tirto.id - Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), Dwi Soetjipto menjelaskan penyebab mahalnya harga gas, sebagaimana dikeluhkan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Menurut Dwi, harga gas menjadi mahal karena penjualannya dilakukan secara tak langsung atau melalui perantara.
“Secara nasional agregat harga gas hulu kita di 5,4 dolar AS per MMBTU. Dalam perjalananya di industri kan, ada yang langsung dengan Kontraktor Kerja Sama itu bisa 6-7 dolar AS per MMBTU. Kalau lewat trading bisa 8-9 dolar AS per MMBTU. Porsi ini perlu dibuka,” ucap Dwi dalam konferensi pers di kantor SKK Migas, Kamis (9/1/2020).
“Rentetan sampai di end user ini yang perlu dibuka,” tambah mantan Dirut Pertamina ini.
Dwi menjelaskan harga gas di hulu atau upstream secara agregat atau keseluruhan nasional sebenarnya sudah relatif kompetitif yaitu di kisaran 5,4 dolar AS per MMBTU. Namun, setahunya harga jual gas senilai itu umumnya bisa diperoleh dari pembelian ladang gas di darat atau onshore yang rata-rata dibanderol sekitar 4 dolar AS per MMBTU.
Sementara harga gas yang dijual oleh ladang gas lepas pantai atau offshore bisa jadi sedikit lebih mahal dari 4 dolar AS per MMBTU. Ia pun mengatakan harga gas juga bergantung pada jenis-jenis blok.
Dwi menilai harga di hulu juga sudah cukup wajar karena produsen harus melakukan pekerjaan survei, eksplorasi, pengeboran dan pengembangan. Selain investasinya besar, pemain sektor hulu juga harus menanggung risiko eksplorasi sampai bencana.
“Kita yang pekerjaannya ngebor, survei begitu lama itu investasi besar. Jatuhnya bisa sekitar 5 dolar AS per MMBTU,” ucap Dwi.
Kendati demikian, Dwi mengatakan akan tetap berupaya menghadirkan harga gas yang terjangkau. Ia mengatakan masih ada upaya lain yang bisa ditempuh seperti pengurangan pajak sampai pemberian insentif.
Hanya saja, kembali lagi Dwi tak bisa menjanjikan kalau harga gas akan merata turun karena kasusnya akan berbeda bagi tiap blok. Namun, ia memastikan harga yang ditawarkan akan tetap mematuhi keekonomian. Lagipula, hal ini katanya bakal masuk dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Kami sedang exercise ada opsi di bagian negara bisa dikurangi itu porsi seperti pajak atau insentif diberikan. Jadi bisa menekan harga gas. Ini yang kami coba lakukan,” ucap Dwi.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti