelihaian berargumen. Kemampuan argumen ini bahkan tidak cuma meliputi bicara dengan mulut, tapi juga lewat media tulisan.

Di sela-sela kesibukannya, Bepe adalah pesepakbola Indonesia yang--barangkali--paling rajin menulis. Hampir setiap bulan dia mengunggah satu sampai dua artikel opini di blog pribadinya. Dia juga sempat merilis beberapa buku, seperti Bepe20: Ketika Jemariku Menari (2011) dan Bepe20 Pride (2014).

Bepe, dalam buku keduanya, sempat berujar bahwa ia mulanya terdorong menulis karena keterpaksaan.

“Saya menulis lebih karena keterpaksaan, mungkin rekan-rekan media tahu bahwa saya orang yang tertutup,” tulis Bepe.

Bepe adalah orang yang cenderung tertutup dan relatif jarang melayani permintaan tanya jawab dengan wartawan. Oleh sebab itu, lewat bukunya, dia berharap suporter maupun media tetap bisa berinteraksi dengannya.

Tapi siapa sangka, dari keterpaksaan itu kini Bepe jadi mengalami semacam ketagihan. Berbagai keresahan semakin kerap disuarakan sang ujung tombak.

Lewat serial tulisan berjudul “Persija Juara, Sudah Diatur?” misal, Bepe sempat mengomentari berbagai dugaan praktik kecurangan di sepakbola Indonesia, sesuatu yang dianggap tabu dibincangkan bagi sebagian pemain.

Bepe pernah pula menanggapi kerusuhan suporter antara Jakmania dan Bobotoh yang harus segera disudahi. Atau yang terbaru, dia memberi wejangan bagi pemain muda bahwa dalam ingar bingar sepakbola ada tiga hal yang harus terus diwaspadai: cedera, kejenuhan dan popularitas.

“Dari tiga hal tersebut popularitas menjadi yang paling berbahaya. Apa lagi di era sosial media yang begitu dasyat seperti saat ini,” tulisnya.

Lewat tulisan pula, entah sampai kapan, Bepe akan terus menyuarakan gagasannya. Kiprahnya di lapangan hijau boleh jadi pamungkas, tapi sumbangsih Bambang Pamungkas untuk sepakbola Indonesia tak akan pernah benar-benar pamungkas.

Baca juga artikel terkait LIGA 1 2019 atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Gilang Ramadhan