Menuju konten utama

Kemenkes-BPOM Didesak Lakukan Pengawasan Distribusi Vaksin

Tersangka kasus pemalsuan vaksin telah ditetapkan sebanyak 23 orang. Meski penegakan hukum atas perkara tersebut tetap berjalan, aspek pencegahan dinilai menjadi solusi terbaik. Untuk itu, sejumlah pihak mendesak Kemenkes dan BPOM melakukan pengawasan terpadu guna mencegah peredaran vaksin palsu terulang lagi.

Kemenkes-BPOM Didesak Lakukan Pengawasan Distribusi Vaksin
Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/8). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Markas Besar (Mabes) Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) telah mengumumkan perkembangan terkait persoalan vaksin palsu yang telah meluas sejak beberapa bulan lalu. Dari hasil proses penyelidikan melalui bukti permulaan, sebanyak 23 orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penggunaan dan pembuatan vaksin palsu ini.

Pernyataan itu dikemukakan Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Mabes Polri, Brigjen Pol Agung Setya, dalam acara Forum Tematik Badan Koordinasi Hubungan Masyarakat (Bakohumas) di Wisma Bhayangkari, Kebayoran, Jakarta, Selasa (30/8/2016).

“Perkembangan sidik vaksin ditemukan beberapa tersangka yakni 6 produsen, 9 distributor, 2 pengumpul bekas botol vaksin, 1 pencetak label dan bungkus, serta 5 orang dokter,” kata Agung Setya, sebagaimana yang dilansir dari situs setkab.go.id.

Agung menambahkan, nama-nama vaksin dipalsukan berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di antaranya adalah Tripacel, Pediacel, Engerix B, Euvax B, Tuberculin PPD RT 23, Havric Junior.

Namun, menanggapi perihal rumah sakit dan instansi kesehatan yang terlibat dalam peredaran vaksin palsu itu, Agung menjelaskan, berupaya melakukan antisipasi sebelum menyiarkannya kepada publik.

“Sebelum diumumkan ke masyarakat, pihak kepolisian melalui Polda Metro Jaya telah mempersiapkan kemungkinan adanya kemarahan dari orangtua anak-anak yang pernah diberikan vaksin di rumah sakit tersebut,” kata Agung.

Terlepas dari penegakan hukumnya, menurut Agung, aspek pencegahan dinilai menjadi solusi yang jauh lebih baik untuk mencegah kasus peredaran vaksin palsu itu terulang kembali.

Aspek pencegahan ini dapat dimulai dari koordinasi antara BPOM dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam hal regulasi dan inspeksi guna mengawasi distribusi vaksin yang dimulai dari Bio Farma hingga ke rumah sakit dan instansi kesehatan lain, baik ditingkat provinsi maupun kabupaten.

“Rencana tindak lanjut salah satunya yakni perbaikan regulasi dan pembentukan tim terpadu dari Kemenkes dan BPOM,” ungkap Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Drg. Oscar Primadi.

Pengawasan internal dari BPOM dan Kemenkes ini juga diamini Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi yang hadir dalam kesempatan itu. Tulus menyatakan penanganan kasus vaksin palsu seharusnya juga dapat dilihat melalui pengawasan terhadap maraknya peredaran obat yang dijual bebas.

“Sekarang ini juga banyak peredaran obat melalui online atau e-commerce yang sulit untuk dipantau keresmiannya,” ujar Tulus menambahkan.

Terkait adanya koordinasi untuk melakukan pengawasan vaksin dan obat oleh instansi kementerian/lembaga terkait, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Rosalina Niken Widyastuti mengemukakan bahwa Jaringan Pemberitaan Pemerintah (JPP) sebagai sarana informasi masyarakat.

“Informasi yang disampaikan lewat JPP ini nantinya bersifat defensif maupun ekspansif. Klarifikasi secara cepat antara kementerian/lembaga yang kemudian dibuat narasi untuk meng-counter,” jelas Rosalina.

Baca juga artikel terkait HARD NEWS atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Antara
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari