Menuju konten utama

Kepala BPS: Rata-rata Garis Kemiskinan Nasional Tidak Kecil

Kepala BPS Suhariyanto menyatakan bahwa, untuk pertama kalinya angka kemiskinan pada Maret 2018 itu berada di posisi terendah, yakni sebesar 9,82 persen.

Ilustrasi. Warga beraktivitas di di permukiman di kawasan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (24/10). Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bogor mencatat, dari 5,4 juta penduduk, sebanyak 392 ribu jiwa atau 7,2 persen merupakan penduduk sangat miskin. ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya/aww/16.

tirto.id - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menjelaskan secara rinci teknik penghitungan angka kemiskinan di Indonesia per Maret 2018.

Adapun BPS telah mengumumkan bahwa untuk pertama kalinya, angka kemiskinan pada Maret 2018 itu berada di posisi terendah, yakni sebesar 9,82 persen.

Suhariyanto menekankan bahwa, penghitungan BPS tersebut mengacu pada pendekatan konsep kebutuhan dasar yang juga digunakan di sejumlah negara berkembang, seperti Filipina, Vietnam, dan India.

Dengan pendekatan tersebut, kemiskinan pun dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.

Dua aspek itu lantas diukur menurut garis kemiskinan. Untuk indikator penduduk miskin sendiri adalah yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

“Kalau kemarin BPS menyatakan bahwa garis kemiskinan nasional adalah Rp401.220 (per kapita), itu hanya merupakan rata-rata saja. Di sana bisa dilihat garis kemiskinan untuk DKI Jakarta Rp593.000, dan di NTT Rp354.898,” jelas Suhariyanto di Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta pada Senin (30/7/2018).

Lebih lanjut, Suhariyanto sempat menyinggung sejumlah tudingan yang menyebutkan garis kemiskinan sebesar Rp401.220 itu terlalu kecil. Suhariyanto lantas mengoreksi bahwa angka tersebut tidak bisa dibagi begitu saja dengan jumlah hari selama sebulan yang sebanyak 30 hari, dan kemudian didapatlah angka di kisaran Rp13.000.

Ia pun mengungkapkan bahwa garis kemiskinan nasional itu juga harus dilihat dengan mempertimbangkan rata-rata anggota di satu rumah tangga miskin.

BPS mencatat setidaknya satu rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,59 anggota rumah tangga, dengan jumlah anak sebanyak 2-3 orang. Jumlah itu pun harus dikalikan sehingga muncullah angka sebesar Rp1.842.086 per rumah tangga miskin.

Dengan demikian, Suhariyanto menekankan bahwa nominal sebesar Rp1.842.086 itu bukanlah angka yang kecil.

“Misalnya untuk NTT, garis kemiskinannya Rp354.898 dikalikan dengan anggota rumah tangganya yang sebanyak 5,9 juta. Maka dari itu, garis kemiskinan per rumah tangga miskin adalah Rp2,1 juta, padahal UMP di NTT adalah Rp1,7 juta,” kata Suhariyanto.

Lantas apakah garis kemiskinan nasional pada Maret 2018 terlalu rendah? Suhariyanto menyebutkan bahwa kemiskinan antarnegara bisa dibandingkan dengan penghitungan Bank Dunia yang menggunakan perkiraan konsumsi. Mata uang yang dipakai ialah dolar AS dengan paritas daya beli (PPP) per hari.

Suhariyanto mengatakan, Bank Dunia menggunakan batasan kemiskinan internasional sebesar 1,9 dolar AS PPP sebagai batas kemiskinan yang ekstrim.

Sedangkan mengacu pada garis kemiskinan nasional yang sebesar Rp401.220 per kapita per bulan, Suhariyanto menyebutkan nilainya setara dengan 2,5 dolar AS PPP per hari.

Sementara itu dari angka 9,82 persen yang merupakan rata-rata penduduk miskin di Indonesia, Suhariyanto menekankan bahwa masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah.

“Meski untuk pertama kalinya mencapai satu digit, jumlah penduduk miskin sebetulnya masih besar, yakni 25,095 juta,” ucap Suhariyanto.

Sebanyak 27 provinsi memang mengalami penurunan persentase penduduk miskin. Di sisi lain, tujuh provinsi tercatat mengalami peningkatan persentase. BPS mencatat angka kemiskinan terbesar ada di Papua dengan persentase 27,74 persen, menyusul Papua Barat (23,01 persen), dan NTT (21,35 persen).

Baca juga artikel terkait ANGKA KEMISKINAN atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Yandri Daniel Damaledo
-->