Menuju konten utama

Kenapa Bisa Muncul Varian Baru Virus Corona COVID-19?

Setiap virus yang masuk ke dalam tubuh manusia akan mereplikasi diri. Pada prosesnya, bisa terjadi kesalahan sehingga menjadi berbeda dari virus awalnya.

Kenapa Bisa Muncul Varian Baru Virus Corona COVID-19?
Ilustrasi Corona. foto/istockphto

tirto.id - Mutasi virus yang kemudian memunculkan varian baru seperti pada kasus COVID-19 bisa terjadi seiring penularan virus ke orang-orang. Hal tersebut diungkapkan Dokter spesialis pulmonologi dan kedokteran respirasi (paru) RSUP Persahabatan, Erlina Burhan.

Menurutnya, setiap virus yang masuk ke dalam tubuh manusia akan mereplikasi diri. Pada prosesnya, bisa terjadi kesalahan sehingga menjadi berbeda dari virus awalnya. Lalu, apakah varian virus ini lebih kuat dari virus aslinya?

Ia menjelaskan, ada dua kemungkinan, biasa saja atau lemah atau kuat. Apabila variasi yang terbentuk meningkatkan risiko terhadap manusia yakni meningkatkan transmisi atau penularan, virulensi atau menimbulkan keparahan lebih daripada non-varian dan menurunkan efektivitas tatalaksana serta vaksin, maka dia tergolong variants of concern atau perhatian khusus.

"Tiga hal ini, item yang diaplikasikan kalau satu varian ada. Kalau salah satu ada maka masuk ke variants of concern. Jadi, semakin banyak infeksi pada suatu populasi, semakin banyak penularan, maka copy paste virus selalu ada artinya potensi mutasi akan terus meningkat," kata Erlina melansir Antara.

Saat ini setidaknya ada tiga varian yang masuk kategori variants of concern yakni B117, B1351, dan P1. Varian B117 asal Inggris dilaporkan meningkatkan transmisi atau penyebaran, sementara B1351 asal Afrika Selatan selain bisa menimbulkan dampak penularan, juga berdampak menurunkan efektivitas vaksin, demikian juga varian P1 dari Brazil.

Terkait vaksin, data menunjukkan efektivitas vaksin Novavax terhadap B1351 mengalami penurunan sampai 49 persen, padahal vaksin ini memiliki efikasi sampai 95,6 persen terhadap varian umum corona. Penurunan efektivitas juga terjadi pada vaksin Johnson & Johnson (J&J) menjadi 57 persen. Vaksin ini sebenarnya dikatakan 66 persen efektif terhadap COVID-19 secara umum.

Sementara pada vaksin AstraZeneca disebutkan juga terjadi penurunan namun para ahli belum bisa mengambil kesimpulan karena menunggu beberapa hasil penelitian lainnya.

"Yang justru menjadi perhatian yakni varian asal Afrika B1351, dikatakan proteksi vaksin AstraZeneca rendah karena efikasinya turun signifikan terutama proteksi pada tingkat ringan dan sedang. Untuk yang berat belum ada hasilnya. P1 terhadap Novovax, sedikit penurunan tetapi masih memenuhi kriteria yang direkomendasikan WHO," ujar Erlina.

Di Indonesia sendiri sudah terdapat 16 kasus varian baru antara lain, 2 kasus B1617 asal India di Jakarta, 1 kasus B1351 asal Afrika di Bali, 13 kasus B117 asal Inggris di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Bali. B117 bahkan sudah terdeteksi sejak Maret di Indonesia.

Di India, B1617 ditemukan pada Desember 2020 seiring penularan yang sangat tinggi di negara itu. Varian ini dikatakan lebih menular dari virus aslinya tetapi masih memerlukan data lebih lanjut. Ada juga kemungkinan B1617 juga mengurangi efektivitas vaksin COVID-19 yang tersedia saat ini.

Kepala staf teknis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk COVID-19, Maria van Kerkhove seperti dikutip dari Al-Jazeera mengatakan, B1617 awalnya terdeteksi di India dengan dua mutasi yakni E484Q dan L452R.

Walau tak masuk dalam variants of concern, B1617 masuk dalam kategori variant of interest (VOI) tetap berbahaya, menurut mantan profesor di Harvard Medical School, William A. Haseltine. Dia menyebut, varian B1617 memiliki semua ciri khas virus yang sangat berbahaya.

Lantas apakah vaksin bekerja melawannya?

Sulit untuk mengetahui dengan pasti tanpa data dan penelitian yang memadai. India beberapa waktu lalu masih menguji apakah varian baru, termasuk B1617, mampu lolos dari kekebalan atau tidak.

Kekebalan mengacu pada kemampuan patogen untuk menghindari respons kekebalan tubuh manusia. Ini berarti antibodi yang dibuat setelah vaksinasi atau infeksi sebelumnya mungkin tidak melindungi seseorang dari infeksi.

Baca juga artikel terkait COVID-19 atau tulisan lainnya dari Nur Hidayah Perwitasari

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Agung DH