tirto.id - Di Amerika Serikat, hingga Jumat (24/4), lebih dari 860 ribu jiwa positif terjangkit COVID-19, dengan korban jiwa hampir menyentuh angka 45.000. Di seantero Paman Sam, negara bagian New York adalah yang paling parah terdampak dengan lebih dari 260.000 warga terdeteksi positif.
Laporan New York Times menyebut salah satu alasan terbesar mengapa New York paling parah terpapar Corona adalah kepadatan penduduk. “New York,” demikian New York Times, “merupakan kota paling ramai dibandingkan kota-kota utama lain di AS.” Data Biro Sensus AS, tingkat kepadatan penduduk New York berada di angka 28.000 penduduk per mil persegi (catatan: AS menggunakan unit imperial sebagai standar perhitungan, sedangkan hampir setiap negara lain di dunia menggunakan unit metrik. Kepadatan penduduk di New York, dalam unit metrik, sekitar 72.519 per kilometer persegi).
“Kepadatan penduduk adalah musuh besar dalam situasi seperti sekarang,” ucap Dr. Steven Goodman, epidemiolog Stanford University kepada New York Times.
Elisa Sutanudjaja, Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies, sebagaimana dikatakannya pada Tirto (28/04/2020) tak langsung mengamininya. "Semua penyakit, khususnya yang dapat menyebar melalui udara, aerosol, dan kontak, seperti TBC, campak, dan kini Corona, kepadatan selalu berpengaruh," ucapnya.
New York jelas tidak sendirian. Di Italia, salah satu negeri Uni Eropa yang paling parah terdampak Corona, Milan adalah yang paling merana. Data yang dihimpun New York Times menyebut, hingga Jumat (24/4), lebih dari 17.000 kasus positif Corona mencuat di markas Inter dan AC Milan itu. Milan sendiri adalah kota kedua terpadat di Italia, memiliki tingkat kepadatan penduduk sebesar 7.700 penduduk per kilometer persegi.
Di Indonesia, DKI Jakarta merupakan wilayah terparah terjangkit Corona. Merujuk data per Sabtu (11/4) lalu, Jakarta Selatan merupakan kota penyumbang Corona terbanyak dengan 306 kasus positif Corona. Tingkat kepadatan penduduk Jakarta mencapai 13.733 penduduk per kilometer persegi.
Dr. Goodman, menegaskan, “dengan besarnya populasi, dimana orang-orang sangat mudah saling berpapasan dan berinteraksi sepanjang waktu, penyebaran Corona akan sangat cepat terjadi.” Andrew M. Cuomo, Gubernur New York, mengamininya. “Saya menyentuh meja ini, misalnya. Saya mungkin tak sengaja menempelkan virus Corona dan kemudian virus ini hidup selama dua hari. Lalu, esok hari, Anda menyentuh meja ini.”
“Di New York, orang-orang menyentuh berbagai benda, kan?” tegas Cuomo.
Merujuk data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, sedikitnya ada 1,1 juta orang yang berstatus komuter. Penduduk hilir mudik bekerja atau belajar di DKI lalu pulang ke Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Merujuk data sebaran Corona di Indonesia, Depok merupakan kota yang paling parah terpapar di Jawa Barat, mengungguli Bandung. Tangerang Selatan pun mengungguli kota-kota lainnya soal positif Corona di seantero Banten.
Michele Acuto, profesor di bidang urbanisasi pada University of Melbourne, dalam wawancaranya dengan CityLab, menyebut bahwa penyebaran COVID-19 di seluruh dunia adalah kisah tentang konektivitas desa-ke-kota dan sebaliknya. Ia mencontohkan bagaimana Jerman dapat tertular oleh Corona akibat salah seorang buruh di pabrik onderdil di Wuhan terbang ke Jerman untuk memberikan pelatihan di Bavaria. Dari Bavaria, Corona menyebar begitu cepatnya ke berbagai wilayah di Jerman.
“Mengapa Corona menyebar begitu cepat adalah hasil dari sistem perkotaan yang kompleks,” tegas Acuto.
Dalam publikasi CityLab lain, wilayah metropolitan--seperti New York hingga Jakarta--disebut-sebut paling rentan terpapar Corona, akibat tingkat kepadatan penduduknya. Tercatat, di wilayah metropolitan rasio kematian Corona ada di angka 3,98 jiwa per 100.000 populasi. Sementara itu, di wilayah non-metropolitan--sebut saja kota kecil atau wilayah surburban--rasio kematian berada di angka 0,43 jiwa per 100.000 populasi.
Namun, menurut Elisa, tidak serta merta kepadatan penduduk dijadikan biang besarnya penyebaran penyakit. Taipei dan Seoul, misalnya, dua kota yang padat penduduk tapi sukses menanggulangi corona. "Yang penting, bagaimana mengawal kepadatan penduduk," kata Elisa.
