Menuju konten utama

Kejanggalan di Balik Kaburnya Ramlan Butarbutar pada 2015

Ramlan Butarbutar, terduga perampok dalam kasus pembunuhan Pulomas, menjadi tersangka pada 2015. Dua rekannya diadili, namun Ramlan malah bebas berkeliaran. Apa yang terjadi?

Kejanggalan di Balik Kaburnya Ramlan Butarbutar pada 2015
Kapolda Metro Jaya Irjen Pol M Iriawan memperlihatkan foto dua pelaku perampokan Pulomas saat memberi keterangan pers di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta, Rabu (28/12). Menurut pihak kepolisian motif para tersangka adalah perampokan barang berharga dengan jumlah pelaku empat orang. Dari keempat pelaku tersebut, seorang dinyatakan tewas, seorang sedang dalam perawatan, dan dua orang masih buron. ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/kye/16.

tirto.id - Ramlan Butarbutar, bersama Erwin Situmorang dan Yuspane, memasuki kediaman Dodi Triono di kawasan Pulomas, Jakarta Timur. Mereka menggiring satu-persatu dari 11 penghuni rumah ke dalam kamar mandi. Keesokan harinya sekitar jam 10.10, para korban ditemukan dalam kondisi tubuhnya saling tumpuk. Enam dari 11 penghuni yang berdesakan di kamar mandi itu tewas karena kehabisan oksigen.

Aparat kepolisian membentuk tim gabungan dari Polda Metro Jaya dan Polres Metro Jakarta Timur. Dalam tahap awal, setelah menyisir TKP, mereka menemukan alat bukti berupa rekaman CCTV. Untuk mengenali siapa saja yang terekam CCTV, aparat kepolisian mendatangkan Philip Napitupulu. Philip merupakan tersangka perampokan rumah mewah di Kayuputih, Pulo Gadung, Jakarta Timur pada September 2016 yang lalu.

Philip menyebut seorang perampok bersenjata yang terekam CCTV ialah Ramlan, yang akrab dipanggil Pincang, bos Geng Korea. Setelah itu tim gabungan penyelidikan diperluas. Personil Polres Kota Depok dimasukkan. Sebab, setelah ditelusuri, Ramlan merupakan residivis spesialis perampokan rumah mewah, dan pernah ditangkap oleh Polres Depok.

Ya, Ramlan ternyata seorang residivis. Dia tersangka yang menjadi buron, dan kemudian berulah kembali. Tapi mengapa dia berulah lagi?

Kasus 2015 yang Tak Tuntas

11 Agustus 2015 silam, Polres Depok menerima laporan terkait perampokan yang terjadi di Perumahan Griya Tlaga Permai Blok B-2 No.12 RT02 RW19 Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Tapos, Kota Depok. Ramlan diduga menjadi salah satu pelaku tindakan pidana tersebut. Bersama rekannya, dia menyekap 7 orang. Tiga diantaranya siswa yang sedang les bimbingan belajar, seorang guru, Wong Shu Lin (pemilik rumah), Lili Natalia (istri Wong), dan Kevin (anak Wong).

Tiga hari kemudian, tepatnya 15 Agustus 2015, Ramlan dan Johny Sitorus ditangkap di Bekasi. Dari keduanya polisi melakukan pengembangan. Hasilnya, pada 16 Agustus 2015, ditangkap lagi tiga terduga pelaku. Sedangkan Pendi Raja Guguk alias Tonang alias Aritonang masih DPO.

18 Agustus 2015 berkas dinyatakan lengkap oleh kepolisian. Namun tersangka yang dilempar ke Kejaksaan hanya tiga orang, yaitu Johny Sitorus, Posman H Andi Alias Sihombing, dan Ramlan Butarbutar. Sedangkan Pendi Raja Guguk alias Tonang alias Aritonang tetap dimasukkan dalam berkas dengan status sebagai DPO.

Namun pada 2 September 2015, Reskrim Polres Depok mengirim surat pembantaran Ramlan. Hal tersebut lantaran Ramlan harus dirawat inap di RS Polri, Kramatjati, Jakarta Timur. Maka dari itu, berkas Ramlan dipisah (splitsing) dari 2 rekannya. Demi aspek kemanusiaan, pengadilan kasus ini tidak mengikutkan Ramlan lebih dulu, karena ia belum pulih. Terdakwa yang diadili di pengadilan hanya Johny Sitorus dan Posman.

Jika merujuk pada Pasal 24 KUHAP sampai dengan Pasal 25 KUHAP, masa penahanan maksimal seorang tersangka untuk kebutuhan penyidikan ialah 20 hari, namun bisa diperpanjang sampai 40 hari. Sedangkan untuk keperluan penuntutan, seorang terdakwa bisa ditahan maksimal 20 hari dan bisa mendapat tambahan 30 hari.

Terkait mekanisme pambantaran dan splitsing, Polres Depok berseberangan pendapat dengan Kejaksaan Negeri Depok. Ajun Komisaris Polisi Firdaus, Kepala Sub Bagian Hubungan Masyarakat Polresta Depok menyatakan bahwa pengajuan pembantaran bebarengan dengan masuknya berkas ke Kejaksaan. Sedangkan Priatmaji Dutaning Prawiro, Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Depok menegaskan surat pembantaran dilayangkan secara terpisah dengan pemberkasan, bahkan ada selisih tenggang waktu.

Setelah lebih dari sebulan Ramlan dirawat di RS Polri, tepatnya 8 Oktober 2015, Ramlan dikembalikan ke tahanan di bawah pantauan Polres Depok. Namun di dalam bui, kesehatan Ramlan kembali memburuk. Penyakit gagal ginjalnya kambuh. Dia sering pingsan, sempat dipasang selang bantuan pernapasan. Hingga akhirnya penyidik berkoordinasi kembali dengan RS Polri. Namun rumah sakit kepolisian tersebut merujuk agar Ramlan dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat.

Saat itu pula status pembantaran Ramlan berubah menjadi tahanan rumah. Penangguhan penahanan diakukan oleh Polsek Cimanggis dengan surat SPPP/75/X/2015/Reskrim. Sejak 17 Oktober 2015 Ramlan, mulai rawat jalan di RSCM. Namun syaratnya Ramlan wajib lapor setiap hari Senin dan Kamis ke penyidik Polres Depak.

“Jadi berkasnya kemudian di-splitsing oleh Polri. Berkas dari tiga orang itu kemudian hanya dua dimajukan untuk penuntutan, yang satu, Si Ramlan, masih masa perawatan,” kata Priatmaji kepada Tirto, Kamis (29/12/2016).

Tapi tak sekalipun Ramlan memenuhi syarat wajib lapor. Hingga pada 25 Oktober Ramlan dinyatakan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) alias buron.

“Yang bersangkutan melarikan diri sampai kemarin tertangkap oleh tim gabungan dari Polda (dalam kasus Pulo Mas),” terang Firdaus kepada Tirto, Kamis (29/12/2016). “Itu tidak dilakukan penjagaan. Itu tahanan rumah karena dalam rangka pengobatan,” imbuh Firdaus.

Meski 16 November 2015 berkas Ramlan telah dinyatakan lengkap, namun pihak penyidik tak mampu memenuhi prosedur menyerahkan berkas bersamaan dengan penyerahan tersangkan pada kejaksaan.

Maka dari itu 30 hari setelahnya pihak kejaksaan mengembalikan berkas Ramlan sesuai dengan SOP kejaksaan.

“Jadi sejak dibantarkan kemudian oleh jaksa di-P21, kemudian berkas dinyatakan lengkap, dan ada lagi dengan P21a belum juga diserahkan tersangka berikut barang buktinya. Sampai kami kembalikan seluruh berkas perkaranya,” tutur Priatmaji.

Berbeda dengan proses hukum Ramlan yang mampet, pada 26 November 2015 kejaksaan menetapkan bahwa perkara kedua rekannya sudah dapat disidangkan di Pengadilan Negeri Depok. Majelis hakim yang menyidangkan adalah Hendra Yusritiawan sebagai ketua majelis hakim, Lismawati hakim anggota I, Ahmad Ismal hakim anggota II dengan nomor perkara 668/PID.B/2015/PN DPK.

Pada 25 Februari 2016, Hendra memvonis Jhony Sitorus pidana penjara selama 7 tahun dan Posman dikenai pidana penjara selama 6 tahun. Seluruh barang bukti yang disita diputuskan dikembalikan kepada penyidik untuk dipergunakan dalam perkara lain atas nama Ramlan yang masih ditangguhkan.

“Barang buktinya sudah dikembalikan lagi kepada pihak penyidik, namun kita gunakan di antara lain untuk Ramlan,” terangnya.

Ramlan Kabur, Siapa Penjaminnya?

Di balik peristiwa hukum itu semua, Ramlan ternyata asyik menjalani hari-harinya sebagai sopir angkot. Dia dikenal sebagai bos Geng Korea. Pertanyaannya: kenapa Ramlan tak dikejar oleh kepolisian? Jika terjadi pembantaran tersangka, dan ternyata tersangka dinyatakan buron, bukankah ada jaminan, baik itu jaminan orang maupun uang? Mengapa penjamin Ramlan juga tak dikejar?

Ini sesuai PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Di sana diatur bahwa permintaan penangguhan penahanan ada jaminan yang disyaratkan yang bisa berupa uang atau orang.

Firdaus mengaku belum bisa menjelaskan bagaimana upaya penyidik mengejar Ramlan terkait kasus di Tapos. Dia pun belum bisa menerangkan tanggung jawab pihak yang menjamin Ramlan akan bertindak kooperatif, tidak akan kabur, dan tidak mengulangi kejahatan. Firdaus tak menerangkan siapakah pepenjamin Ramlan, keluarga atau bukan?

“Itu saya harus pelajari dulu. Karena alhamdulillah saya belum pernah yang kayak gini soalnya. Tapi pasti ada itu,” ungkapnya.

Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Churdy Sitompul menilai risiko jika terduga pelaku kabur, maka penjaminnya akan dikenakan hukuman yang menjerat tersangka yang dijamin.

“Penjaminnya itu ditahan, sampai masa penahanan selesai,” tegas Churdy kepada Tirto, Jumat (30/12./2016).

Namun dalam kasus perampokan yang dilakukan Ramlan di Tapos pada 2015 itu, belum jelas siapa yang menjadi penjamin dan bagaimana penjamin mempertanggungjawabkan kaburnya Ramlan.

Infografik Ramlan Butarbutar

Residivis Kelas Kakap Diperlakukan Istimewa

Sebelum melakukan tindak pidana kembali, Ramlan sempat menjadi terduga pelaku tindak kejahatan yang diistimewakan oleh pihak kepolisian. Hal tersebut diungkapkan Mudzakir, Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII). Terbukanya proses penanganan kasus Ramlan yang janggal menurutnya akan berdampak pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Polri. Dia pun berharap agar internal maupun eksternal kepolisian, membentuk tim khusus untuk menelusuri proses penanganan kasus Ramlan.

“Apa dalam hubungan mereka dengan Ramlan? Ramlan itu siapa? Kok bisa memperoleh perlakuan khusus yang dalam satu proses penegakan hukum sehingga dia bisa lolos gitu,” kata Mudzakir kepada Tirto, Jumat (30/12./2016).

Terlebih Ramlan diduga menjadi otak tindakan perampokan di Kecamatan Tapos, Kota Depok 2015 silam. Dalam pemisahan berkas atau splitsit, seharusnya didefinisikan terlebih dahulu jenis peranan masing-masing terduga pelaku. Ada perbedaan yang begitu kuat antara otak tindakan pidana dengan pemimpin tindakan pidana.

Mudzakir menjelaskan bahwa otak atau aktor yang menggerakkan suatu perkara pidana bisa berada di lokasi kejadian maupun mengendalikan jarak jauh. Sedangkan pemimpin aksi pidana pasti menjadi penggerak dan turut serta di lapangan.

Sedangkan Ramlan sendiri yang diduga sebagai otak sekaligus pemimpin, berkasnya dipisahkan dari kedua rekannya. Hal tersebut justru menghadirkan kejanggalan. “Kalau otaknya tidak ikut turun di lapangan, nah itu bisa dipisah (berkas kasusnya). Kalau dalam bahasa hukum, itu disebutnya penganjur,” tuturnya.

Dalam kasus di Tapos itu, Ramlan bersama rekannya menyekap 7 orang. Dia melakukan pencurian disertai tindak kekerasan. Ancaman hukuman maksimal bagi tindak pidana yang dilakukannya ialah 15 tahun penjara. Terlebih statusnya kala itu juga residivis. Tapi dalam proses tahanan rumah, pihak penyidik tak serius dalam memberikan keamanan.

“Kalau tindak kekerasan seperti itu mestinya dalam maximum security, pengamanan maksimum. Berbeda dengan kejahatan-kejahatan lunak. Kejahatan-kejahatan lunak, atau soft crime,” tegasnya.

Baca juga artikel terkait RAMLAN BUTARBUTAR atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Zen RS