tirto.id - Dalam kontruksi usang mayoritas, kita hanya mengenal dua jenis gender: laki-laki dan perempuan. Keduanya punya stereotip sifat yang melekat, laki-laki harus maskulin dan perempuan feminin. Jika perilaku seseorang tak sesuai dengan gender yang terlihat, mayoritas tak segan melabeli mereka sebagai gay atau lesbian.
Ida Swasti punya beberapa daftar impian yang ingin dicapainya sebelum mati. Mencukur habis rambut adalah salah satunya. Maka gadis berambut sepunggung ini bertahap merealisasikan mimpinya.
Semula, dia potong dengan model bob setengkuk. Kemudian tak menunggu lama, rambutnya sudah berubah gaya “mangkok”. Baru beberapa minggu lalu, dia akhirnya botak.
“Aku mau mendobrak stigma dan menemukan diriku. Ketika orang memandangku ‘berbeda’, apakah aku cukup nyaman untuk menerima diriku sendiri,” kata Ida saat mengobrol santai lewat saluran telepon, beberapa waktu lalu.
Maksud Ida dalam mendobrak stigma adalah soal femininitas, ketika perempuan dipersepsikan harus merawat rambut sebagai mahkota mereka. Ida tak setuju.
“Setelah botakin rambut, teman laki-lakiku bilang, ‘gue nggak bisa liat lu sebagai perempuan lagi’,” cerita Ida.
Dia juga mendapat berbagai pertanyaan tak sopan mengenai kecenderungan seksualitasnya. Ada juga yang terang-terangan melabeli Ida dengan jenis seksualitas tertentu.
“Lu straight apa nggak?”
“Pasti lesbian, at least biseksual lah.”
Masyarakat kita memang suka sekali memberi label pada hal-hal yang tidak sejalan dengan konstruksi mayoritas. Deskripsi feminin dan maskulin yang dibangun kelompok sosial kita mendefinisikan bentuk fisik dan perilaku dengan jenis kelamin dan seksualitas tertentu.
Misalnya, perempuan idealnya berambut panjang, memakai rok, berlaku lemah-lembut, dan menyukai laki-laki. Sementara itu, laki-laki harus macho, tidak boleh kemayu atau menye-menye, dan tentunya punya ketertarikan pada perempuan. Jika tak sesuai dengan norma gender usang artinya ia menyimpang.
Padahal, menurut akademisi Universitas Surabaya Khanis Suvianita yang sering melakukan kajian dan riset seputar gender, keragaman seksual, dan agama di Indonesia, ekspresi gender hanya merupakan perilaku yang tampak. Orang bisa punya ekspresi gender berbeda dengan seksnya.
“Ekspresi gender itu terus bergerak. Orang bisa maskulin, tapi di lain waktu feminin, tergantung banyak hal, salah satunya tuntutan pekerjaan,” terang Khanis.
Menurut dia, gender diekspresikan tidak tetap—tidak seperti seks. Stigma dan pemahaman keliru tentang gender dan seksualitas, kata Khanis, terjadi akibat ketidakpahaman masyarakat terhadap peran gender.
Semua ini berakar dari pendidikan gender dan seksualitas yang tak pernah diajarkan secara gamblang dan jujur.
Beban Norma Gender bagi Laki-laki Lebih Berat
Anda tentu masih ingat peristiwa pengusiran seorang mahasiswa oleh dosen dari Universitas Hasanuddin (Unhas) beberapa waktu lalu. Sebagai penyegaran ingatan, si mahasiswa mengaku bergender netral saat diminta memilih antara laki-laki atau perempuan.
Aksi reaktif kedua dosen Unhas bermula saat mereka melihat tingkah si mahasiswa yang dianggap kemayu karena selalu membawa kipas. Sungguh pemikiran yang aneh dan terkesan menghakimi, betapa mudahnya mereka mendefinisikan gender.
Jika demikian, apatah artinya bertambah lagi definisi maskulinitas: laki-laki tak boleh merasa kegerahan.
“Coba deh institusi pendidikan dan hukum bergerak membuka ruang pada kelompok gender beragam sehingga realita yang ditampilkan tidak terstigma, tapi diterima sebagai keragaman manusia,” kata Khanis.
Khanis sendiri berharap adanya perubahan pola pikir pada aktor-aktor sistem di Indonesia.
Anehnya, masyarakat kita selama ini memang cenderung lebih bisa menoleransi perempuan yang menunjukkan ekspresi gender berbeda. Makanya kita mengenal istilah “perempuan tomboi”. Sebutan tersebut terkesan normal di mata masyarakat.
Lantas, mengapa istilah “laki-laki kemayu” justru dipandang tak lazim. Laki-laki lebih sering mendapat ejekan “banci” atau “homo” jika melakukan aktivitas seperti menari, atau punya emosi lebih sensitif, berdandan—atau sekadar memakai baju dengan warna cerah, atau tak pernah menjalin hubungan dengan lawan jenis.
Sementara itu, anak perempuan memiliki lebih banyak kelonggaran untuk memilih jalan di luar feminitas usang. Sampai usia tertentu, mereka boleh-boleh saja bersifat “tomboi”. Namun, anak laki-laki sedari kecil sudah dibiasakan menjadi maskulin.
Orang tua, terutama ayah, lebih tak nyaman ketika anak laki-lakinya bermain boneka atau memakai gaun, dibanding anak perempuannya melakukan kegiatan stereotip laki-laki. Dalam penelitian bertajuk “Parents’ Influence on Infants’ Gender-Typed Toy Preferences” (2017), para orang tua bahkan sampai memilih mainan berdasar jenis kelamin anak.
Hal itu mereka lakukan sejak anak berusia kurang dari 5 bulan. Tujuannya agar sang anak laki-laki tak tumbuh kemayu. Padahal, bayi baru bisa menentukan preferensi mainan sesuai tipikal gender saat mereka berumur setahun.
Praktik-praktik pengasuhan seperti inilah yang kemudian melahirkan hipermaskulinitas dan homofobia. Laki-laki jadi takut dianggap gay atau bukan pria sejati sehingga mereka berakhir memiliki persepsi salah tentang maskulinitas. Itu juga membuat lingkaran setan baru bernama seksisme, maskulinitas rapuh, dan, yang terparah, normalisasi predasi seksual kepada perempuan.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi