tirto.id - “Aku sudah banyak melihat kematian, tapi bukan yang begini,” kata si fotografer. “Yang ini mengejutkan. Sesuatu yang membuatmu merasa tak hidup di dunia yang beradab.”
Awal Oktober lalu, jurnalis Rick Gladstone dari The New York Times menuliskan pengalaman Aris Messinis dengan judul “Melangkahi Kematian di atas Perahu Imigran”.
Messinis adalah kepala fotografer pada Agence France-Press cabang Athena, Yunani. Sebelum tiga tahun terakhir ini mewartakan krisis migrasi di Eropa, ia fokus pada konflik di Libya dan Suriah. Tapi yang dilihatnya di Laut Mediterania itu berbeda.
Tak pernah ia melihat seperti yang terjadi hari itu.
Selasa pertama di Oktober lalu, Astral, kapal penyelamat milik NGO Spanyol ProActiva Open Arms menangkap sinyal di radar mereka. Di laut, 12 mil dari pesisir Libya, mereka menemukan kapal-kapal kayu kelebihan muatan. Kapal-kapal itu mungkin memuat sekitar seribu orang, angka yang mungkin lima kali lebih banyak daripada semestinya yang ditanggung kapal itu.
Mereka penumpang dari Eritrea, Etiopia, Somalia, Nigeria, dan negara sub-Sahara lainnya.
Messinis yang menumpang Astral melihat kepanikan luar biasa para imigran. Dari foto-foto yang diambilnya, tampak jelas kapal-kapal itu penuh sesak. Orang-orang lebih tampak seperti terselip ketimbang duduk. Bahkan ada satu kapal yang khusus memuat dua lusin bangkai, mereka meregang nyawa akibat dehidrasi selama pelayaran.
Di atas kapal lain, ada sebagian penumpang yang langsung loncat ke laut dan mencoba merengkuh Astral. Yang lainnya menekuk alis, tak sabar ingin segera keluar kapal. Terutama mereka yang tergencet di tengah-tengah. Anak-anak mulai menangis. Bahkan seorang pria yang tergencet di salah satu sudut kapal mengangkat tinggi-tinggi seorang bayi, memberi tanda betapa gentingnya keadaannya.
Arahan untuk tenang dari kru Astral diabaikan. Kepanikan tampak menjalar di wajah-wajah mereka.
Dari gambar-gambar itu, tampak tak ada ketenangan di laut. Orang-orang sibuk loncat ke laut, dengan atau tanpa jaket pelampung terpasang di tubuh mereka.
Selesai menyelamatkan mereka yang masih hidup, kru Astral mulai membungkus para jenazah ke dalam kantong mayat. Evakuasi itu berjalan hingga malam hari. Selain di satu kapal khusus mayat, mereka juga menemukan tumpukan bangkai lain di dasar kapal-kapal kayu itu.
Joe Millman dari Organisasi Internasional untuk Imigran (IOM) mengatakan kepada New York Times setidaknya ada 38 jenazah yang ditemukan di Laut Mediterania pada Senin dan Selasa pertama Oktober lalu. Termasuk yang ditemukan kru Astral.
Angka ini menambah nota merah 2016 sebagai tahun paling berdarah karena kematian imigran yang melimpah.
Sejak Januari sampai Oktober tahun ini, menurut data UNHCR sebagai lembaga PBB yang bergelut menangani pengungsi, tercatat mencatat ada 3.740 nyawa hilang. Tahun lalu, ada 3.771 kematian sepanjang 2015.
“Ini yang paling celaka yang pernah kita hadapi,” kata William Spindler dari UNHCR.
Tingginya angka kematian ini berbanding terbalik dengan angka ketibaan imigran. William bilang, pada 2015 setiap satu kematian imgiran atau pengungsi ada 269 yang selamat sampai tujuan. Rasio kematian tahun ini meningkat jadi satu kematian per 88 ketibaan imigran.
Tahun lalu, 1.015.078 berhasil selamat menyeberang. Sementara 10 bulan berlalu, 2016 baru mencatat 327.800 orang.
Lewat dua bulan, 16 Desember kemarin IOM mengeluarkan rilis mengejutkan. Angka pada Oktober lalu naik hampir 100 persen jadi 7.189 orang. Dengan perhitungan 20 nyawa melayang per hari, angka ini diprediksi akan terus meroket sampai 2016 benar-benar berakhir.
Tiga negara dengan warga pelariannya yang paling banyak tewas adalah Libya, Sudan, dan Mesir, berturut-turut. Angkanya 328, 324, dan 239.
Terlepas dari agenda politik yang membelit isu imigran dan pengungsi, angka kematian ini harusnya menampar sisi kemanusiaan kita. Alasan kematian mereka bukan hanya dehidrasi di belantara samudera, seperti yang disaksikan Aris. IOM mencatat alasan umum lainnya.
Orang-orang yang mencari kebebasan dan keselamatan keluar dari negerinya ini mati karena tenggelam, dibunuh, dirampok, sakit (seperti infeksi paru, hipoptermia, dehidrasi, sesak), kelaparan, kebakaran kapal, lakalantas, ditembak tentara perbatasan, dan jatuh dari pagar perbatasan.
Messinis menuliskan pengalamannya menyaksikan kematian-kematian orang-orang tak berdosa itu di portal AFP. Ia punya catatan khusus untuk kita yang menyaksikan cerita-cerita itu lewat layar kaca ataupun layar seluler.
“Hal yang paling mengejutkan untukku tentang mewartakan kisah ini adalah fakta bahwa kalian (yang membaca ini) sadar kalian tidak sedang dalam zona perang. Bahwa kalian sedang bekerja di tempat yang aman,” tulisnya.
“Aku mencoba menangkap kepanikan sesungguhnya yang terjadi di sini, kepanikan yang membuatmu kaget ketika melihatnya. Tapi realitasnya lebih mengejutkan jika kalian hidup di dalamnya. Saat kalian bersama dengan tangisan-tangisan itu.”
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani