tirto.id - Rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan dinilai melanggar prosedur dan kepentingan asing. Terkait hal itu, Kepala Seksi Penyiapan Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Hendra Kurnia menuturkan, setiap penyusunan regulasi harus berdaulat dan bebas dari intervensi pihak manapun.
Hendra menjelaskan, intervensi, terlebih dari lembaga asing, tidak boleh menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan sebuah regulasi. Menurutnya, negara memiliki kewenangan penuh dalam mengatur kebijakan yang sesuai dengan kepentingan nasional.
“Dalam mengubah suatu kebijakan, adanya intervensi melalui tekanan atau keinginan asing tidak boleh menjadi pertimbangan utama. Tetapi pertimbangannya adalah kebijaksanaan serta pandangan akademisi yang netral dan sesuai dengan perundang-undangan,” ujar Hendra di Jakarta, Senin (24/10/2022).
Lebih lanjut, Hendra menjelaskan pelibatan seluruh pemangku kepentingan harus menjadi tahap penting yang harus dilakukan dalam merumuskan kebijakan yang baik. Semua pihak yang berkepentingan, menurut Hendra, baik yang mendukung maupun menolak, terlebih yang akan terdampak, harus dilibatkan dalam setiap tahapannya.
“Dalam perumusan suatu kebijakan, tidak boleh (hanya melibatkan) kementerian atau sektor mendukung saja, tetapi juga kementerian lain yang memiliki kepentingan terhadap PP tersebut. Terlebih bila peraturan tersebut sifatnya strategis. Tujuannya supaya substansi yang akan diatur dalam perubahan PP 109/2012 bisa menjadi lebih komprehensif dari yang diatur saat ini,” bebernya.
Hendra juga menjelaskan sejak awal tahapan perumusan kebijakan, masyarakat harus dilibatkan demi menjaga kualitas substansi dari regulasi sehingga lebih objektif. Secara teknis, naskah rancangan regulasi tersebut harus disampaikan secara transparan dan terbuka sehingga seluruh pemangku kepentingan bisa memberikan masukan.
“Ada tiga parameter dalam proses pembentukan peraturan. Pertama, masyarakat harus didengar semua masukannya, terutama mereka yang terdampak langsung dari kebijakan tersebut. Masukan masyarakat juga harus dipertimbangkan, apakah bisa diterima atau tidak. Yang terakhir ada hak (masyarakat) untuk menerima penjelasan,” jelasnya.
Kemudian, Hendra menegaskan dalam perumusan kebijakan, hal-hal tersebut harus konsisten dijalankan. Kaitannya dengan usulan revisi PP 109/2012, pasti menuai pro dan kontra. Sebab itu, dia mendorong setiap pihak yang berkepentingan tidak mengutamakan ego sektoralnya masing-masing.
Seluruh pihak kata dia perlu bersama-sama mencari solusi pengaturan terbaik. Dalam hal ini, Kemenkumham berperan dalam mengharmonisasikan peraturan agar objektif, tidak bertentangan dengan peraturan yang hirarkinya lebih tinggi dan tidak mendiskriminasi salah satu pihak.
Sementara itu, Ketua Umum Pakta Konsumen Andi Kartala meminta agar pemerintah melibatkan konsumen dalam setiap perumusan regulasi pertembakauan di Indonesia. Menurut Andi, konsumen tembakau seringkali didiskriminasi. Padahal, konsumen menjadi salah satu pihak yang paling terdampak dengan adanya berbagai aturan soal tembakau.
“Kami berharap setiap regulasi, mohon libatkan kami sebagai konsumen. Karena bicara cukai dan pajak, itu sumbangannya dari kami. Mohon libatkan kami sebagai konsumen sehingga akan menjadi regulasi yang berkeadilan,” ujar Andi.
Andi juga mengeluhkan bahwa konsumen tembakau tidak memiliki perlindungan hukum yang kuat sehingga menjadi pihak yang paling dirugikan akibat peraturan yang mengekang dan tidak memberikan solusi yang konkret. Padahal, tembakau adalah produk yang legal di Indonesia. Menurutnya, konsumen tidak anti regulasi. Asalkan, peraturan tersebut juga mengakomodir dan melindungi kepentingan konsumen tembakau.
Sebelumnya, Plt Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso menilai, revisi PP 109/2012 akan mengganggu iklim usaha industri hasil tembakau (IHT). Sehingga berpotensi merugikan dari sisi penerimaan negara.
“Dengan adanya revisi PP 109/2012, pengawasan terhadap industri hasil tembakau akan semakin diperketat sehingga ruang gerak IHT pun menjadi terbatas. Situasi ini dikhawatirkan akan membuat IHT mengalami kontraksi yang cukup dalam dan diiringi penurunan kinerja. Padahal, industri hasil tembakau saat ini masih dalam proses pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID-19,” ujar Susiwijono kepada wartawan, Selasa (13/9/2022).
Revisi PP tersebut dinilainya juga akan meningkatkan peredaran rokok ilegal yang justru tidak sesuai dengan tujuan kesehatan yaitu menurunkan prevalensi perokok anak. Tidak hanya itu, aturan tersebut juga akan mengancam keberlangsungan IHT legal dan memberikan peluang bagi produsen rokok ilegal untuk bertumbuh.
Menurut Susiwijono, PP 109/2012 yang berlaku saat ini telah mengatur IHT secara komprehensif dengan mempertimbangkan keseimbangan dari berbagai aspek seperti kesehatan, penerimaan negara, keberlanjutan usaha hulu-hilir, serta penyerapan tenaga kerja.
“Pengawasan atas implementasi PP 109/2012 di lapangan pada saat ini belum optimal sehingga aspek yang perlu menjadi perhatian adalah implementasi di lapangan,” katanya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin