tirto.id - Penyebutan wabah dan kejadian luar biasa (KLB) dalam kasus demam berdarah dengue (DBD) memiliki dampak berbeda.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Widyawati mengimbau kepada para awak media untuk memperhatikan detail penyebutan status dalam menulis berita DBD.
"Saya lihat beberapa media ada yang menyebutnya sebagai wabah. Tolong diperhatikan betul. Kejadiannya belum bisa disebut sebagai wabah. Wabah dan juga Kejadian Luar Biasa, itu berbeda," ujar dia di kantornya, Jakarta Selatan, Rabu (30/1/2019).
Direktur Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi menambahkan, satu kejadian bisa diklaim sebagai wabah dengan syarat peningkatan kasus signifikan dalam kurun waktu singkat.
Selain itu, lanjut dia, wabah juga terkait dengan kondisi masyarakat yang membuat resah, mengganggu keamanan, hingga menggoyang perekonomian.
"Misalnya jumlah kasus meningkat dua kali atau lebih dalam suatu kurun waktu. Atau kecepatan kesakitan yang bertambah, misalnya hari ini satu juta besok menjadi dua juta. Itu bisa disebut wabah," ujar dia.
Kemenkes, kata dia, punya standar penetapan status KLB yang dimulai secara struktur dari pemerintah tingkat kabupaten/kota dan provinsi dengan memperhatikan skala penyakit secara nasional. Setelah itu, baru bisa disebut wabah.
"Penetapan KLB juga menimbulkan konsekuensi. Karena kami membutuhkan mobilisasi sumber daya manusia, baik tenaga juga keuangan. Semua harus difokuskan kepada KLB dan yang lain ditinggalkan sementara," ujarnya.
Menurut data terakhir, warga terkena DBD di seluruh provinsi Indonesia periode 1-29 Januari 2019 mencapai 13.683 orang dengan kematian 133 orang.
"Selama masih bisa dikendalikan oleh SDM yang ada [di daerah] dan apabila pemerintah daerah setempat belum menetapkan KLB untuk wilayahnya, maka tidak akan ada KLB," kata dia.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Zakki Amali