tirto.id - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia belum juga menetapkan jenis pelayanan apa saja yang termasuk dalam urun biaya.
Hal tersebut disebabkan masih adanya pembahasan lebih lanjut mengenai layanan apa saja yang berpotensi moral hazard (risiko moral) atau penyalahgunaan.
"Kami sudah melaporkan kepada Kemenko PMK (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan), ada sedikit keterlambatan, karena diskusinya sangat panjang," kata Kepala Bidang Jaminan Kesehatan, Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kemenkes Doni Arianto kepada Tirto di Jakarta Pusat, Senin (25/3/2019).
Urun biaya itu nantinya sesuai dengan mandat dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 tahun 2018 tentang Pengenaaan Urun Biaya dan Selisih Biaya Dalam Program Jaminan Kesehatan.
Pembahasan tersebut melibatkan Kemenkes dengan para tim ahli yang terdiri antara lain Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI), dan Akademisi.
"Karena [tim] profesi juga kami ajak diskusi, apa sih pelayanan yang bisa dijadikan urun biaya. Karena kami tidak ingin ini menjadi sebuah blunder," ujarnya.
Rencana penetapan urun biaya dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan pelayanan akibat selera dan perilaku pasien. Sehingga pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memang tepat diterima oleh pasien dan sesuai dengan diagnosa yang diterimanya pula.
Menurut Doni, penetapan urun biaya ini adalah hal yang biasa dilakukan di negara maju bahkan negara tetangga seperti Malaysia juga menerapkannya sebagai upaya kendali biaya dan kendali mutu.
"Tapi kami harus berhati-hati untuk mendefinisikan itu, karena tuduhan moral hazard bukan tuduhan yang sepele. Kami ingin keputusan ini bisa menjadi keputusan yang bisa diterima semua," pungkas Doni.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Dhita Koesno