tirto.id - Perayaan pergantian tahun identik dengan kembang api. Letupan warna-warni api yang memekak telinga kontras dengan langit gelap, pasti jadi puncak hiburan Tahun Baru.
Kemeriahan yang sesaat itu, membahagiakan wisatawan. Sehingga penyedia wisata berlomba-lomba menyuguhkan pesta kembang api dalam paket perayaan Tahun Baru. Disayangkan, hal itu bukan hanya dilakukan di wilayah perkotaan, tapi juga di lokasi konservasi dan hutan lindung.
Salah satu lokasi perayaan pergantian tahun, yang menyediakan atraksi kembang api adalah di Muara Baros, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Padahal, berdasar Surat Keputusan Bupati Bantul Nomor 284 Tahun 2014 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Taman Pesisir, wilayah hutan mangrove Baros ditetapkan sebagai kawasan konservasi dengan luas keseluruhan kawasan 132 hektare dan memiliki tanaman asli daerah, mangrove jenis Sonneratia sp yang jumlahnya sangat sedikit.
Secara rinci, BKSDA DIY melalui laman resminya menjelaskan pembagian kawasan hutan mangrove dalam tiga zona. Zona inti memiliki luasan 10 hektare, zona lainnya 94 hektare, dan zona pemanfaatan terbatas 28 hektare. Selain mangrove, kawasan ini juga jadi habitat penyu dan burung kuntul yang merupakan fauna langka dan dilindungi oleh pemerintah.
Ahmad Arif, Tim Ahli dari Relung Indonesia, mengatakan bahwa aktivitas kembang api yang berlebihan di habitat satwa liar akan mengganggu. Meskipun, kalau dilihat intensitasnya, acara hanya berlangsung beberapa jam.
“Namun itu bisa jadi cukup beresiko kalau pas momen [peletusan kembang api] itu ada satwa langka sedang dalam kondisi rawan, seperti hamil, menyusui, dan lain-lain yang rawan terhadap kebisingan yang mendadak,” ujar Arif, dihubungi kontributor Tirto, Rabu (19/12/2024).
Menurutnya, menikmati malam Tahun Baru di hutan akan lebih baik dengan api unggun tapi jangan sampai beresiko kebakaran. Termasuk acara kembang api, juga perlu mengantisipasi resiko kebakaran. “Itulah, kayaknya kurang pas kembang api di hutan, apalagi di Baros itu akan mengganggu burung yang sedang beristirahat,” sebutnya.
“Apalagi sebelahnya ada habitat penyu ya, yang di Samas. Saat bertelur, penyu itu sangat sensitif terhadap kebisingan. Bisa gagal bertelur itu,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, narahubung The Muara Baros, tidak memberikan jawaban detail terkait rincian acara yang akan digelarnya. “Untuk acara Tahun Baru seperti yang di posting-an di IG kak,” pesan balasan narahubung The Muara Baros, Kamis (19/12/2024).
Kembali ditanya upaya penyelenggaraan acara agar tetap aman bagi satwa berhabitat di Baros, termasuk penggunaan kembang api, narahubung hanya menjawab lokasi acara bukan di lokasi tempat konservasi. “Untuk Dusun Baros, bukan merupakan lokasi konservasi ya kak,” tulisnya.
Belum Ada Perda Atur Kembang Api
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Bantul, Raden Jati Bayubroto, menjelaskan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bantul memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2028 tentang Penyelenggaraan Ketentraman dan Ketertiban Umum. Namun, perda itu baru mengatur tentang pelarangan petasan.
“Kembang api berbeda bunyi, kembang api belum ada larangan. Tapi, kami tetap pantau. Tetap kami antisipasi [kemungkinan buruk akibat kembang api],” sebut Jati pada konferensi pers yang digelar Pemkab Bantul dalam persiapan libur Natal dan Tahun Baru 2024/2025 di Kompleks Parasamya Bantul, Selasa (17/12/2024).
Jati menjelaskan, belum ada spesifikasi khusus, yang merinci beda petasan dengan kembang api. Pelarangan petasan, kata dia, esensinya karena bahayanya. “Sehingga kembang api kalau ada jenis yang memang membahayakan dan mengganggu keamanan dan ketertiban umum bisa jadi kami tertibkan. Hanya saja, penertibannya beda,” ujarnya.
“Kalau petasan besar, ada pidananya. Kalau kembang api [membahayakan] ya akan kami tertibkan, meskipun penerapan sanksi tidak sampai pidana,” tegasnya.
Terkait laporan kejadian, Jati menyebut kesatuannya belum menerima laporan. “Kami dari sisi petasan, tribmum, keselamatan, dan lain-lain. Kalau yang berkaitan dengan alam dan sebagainya kami [berkoordinasi] dengan DLH. Larangan di tempat khusus itu tentu nanti dari DLH. Kalau DLH menganggap ada tempat yang dilarang akan kami tindak lanjuti. Tapi memang belum ada larangan. Pengaturan yang lebih rigid seperti itu belum ada,” jelasnya.
Sementara Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih, menegaskan pelarangan petasan sesuai Perda No 4/2018. Larangan itu berlaku bagi yang menjual, membeli, membunyikan, sampai mendistribusikan. “Demi keamanan bersama ini harus ditetapkan. Jangan main-main dengan nyawa dan kesehatan yang diakibatkan keteledoran,” tandasnya.
Sadar Wisata Keberlanjutan
Purwo Harsono, Ketua Koperasi Notowono di Kalurahan Mangunan Kabupaten Bantul, justru mengaku tak menggelar acara Tahun Baru bagi masyarakat umum. Koperasinya yang beranggotakan para pengelola wisata di Kalurahan Mangunan pun hanya menggelar perayaan secara internal. Hal itu dilakukan untuk memastikan kawasan hutan lindung tersebut terhindar dari potensi kebakaran.
“Saya tidak menggelar tahun baruan, karena kami sudah melarang [membawa dan menyalakan kembang api], pengunjung [umum] tetap ada yang bawa sembunyi-sembunyi. Dicek waktu masuk ndak ada, lah di dalam tiba-tiba meletus. Itu kami susah,” beber Ipung, sapaan akrabnya, pada kontributor Tirto beberapa hari lalu.
Ipung maklum, Tahun Baru identik dengan kembang api. Sehingga pengelola wisata di Mangunan sulit menarik pengunjung tanpa memasukkan agenda peletusan kembang api sebagai puncak acara pergantian tahun. “Jadi menghindari risiko, kami yaudah bikin acara musikan saja secara internal,” imbuhnya.
Penerima penghargaan Kalpataru 2021 itu membeberkan, pihaknya siap melayani wisatawan yang datang untuk benar-benar menikmati wisata alam ala Mangunan. Wisata yang ditawarkan berupa paket menginap beberapa hari. Rangkaian kegiatan akan diisi dengan pengenalan kearifan lokal Mangunan pada wisatawan. Misalnya membuat jamu, kerajinan anyam bambu, bertani, dan sebagainya dengan lokasi menginap bernuansa alam seperti glamping.
“Paket ini justru sangat disukai oleh wisatawan asing. Malah dulu ada yang pesan itu, ingin melihat warga lokal memetik kelapa dengan langsung memanjat ke pohonnya,” ungkapnya.
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Anggun P Situmorang