Menuju konten utama

Kenikmatan dalam Semeja Menu Lokal Khas Lebaran

Tentang kerinduan para perantau atas menu nikmat yang khusus diracik di Hari Raya, sebentuk kekayaan kuliner asli Merauke, Cirebon, hingga Pulau Bangka.

Dendeng rusa dari Merauke. FOTO/Istimewa

tirto.id - Febrianti Suborono (26) menjalani masa kecilnya di Merauke, Papua, hingga usia 13 tahun. Meski suasana Ramadan tak terlalu terasa di Papua, akan tetapi ia tetap semangat berpuasa. Apalagi jika ia teringat ganjaran saat Hari Raya tiba: beragam menu enak yang aroma sedapnya pasti bikin Febri menelan ludah.

Ibu Febri menjadikan makanan-makanan enak yang jarang dimasak di hari biasa itu sebagai hadiah khusus bagi Febri kecil yang telah berjuang menahan lapar dan dahaga selama sebulan penuh. Ia menyibukkan diri di dapur sepanjang hari, bahkan disaat orang-orang melaksanakan ritual takbiran di musala terdekat.

Sehari sebelumnya, ia berangkat ke pasar untuk membeli ikan jenis tongkol. Ibu Febri menyebutnya dengan nama ikan Thailand, entah apa sebabnya. Ikan laut itu memang sangat cocok untuk diolah menjadi ikan kuah kuning, salah satu makanan khas Merauke yang biasa disajikan khusus saat Idul Fitri.

Febri masih ingat cara memasaknya. Pertama, bersihkan bagian tubuh si ikan yang berbobot kurang lebih setengah kilogram itu sampai ke isi perut bagian bawah. Di bagian lain meja dapur sudah disiapkan bumbu-bumbunya yang meliputi bawang putih, bawang merah, kemiri, jahe, kunyit, daun salam, batang sereh, daun kemangi, sebutir jeruk nipis dan cabe rawit hijau yang telah dibuang batangnya.

Bumbu-bumbu tersebut kemudian dihaluskan, lalu ditumis beserta batang sereh dan daun salam. Tambahkan air, dan masak hingga mendidih. Masukkan ikan tongkol, garam, gula, cabai, dan masak hingga matang. Sesaat sebelum diangkat, tambahkan daun kemangi dan jeruk nipis, aduk rata. Sajikan dan makan selagi masih panas bersama papeda, demikian saran Febri.

“Menurutku sih ikan kuah kuning itu kayak soto ala Papua tapi rasanya lebih nendang soalnya ada ikan khas sana, dan juga rasanya kecut-kecut pakai jeruk nipis itu segeeerr banget... Ngangenin pokoknya,” ungkap Febri kepada Tirto.

Saat sudah pindah ke Jawa, lebih tepatnya ke Kebumen, Febri memang masih dimasakkan menu yang sama oleh ibunya, namun rasanya ada yang berbeda. Febri menengarai hal itu dikarenakan ikan laut Papua memang punya cita rasa khas dibanding ikan laut Jawa. Febri juga kangen berat dengan papeda. Tepung sagu khas Papua sebagai bahan dasarnya susah ditemukan di tempat tinggalnya kini.

“Kalau ada keluarga di Papua yang ke Jawa pasti nitip oleh-oleh tepung sagu,” imbuh perempuan yang menjalani kerja paruh waktu sebagai model itu.

Menu lain yang sudah tak pernah mampir di lidah Febri yakni dendeng dan abon rusa. Di Papua kedua jenis makanan itu gemar ia buru menjelang lebaran. Pasokannya di pasar tradisional makin melimpah, tanda perburuan ke hutan oleh warga setempat juga makin sering dilakukan. Sepengetahuan Febri, tak ada (lagi) perburuan rusa di Jawa, sehingga ia tak pernah melihat ada penjual daging rusa di pasar-pasar atau swalayan.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/06/21/kuliner-nusantara-lebaran--mild--Sabitantara.JPG" width="860" alt="Infografik Kuliner nusantara di hari raya" /

Serupa dengan Febri, masa kecil Hamdan Hafiz (23) juga dipenuhi dengan kenangan menyantap menu makanan khas Cirebon, kota asalnya, selama merayakan Idul Fitri. Menu-menunya memiliki cita rasa pedas-asin akibat pengaruh sambal terasi. Cirebon, sebagaimana diketahui selama ini, adalah penghasil nomor satu udang rebon yang menjadi bahan utama terasi.

Hamdan kini berprofesi sebagai pembuat konten di Makruva Technology yang berkantor di Bantul, DI Yogyakarta. Lebaran tahun ini ia mudik bersama istri barunya ke Cirebon dengan harapan bisa mencicipi ketupat, opor ayam, dan makanan khas Cirebon seperti dendeng sapi kecap, nasi jamblang, empal gentong, kerupuk sambal, dan menu favoritnya sepanjang masa, sambal ati. Citarasa gurih, manis, dan bau rempah jahenya selalu bikin Hamdan kian semangat bermudik ria.

“Ada menu lain yang biasa disajikan di jam-jam siang selama acara silaturahim ke tetangga-tetetangga atau sore-sore habis ziarah kubur, itu rujak pake sambal terasi. Kerupuk sambal juga,” kata lulusan Jurusan Pendidikan Bahasa Perancis UNY itu.

Kerupuk sambal berbahan utama kerupuk melarat. Kerupuk melarat, sesuai namanya, adalah kerupuk warna-warni yang digoreng dengan menggunakan pasir, dijual murah, dan konon jadi makanan pendamping nasi untuk kaum papa. Namun, dalam perkembangannya, kerupuk melarat makin populer dikonsumsi oleh orang-orang dari segala kalangan.

Bahan-bahan lainnya sederhana saja, meliputi sayur kangkung rebus, bihun, dan gorengan bercita rasa asin. Sementara bumbu-bumbunya sama dengan bumbu oncom, yakni bawang merah, bawang putih, cabai, garam, tomat, dan sejumput penyedap rasa. Haluskan semua bumbu dengan cara diulek, goreng sampai harus, lalu sajikan dengan cara dituang ke hamparan kangkung rebus yang telah ditata di atas beberapa potong kerupuk melarat.

"Maknyus," kata Hamdan.

Teman satu kantor Hamdan, Hafian Fuad (26), juga seorang perantau, tapi kampung halamannya jauh di Pulau Bangka sana. Pulau Bangka termasuk dalam wilayah provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Olahan seafood alias makanan laut, terutama ikan, kerap meramaikan meja makan masyarakat di pulau timur Sumatera itu saat lebaran. Cita rasa rempahnya cukup kuat sebab Bangka punya sektor perkebunan andalan yang menghasilkan lada dan merica.

“Rempahnya yang bikin kuat. Terutama karena Bangka penghasil dan penyuplai lada dan terasi, jadi lebih nendang. Lebih tajam untuk asin, asem, dan pedesnya. Jarang ada makanan yang manis-manis sih, makanya orang Bangka yang merantau ke Jogja jarang ada yang mau makan gudeg,” imbuh Fian, panggilan akrabnya, sambil tertawa.

Fian kini tinggal di Bantul, DIY, bersama istri dan ibunya. Dua orang tercinta yang akan ia andalkan untuk memasak menu-menu khas Bangka pada lebaran tahun ini sebab mereka tak mudik ke kampung halaman. Barangkali atmosfer plus cita rasanya akan sedikit berbeda, tapi Fian mengakui kondisi ini lebih baik daripada tak ada sama sekali.

Saat diminta menyebut apa saja menunya, ayah beranak satu itu mendaftarnya dengan penuh gairah, “Ada pempek, tekwan, mi kuah ikan, laksa, pantiaw, otak-otak, lempah kuning, martabak bangka, lempah kedondong. Kalau yang makanan kering dan biasa buat oleh-oleh itu ada kerupuk ikan, kerupuk udang, kerupuk cumi...”

Bangka Belitung merupakan salah satu daerah dengan konsentrasi etnis Tionghoa yang besar di Indonesia selain di Jawa, Riau, Sumatera bagian Timur, dan Kalimantan Barat. Tak heran pengaruhnya juga menurun pada warisan kuliner lokal, seperti Fian ada tekwan, pantiaw, dan lempah. Makanan lain yang tak disebutkan antara lain bakmi Bangka, kue kentut (Taphipan), dan kue semprong (Fo Thu Pan). Ketiganya selalu hadir di hari-hari besar masyarakat Bangka.

Dari sekian banyak menu, Fian (dibantu sang istri), kemudian berbagi resep lempah kuning. Penamaan menu ini juga menggambarkan cara masaknya. Lempah berarti melempah atau ngelempah, yakni proses memasak bahan utama dengan cara direbus memakai bumbu-bumbu tertentu.

Bahan utama lempah kuning adalah ikan. Bisa memakai ikan kerapu, ikan belanak, atau ikan kembung. Sesuai selera saja, kata Fian. Sediakan air jeruk nipis, nanas yang dipotong, tomat merah, dan lengkuas, kaldu bubuk, dan air asam jawa. Bumbu yang dihaluskan meliputi cabai merah keriting, cabai rawit, bawang merah dan putih, kunyit, jahe, serai, terasi.

Setelah ikan dibersihkan, dikucuri dengan air jeruk nipis agar amisnya hilang, lalu diamkan. Tumis bumbu halus hingga matang, tambahkan air dan bumbu lain kecuali air asam jawa. Setelah mendidih, masukkan ikan dan lanjutkan dengan api kecil. Setelah menyusut kurang lebih seperempat bagian, masukkan nanas dan tomat. Tunggu sebentar, lalu masukkan air asam jawa. Tunggu lima menit, selesai.

Angkat ikan ke tempat penyajian, baluri dengan kuah berbumbu rempah yang masih mengepulkan asap, dan segera santap bersama nasi putih. Tiba-tiba keluar lagi kata “maknyus!”, tapi kali ini dalam logat khas Bangka. Pertanda Fian tak pernah lupa asal usulnya, juga warisan kuliner yang awet terkenang di lidahnya.

Baca juga artikel terkait IDUL FITRI atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti