Menuju konten utama

Cerita Baik dari Hutan Mangrove Langkat dan Deli Serdang

Masyarakat Deli Serdang memanfaatkan akar mati mangrove untuk menjadi bahan baku lilin batik yang hasilnya dijual seharga jutaan rupiah.

Cerita Baik dari Hutan Mangrove Langkat dan Deli Serdang
Hutan mangrove di Desa Pasar Rawa, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. FOTO/Tim dokumentasi M4CR

tirto.id - Rudi Irwan Syahputra mengenang masa kecilnya dengan manis. Lahir dan besar di Pasar Rawa, sebuah desa di Kabupaten Langkat yang terletak sekitar 70 kilometer dari kota Medan, Rudi punya banyak kegiatan menyenangkan. Mulai dari memancing hingga mencari kepiting bakau.

Ketika masanya tiba, Rudi harus merantau. Selama beberapa tahun dia tak pulang kampung. Suatu hari ketika pulang kampung, Rudi mencari kabar kawan-kawan lamanya yang dulu biasa mencari kepiting dan ikan bareng. Betapa terkejutnya Rudi ketika dapat kabar banyak kawannya masuk penjara.

“Jadi masuk penjara karena mencuri buah sawit. Tapi mereka mencuri ini untuk bertahan hidup karena lahan penghidupannya sudah hilang,” kenang Rudi.

Saat itu, medio 2010 hingga 2018 memang terjadi alih lahan besar-besaran di Pasar Rawa. Kawasan yang dulu lahan perkebunan hilang menjadi lahan kelapa sawit. Dalam catatan Rudi, selama sewindu, ada lebih dari 2.000 hektare lahan yang berubah.

Ini juga diperparah dengan pembalakan liar mangrove di kawasan pesisir Pasar Rawa yang sudah berlangsung sejak awal tahun 2000. Dengan ugal-ugalan, para pembalak ini memotong mangrove untuk dijadikan bahan baku arang. Hilangnya mangrove kemudian membuat ekosistem pesisir memburuk. Sulit mencari ikan, dan kepiting pun seperti punah. Usaha tambak pun berguguran.

“Dulu mangrove di sini ditebangi, lalu dijual ke pengepul arang. Tapi bandarnya satu. Ya saya ini,” kata Wahyudi, ketua Kelompok Tani Penghijauan Maju Bersama meringis.

Wahyudi sadar bahwa usahanya merusak lingkungan dan tak akan berkelanjutan seiring lahan mangrove yang rusak dan menipis.

Berbagi kecemasan dan kekhawatiran yang sama, Rudi dan Wahyudi pun sepakat bahwa kondisi ini tak bisa dibiarkan. Jika kondisinya terus seperti ini, tinggal tunggu waktu hingga tak ada lagi yang bisa dimakan. Mereka kemudian mulai memperbaiki kerusakan ini pelan-pelan.

Mereka mulai menanam kembali mangrove. Namun Wahyudi jujur bilang bahwa penanaman ini berangkat dari niat yang pragmatis: agar ketika mangrove tumbuh besar, ada bahan baku lagi untuk arang. Tapi niat itu belok ketika Wahyudi menyadari bahwa menanam dan merawat mangrove itu butuh waktu yang cukup lama.

“Waktu itu di 2015. Kami berpikir, kalau menanam mangrove ini sulit. Tumbuhnya juga butuh waktu. Mindset kami jadi berubah. Menanam itu sulit, menebang itu mudah. Jadi ketika hutan mangrovenya sudah bagus dan lebat, kami merasa sayang dan enggan menebangnya,” papar Wahyudi.

Konsistensi kelompok tani ini mendapat perhatian. Pada 2017, Penghijauan Maju Bersama disarankan untuk mengikuti program perhutanan sosial. Hasilnya: mereka diberi mandat untuk mengelola hutan seluas 177 hektare.

Ketika akhirnya surat keputusan untuk mengelola perhutanan sosial diberikan pada 2018, masyarakat Pasar Rawa setuju untuk menutup semua usaha pembuatan arang. Tak hanya itu, mereka juga membuat peraturan yang tegas: tiap ada satu pohon mangrove ditebang, si pelaku harus menggantinya dengan 1.000 bibit pohon mangrove.

Di waktu bersamaan, dibentuklah Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Pasar Rawa. Rudi yang selama ini berpartner dengan Wahyudi jadi pengurus Penghijauan Maju Bersama, dipilih menjadi ketua. LPHD Pasar Rawa lantas juga mendapat izin perhutanan sosial dengan lahan seluas 138 hektare.

Penanaman dan restorasi mangrove di Pasar Rawa terus berlanjut. Pada 2021, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) memasukkan desa ini dalam program Padat Karya Penanaman Mangrove (PKPM) seluas 135 hektare.

“Berkat dana dari BRGM ini, kami jadi punya ada dana untuk membangun saung yang dijadikan pusat kegiatan wisata dan berkumpul ini,” kata Wahyudi.

Seiring waktu, kawasan mangrove Pasar Rawa pun semakin luas. Di desa ini, kawasan mangrove mereka menjadi bagian penting bagi 20.823 hektare hutan mangrove di Kabupaten Langkat. Ini adalah jumlah hutan mangrove terluas di Sumatera Utara, yang jumlah totalnya sekitar 57.490 hektare.

Usaha Memanfaatkan Harta Karun

Salah satu faktor kenapa ada banyak pembalakan mangrove adalah perkara ekonomi. Di banyak tempat, orang tak sadar bahwa ada lebih banyak manfaat hutan mangrove ketimbang ketiadaan mangrove.

Itu kenapa pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir menjadi penting. Program Mangrove for Coastal Resilience (M4CR) menyadari hal ini. Sebagai program strategis nasional, M4CR bertujuan mengatasi degradasi ekosistem mangrove di Indonesia melalui rehabilitasi skala besar, dengan pendekatan berbasis komunitas dan keberlanjutan lingkungan.

Menurut Hartono, Kepala BRGM, program M4CR ini bertujuan melindungi wilayah pesisir sekaligus memberdayakan masyarakat lokal agar mampu menjaga sekaligus memanfaatkan hutan mangrove secara berkelanjutan.

“Kami juga berharap semakin banyak masyarakat Indonesia yang menyadari pentingnya menjaga ekosistem mangrove, baik sebagai pelindung alam maupun sumber penghidupan,” kata Hartono.

Selain penanaman dan rehabilitasi mangrove, M4CR juga fokus memperkuat ketahanan pesisir sekaligus meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat pesisir. Dimulai sejak 2020, ada empat provinsi yang jadi fokus utama pemulihan ekosistem mangrove: Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Riau, dan Sumatera Utara

Dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, M4CR berfokus pada tiga komponen, yakni pengembangan ekowisata berbasis mangrove dan pesisir, perikanan berkelanjutan, serta produksi madu dan kerajinan mangrove.

Tiga komponen ini bisa terwujud jika ekosistem mangrove membaik. Benar saja. Di banyak tempat, lahan mangrove yang pulih menghasilkan ekosistem yang sehat dan menghasilkan banyak manfaat. Dari segi perikanan, mangrove menjadi habitat bagi banyak makhluk laut, mulai dari ikan hingga kepiting. Masyarakat pun mulai bisa membuat usaha baru, mulai dari tambak, pembuatan sirup dan gula dari nipah, hingga desa ekowisata.

Di Desa Tanjung Rejo, Deli Serdang, Sumatera Utara, Selamet sang Kepala Desa memimpin warganya untuk senantiasa konsisten merawat mangrove. Setelah perjuangan panjang menanam dan merestorasi lahan mangrove sejak 2006 silam, kini sudah ada 600 hektare hutan mangrove di desa ini.

Pemanfaatan mangrove di desa ini beragam. Akar mati mangrove dimanfaatkan oleh Kelompok Sima Batik untuk menjadi bahan baku lilin batik. Batik ini punya banderol beragam, mulai dari harga Rp600 ribu untuk batik cap, hingga Rp1,7 juta untuk batik tulis.

“Batik kami pernah dijual sampai pasar internasional, yaitu di Australia dan Amerika Serikat. Tapi sekarang kami fokus ke pasar lokal lagi,” ujar Ayu Paramitha, salah satu pengrajin batik di Kelompok Sima Batik.

Selain itu, kondisi air yang membaik berkat mangrove membuat usaha tambak juga kembali berkembang. “Jadi kami juga membudidayakan ikan, kepiting, kerang, udang, di lahan mangrove seluas 3 hektare. Selain itu kami juga membudidayakan lebah di bawah pohon mangrove,” kata Selamet.

Ponisah (58), salah satu warga yang mengelola kolam, mengatakan hasil kolamnya lebih dari cukup untuk kehidupan sehari-hari. Ia bisa memanen ikan empat bulan sekali, dan panen kepiting satu kali tiap satu hingga 1,5 bulan. Harga kepiting ini bervariasi. Mulai dari Rp70 ribu hingga Rp250 ribu per kilogram.

“Kalau sekali panen, kami bisa dapat 150 kilogram kepiting,” ujar Ponisah.

Sedangkan di Pasar Rawa, Rudi menyebut ada harta karun yang selama ini terhampar luas tapi tak disadari oleh banyak orang: nipah (Nypa fruticans). Ini adalah tanaman mangrove yang masuk dalam keluarga palem. Nyaris semua bagian tanaman ini bermanfaat.

Daunnya bisa menjadi atap. Buahnya menjadi kolang-kaling dan manisan, yang agak mengkal bisa dirajang halus untuk jadi keripik. Sedangkan batangnya bisa disadap untuk menjadi gula.

“Jadi satu batang yang disadap bisa mengeluarkan 10-20 liter air. Ini dimasak selama dua jam, jadi agak kental. Itu yang bisa jadi gula,” kata Rudi.

Keberadaan ikan yang melimpah juga membuat warga Pasar Rawa memutuskan membuat Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) di bidang kuliner bernama Maju Bersama Kuliner. Produk andalannya adalah baronang krispi, yakni ikan kecil yang dimarinasi dengan berbagai bumbu, diberi tepung, lalu digoreng hingga renyah.

“Bahan bakunya itu kalau orang sini menyebutnya sebagai ikan ketang, atau ikan butut. Ini ikan kecil yang ikut terjaring. Kalau dijual, gak ada harganya. Tapi kalo dibalikin ke laut juga gak bisa, karena pasti mati,” kata Sabaria Hasibuan, salah satu anggota KUPS Maju Bersama Kuliner.

Usaha ini dikembangkan pelan-pelan. Setelah berhasil mengikuti inkubator bisnis di Medan, mereka mulai mengemas produknya dengan serius. Produk mereka dipasarkan di beberapa toko oleh-oleh di Langkat.

Saat ini mereka beranggotakan 10 orang, yang anggotanya adalah para ibu rumah tangga yang selama ini tidak punya pekerjaan. Dalam sehari mereka bisa membuat 70 bungkus kemasan 100 gram yang dibanderol Rp15 ribu. Berkat usaha keripik ikan baronang ini, mereka bisa mendapat pemasukan tambahan. Sebagian laba usaha ini juga masuk dalam kas desa yang digunakan untuk membeli bahan bakar bagi tim patroli hutan mangrove.

Segala cerita baik tentang pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir yang hadir di tengah usaha menanam dan merestorasi lahan mangrove di Indonesia, menjadi pertanda bahwa upaya ini sudah ada di jalan yang benar.

Karena semakin baik kondisi hutan mangrove, harus diikuti pula oleh semakin layaknya kondisi ekonomi masyarakat pesisir

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis