tirto.id - Masyarakat Bugis merupakan salah satu dari keberagaman suku bangsa Indonesia yang banyak menetap di Kabupaten Maros dan Pangkajene, Makassar, Sulawesi Selatan.
Dikutip dari laman Pemerintah Sulawesi Selatan, Bugis merupakan salah satu etnis mayoritas di Sulawesi Selatan, bersanding dengan suku Makassar dan suku Toraja.
Dari artikel ilmiah berjudul Islam Dalam Tradisi Masyarakat Lokal di Sulawesi Selatan, istilah Bugis sendiri dipercaya diambil dari kata “Ugi”, yang merupakan akhir kata nama seorang pemimpin berasal dari Cina, yaitu La Sattumpugi.
Sistem Kepercayaan Masyarakat Bugis
Banyak dari masyarakat Bugis merupakan muslim yang taat. Islam masuk ke Bugis melalui proses penyebaran menggunakan jalur pendekatan politik, sebagai salah satu upaya untuk menyatukan kerajaan-kerajaan yang ada di Bugis pada zaman dahulu.
Meskipun demikian, jauh sebelum Islam masuk ke tanah Makassar, masyarakat Bugis telah menganut kepercayaan tradisional yang percaya dengan kehadiran dewa-dewa.
Dikutip dari buku Antropologi (2009:21-22), sistem kepercayaan yang ada di masyarakat Bugis mengalami perkembangan yang cukup panjang.
Sebelum agama-agama yang berkembang di Nusantara memasuki tanah Bugis, masyarakat Bugis telah memiliki sistem kepercayaannya sendiri yang ajarannya beraspek pada kerohanian.
Masyarakat Bugis juga mempercayai kehadiran dewa tunggal dalam kepercayaannya. Nama dari dewa-dewa tersebut meliputi:
- Patoto-e, dewa penentu nasib
- Dewata Seuwa-e, dewa tunggal
- Turie a’rana, kehendak tertinggi.
- Ade (‘ada dalam bahasa Makassar).
- Bicara.
- Rapang.
- Wari’.
- Sara’.
Masyarakat Bugis memiliki peraturan adat terkait perkawinan. Perkawinan ideal tersebut meliputi:
- Assialang Marola, perkawinan antara saudara sepupu sederajat kesatu baik dari pihak ayah/ibu
- Assialanna Memang, perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua baik dari pihak ayah/ ibu.
Beberapa kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Bugis sebelum melakukan perkawinan yaitu:
- Mappuce-puce, istilah untuk meminang gadis,
- Massuro, istilah untuk menentukan tanggal pernikahan,
- Maddupa, istilah untuk mengundang dalam pesta perkawinan.
Masyarakat Bugis tinggal di sebuah kampung yang terdiri dari 10-20 buah rumah. Kampung yang menjadi pusat masyarakat Bugi terdapat pohon beringin berukuran besar, serta dipimpin oleh seorang kepala kampung (matowa). Gabungan beberapa kampung disebut sebagai wanua yang berarti kecamatan.
Masyarakat Bugis memiliki lapisannya tersendiri sebelum Belanda ke Indonesia, terdiri dari:
- ana’ karung, berarti lapisan kaum kerabat raja
- to-maradeka, berarti apisan orang merdeka
- ata, berarti lapisan budak.
Masyarakat Bugis hidup sebagai petani, nelayan, dan berdagang. Dari buku Ade’allopiloping Bicaranna Pabbalue oleh Ammana Gappa, pada abad ke-17, masyarakat Bugis berlayar sambil berdagang di pulau-pulau di Indonesia.
Selain itu, masyarakat Bugis juga membuat kerajinan tangan berupa tenunan sarung.
Sistem Kesenian Masyarakat Bugis
Rumah masyarakat Bugis berbentuk panggung, terdiri dari tiga bagian yang memiliki makna berbeda.
- Kalle balla: untuk tamu, tidur, dan makan
- Pammakkang: untuk menyimpan pusaka
- Passiringang: untuk menyimpan alat pertanian.
Baju bodo merupaka sebutan untuk pakaian adat khas untuk wanita Bugis. Baju bodo terdiri dari kain sarung berwarna merah hati, biru, dan hijau.
Penulis: Marhamah Ika Putri
Editor: Dhita Koesno