Bahkan, jika melihat kasus-kasus awal corona di Jakarta, menurut Elisa, korban bukan berasal dari kelurahan-kelurahan padat penduduk, tetapi dari wilayah-wilayah menengah atas, yang warganya memiliki kans berhubungan dengan luar negeri karena kasus-kasus awal merupakan imporan (mported case).
Penjara Dalam Rumah
“Ketika Corona berakhir, saya tidak mau lagi memiliki apartemen yang tidak memiliki balkon,” rangkum Linda Poon untuk CityLab. Ia melaporkan keresahan warga di Eropa dan AS yang terjebak dalam karantina (lockdown) di tempat tinggal masing-masing.
Sebagaimana dirangkum BBC, guna meredam laju penyebaran virus SARS-CoV-2, mayoritas negara-negara di dunia melakukan kebijakan karantina wilayah, baik penuh (lockdown) atau sebagian (yang di Indonesia disebut PSBB). Mereka mengharuskan warganya untuk tinggal di rumah masing-masing.
Akibatnya, rumah/apartemen kini tak sekadar sebatas tempat berlindung dari terik matahari dan hujan atau beristirahat bersama keluarga, tapi juga kantor dan ruang kelas. Sayangnya, tidak semua tempat tinggal layak ditinggali, dengan atau tanpa pandemi. Salah satu paragraf di laporan Badan Pusat Statistik (BPS) berjudul “Statistik Perumahan Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 2010" (PDF) berbunyi:
“Keadaan perumahan di Indonesia masih jauh daripada mencukupi, baik dilihat dari jumlah maupun kualitas/kondisi perumahannya yang sebagian besar belum memenuhi persyaratan-persyaratan yang layak. Masalah perumahan biasanya terdapat di daerah perkotaan ditandai oleh sangat kurangnya jumlah rumah yang ada dibandingkan dengan banyaknya penduduk, serta banyaknya rumah-rumah yang tidak memenuhi persyaratan-persyaratan kehidupan dan pembangunan yang layak, seperti perkampungan-perkampungan di pinggir kota dan gubuk-gubuk liar di dalam kota. Demikian pula terdapat kesulitan-kesulitan mengenai tanah, fasilitas air minum, keadaan penerangan, kesehatan lingkungan dan sebagainya.”
Dalam laporan Arzia Tivany Wargadireja untuk Vice2016 silam, salah satu lokasi perumahan di Indonesia yang tidak layak ditinggali berada di Tambora. “Tambora,” tulis Arzia, “adalah titik terpadat Jakarta". Sebanyak 25.000 warga menjejali kawasan seluas 5,58 kilometer persegi. Beberapa lorong di kawasan kumuh Tambora kini terlalu sempit, sampai-sampai warga setempat mengeluh kesusahan melihat matahari.
Merujuk kembali laporan BPS, hampir 50 persen rumah yang dimiliki rakyat Indonesia tidak berkeramik. Bahkan, masih ada 8,2 persen total rumah di perkotaan yang tidak memiliki fasilitas buang air besar. Menurut Elisa, 40 persen dari total rumah-rumah di DKI Jakarta memiliki luas di bawah standar BPS, 10 meter persegi. Artinya, dalam menanggulangi Corona dengan kebijakan yang mendorong orang untuk tinggal di rumah, banyak warga yang terpaksa hidup dalam ketidaklayakan hunian.
Salah satu akar utama mengapa banyak warga dunia yang tidak memiliki hunian layak adalah mahalnya harga jual rumah/apartemen khususnya di perkotaan. Maka, tanah atau tempat sekecil apapun segera disulap menjadi hunian.
Di banyak perumahan/apartemen, banyak pengembang memilih membangun tempat khusus sebagai area terbuka dan bersosialisasi bersama alih-alih fasilitas-fasilitas privat. Balkon, misalnya. Menyediakan balkon di apartemen cenderung dihindari pengembang, mereka lebih menghendaki kelebihan ruang untuk kamar atau bahkan membangun unit baru.
Padahal, seturut laporan Poon, di tengah situasi karantina mandiri akibat Corona, balkon adalah satu-satunya titik di apartemen yang dapat membuat penghuninya keluar dari stres akibat berlama-lama hidup dalam ruangan. “Balkon melambangkan jenis kebebasan baru untuk merangkul isolasi sosial tanpa merasa terjebak, dan untuk menikmati udara segar tanpa khawatir menghirup virus,” tulis Poon.
Terjebak dalam karantina mandiri di hunian yang tidak layak jelas mengerikan. Masalahnya, ada banyak pula orang di Indonesia yang tidak memiliki tempat tinggal, bahkan tidak mampu mengontrak/menyewa kamar. Bagi lebih dari 77.000 gelandangan di Indonesia, perintah #StayAtHome nampaknya lelucon belaka.
Editor: Windu Jusuf