tirto.id - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyatakan keseriusannya untuk mengubah status khusus Bandara Mozes Kilangin Timika yang sebelumnya dikelola PT Freeport melalui PT AVCO menjadi bandara umum komersil.
Kepala Bagian Hukum pada Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub Rudy Ricardo di Timika, Kamis (31/3/2016), mengatakan pengembangan bandara itu sesuai dengan surat kesepakatan bersama (SKB) antara PT Freeport Indonesia, Pemkab Mimika dan Kemenhub pada 2013.
"Dasar legalitas untuk pengembangan Bandara Timika yaitu UU Nomor 1 tahun 2009. Jadi, kita serius untuk menindaklanjuti SKB itu. Bahkan pembentukan pertamanya saja sudah kelas I karena kita sudah memprediksikan pertumbuhan penumpang ke depannya," kata Rudy.
Rudi menerangkan dengan perubahan status dari bandara khusus menjadi bandara umum maka ke depan pengoperasian Bandara Mozez Kilangin Timika akan diserahkan sepenuhnya kepada Kemenhub melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.
Selanjutnya, kata Rudy, Dirjen Perhubungan Udara tinggal menetapkan penanggung jawab operasional Bandara Mozes Kilangin Timika.
Rudi juga mengatakan pihak-pihak yang selama ini menguasai aset di Bandara Mozes Kilangin Timika, harus menyerahkan pengoperasian aset tersebut kepada pemerintah dalam rangka mendukung upaya pembangunan dan pengembangan bandara tersebut.
"Sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 203 UU Nomor 1 tahun 2009 disebutkan bahwa daerah di lingkungan kerja bandar udara merupakan daerah yang dikuasai oleh badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara yang digunakan untuk pelaksanaan pembangunan, pengembangan dan pengoperasian fasilitas bandar udara," jelasnya.
Sementara itu, anggota DPRD Mimika Yohanes Felix Helyanan sangat mendukung pengoperasian Bandara Timika diserahkan kepada pihak Kemenhub karena perjuangan menjadikan Bandara Timika menjadi bandara umum sudah sangat lama.
Politisi dari PDI-Perjuangan itu menilai jika Bandara Timika masih dikelola PT Freeport melalui PT AVCO maka ada banyak kesulitan yang dihadapi untuk pengembangan bandara. Dampaknya pelayanan kepada masyarakat kurang maksimalu.
"Bayangkan saja, untuk harga bahan bakar avtur antara yang disuplai oleh PT Freeport dengan harga avtur yang disuplai oleh PT Pertamina bedanya sampai Rp5 ribu per liter. Hal ini secara otomatis akan berdampak pada kenaikan harga pengiriman barang ke wilayah pedalaman Papua. Masyarakat Mimika yang mau kemana-mana juga membeli tiket yang sangat mahal," tutur Yohanes.
Ia juga mengapresiasi keputusan PT Pertamina yang sudah mulai mengoperasikan fasilitas pengisian bahan bakar avtur ke pesawat-pesawat di Bandara Timika sejak awal tahun ini.
"Freeport seharusnya berbesar hati untuk menyerahkan pengelolaan Bandara Timika kepada pemerintah yang memang punya otoritas untuk itu. Sekalipun nantinya pemerintah yang mengelola Bandara Timika, itu tidak berarti menghambat seluruh aktivitas penerbangan untuk kepentingan PT Freeport dengan pesawat Airfastnya," kata Yohanes. (ANT)