tirto.id - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tengah menunggu keputusan Mahkamah Agung mengenai gugatan terhadap Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Hasilnya akan menjadi bahan pertimbangan Kemenhub dalam menyusun Permenhub khusus taksi online. Direktur Angkutan dan Multi Moda Kementerian Perhubungan, Ahmad Yani mengatakan aturan tersebut nantinya akan menjadi pengganti dari Permenhub Nomor 108/2017 untuk taksi online.
"Aturannya belum, masih menunggu keputusan MA. Kan kami digugat lagi. Kalau MA-nya keluar kita akan menyiapkan yang baru," ujar Yani kepada Tirto pada Senin (27/8/2018).
Selama ini, taksi online diatur melalui Permenhub Nomor 108/2017. Namun, banyak menuai gugatan. Tahun lalu, MA telah membatalkan sejumlah poin pada Permenhub Nomor 26 Tahun 2016, yang merupakan beleid pendahulu Permenhub 108 Tahun 2017.
Permenhub Nomor 108/2017 yang berlaku sejak 1 November 2017, memuat aturan untuk beberapa angkutan, meliputi angkutan pariwisata, angkutan karyawan, angkutan sewa, hingga taksi online. Oleh karenanya, pengemudi taksi online diwajibkan mengurus SIM A umum, uji KIR serta pemasangam stiker khusus tanda mobilnya diperuntukkan sebagai taksi online.
Saat ini, Yani belum bisa memastikan pasal per pasal yang akan dimuat dalam beleid baru. Bisa terkait tarif, kuota, maupun kewajiban perusahaan aplikasi online (Grab, Go-Jek) menjadi perusahaan transportasi, tapi masih menunggu hasil keputusan MA.
"Kami menunggu nih apakah terkait dengan tarif, kuota atau apa, saya belum tahu pasal mana yang harus diubah. Soal kewajiban menjadi perusahaan transportasi juga masih ada 2 alternatif apakah wajib atau tidak, kami masih menunggu keputusan MA-nya," terangnya.
Tidak bisa dipastikan kapan keputusan MA akan beres dan beleid baru dikeluarkan, tapi diperkirakan tahun ini keduanya dapat beres. "Kemungkinan tahun ini," ucapnya.
Sementara itu, pemerintah tetap bersikukuh bahwa pemerintah pusat tidak akan mengatur operasional ojek online. Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mendefinisikan bahwa kendaraan roda dua tidak bisa menjadi angkutan umum resmi, karenanya tidak diatur oleh negara.
"Kalau ojek online kan sudah diputuskan di MK bahwa ojek itu tidak bisa digunakan sebagai angkutan umum. Kalau pemerintah mengacu ke situ sudah ada keputusan MK," ujarnya.
Cukup Pemerintah Pusat menyerahkan pengaturan operasional ojek online maupun ojek konvensional kepada pemerintah daerah (Pemda) melalui Peraturan Daerah (Perda). "Kami enggak mengatur, tapi daerah boleh mengatur. Misalnya mengatur dan memfasilitasi tempat parkir mereka dan sebagainya. Itu diatur oleh Pemda melalui Perda," terangnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Maya Saputri