Menuju konten utama

Kehendak Memulai Kehidupan Baru di Luar Negeri

Bagi beberapa orang, pindah ke luar negeri alias migrasi adalah kiat untuk mengatasi urusan pelik kehidupan mereka – pergi jauh ke negeri orang, melupakan bahtera hidup memuakkan di masa lampau dan memulai kehidupan baru yang (diharap) lebih baik untuk masa depan.

Kehendak Memulai Kehidupan Baru di Luar Negeri
Pengungsi membawa ember berisi air saat cuaca dingin di kamp Jerjnaz, di provinsi Idlib, Suriah. [ANTARA FOTO/REUTERS/Khalil Ashawi]

tirto.id - Jemu tinggal di negeri sendiri? Jengah melihat birokrasi pemerintahan dan kehidupan berpolitik yang korup, represif? Atau jenuh karena serba susah:cari uang susah, cari kerja susah, cari jodoh susah? Pindah ke luar negeri adalah solusinya.

Sebenarnya ada banyak alasan orang memutuskan bermigrasi: perang, bencana alam, kemiskinan, pelanggaran HAM adalah faktor terbesar alasan itu. Namun, kita bukan lagi manusia pra-sejarah yang bebas berkelana ke sana ke mari berpindah-pindah lintas benua sekehedaknya. Hidup di era-modern membuat kita harus paham bahwa kehidupan kita kini dikotak-kotaki dalam sebuah teritori yang disebut negara.

Kehendak tinggal di luar negeri ini tidak ada sangkut pautnya dengan nasionalisme. Jika Anda mengharapkan bermigrasi dan tinggal permanen di negeri orang, ketahuilah hasrat Anda itu dirasakan pula oleh 14 persen penduduk dewasa di dunia ini –atau sekitar 630 juta orang. Hasil survei Gallup pada 2010-2012 dengan sampling terhadap 501,366 orang dewasa di 154 negara menemukan hal itu. Angka ini sebenarnya cenderung turun ketimbang dua tahun sebelumnya yang berkisar 16 persen atau 700 juta jiwa.

Migrasi di sini bukan laiknya seperti buruh migran yang bekerja dengan rentan waktu tertentu lalu pulang ke negara asal. Jika merujuk migrasi pekerjaan temporer angkanya lebih besar, berkisar 1,1 miliar jiwa atau 26 persen populasi keseluruhan.

Migrasi akan kita bahas berarti migrasi yang menetap di negara lain secara permanen dengan waktu yang teramat panjang, beranak-pinak atau bahkan pindah kewarganegaraan.

Pada 2013, Lembaga Kependudukan Perserikatan Bangsa Bangsa atau United Nations Population Fund (UNFPA) mencatat 232 juta jiwa atau 3,15 persen populasi dunia yang tinggal permanen di luar negeri. Ada kenaikan sekitar 33,3 persen atau 57 juta orang dibandingkan dengan tahun 2000. Sebanyak 59 persen migrasi itu mengarah pada regional maju secara ekonomi.

Ada 10 negara favorit tujuan para imigran: Australia, Kanada, Perancis, Jerman, Rusia, Saudi Arabia, Spanyol, Uni Emirat Arab, Amerika Serikat dan Inggris Raya. Dari semua itu, AS duduk di peringkat teratas, 138 juta orang penduduk di muka bumi ini berharap untuk tinggal di AS.

Cina Menginvansi Amerika

Menariknya, mereka yang terbanyak berkehendak tinggal di negeri Paman Sam itu bukanlah Meksiko, melainkan Cina. Ada 19 juta warga Cina yang ingin pindah ke AS. Salah satu trik memuluskan kepindahan ini adalah dengan berkuliah. Hampir 28 persen mahasiswa asing di AS berasal dari Cina.

Xinhua melaporkan pada 2013 lalu dari 2,6 juta mahasiswa Cina yang kuliah di luar negeri, hanya 1,09 juta yang kembali. Artinya, ada 1,5 juta orang Cina yang memilih menetap di luar negeri. Hampir 40 persen itu tinggal di AS. “Di Sillicon Valey, pusat teknologi dunia, 35 persen direktur teknologi dan laboratorium adalah warga negara Cina," ucap Direktur China Globalization Research Center, Wang Huiyao.

Faktor kenyamanan dan kebebasan jadi alasan keenganan pulang ini. “Pada tahun 2030 , PDB Cina mungkin akan melampaui AS . Tapi saya khawatir tidak akan dapat pekerjaan yang bagus di sana. Di AS Anda dinilai berdasakan kemampuan Anda , sedangkan di Cina latar belakang dan koneksi itu yang lebih penting ,” ujar Xia Qing, mahasiswa pasca-sarjana Universitas California kepada The Guardian.

Masih dalam survet Gallup, dalam soal kuantitas hasrat pindah ke AS, Cina memang terbanyak. Namun, Cina tak seekstrem Liberia, Haiti, Republik Dominika atau Kamboja. Tak tanggung, muak dengan kondisi negara yang begitu-begitu saja, hampir 25 persen penduduk dewasa di negeri–negeri itu ingin pindah secara permanen ke AS.

Jika dibagi berdasarkan regional, populasi yang berkehendak migrasi secara permanen di Asia sebenarnya relatif kecil hanya 9 persen, beda dengan Eropa (17 persen), Amerika (18 persen), Timur Tengah dan Afrika Utara (21 persen), serta Afrika Sub-Sahara (33 persen).

Dari angka ini, mungkin kita bertanya kenapa Eropa dan Amerika lebih tinggi daripada Asia? Tingginya angka di Eropa disebabkan Eropa Timur yang relatif lebih miskin ketimbang Eropa Barat. Beban sama juga diberikan Amerika Latin terhadap Amerika Utara.

Jika Pintu Perbatasan Dibuka Bebas

Jadi sebuah kajian menarik adalah andaikan kondisi masa lalu kembali terjadi, batas-batas negara diterabas, orang sekehendak pergi kemanapun dia suka maka negara-negara yang dituju para imigran akan mengalami pertambahan populasi hingga berlipat-lipat.

Populasi di Kanada akan bertambah 120 persen, AS ketambahan 45 persen. Di Eropa Barat dan Skandinavia, rerata kenaikan populasi bisa mencapai 46 persen. Pada negara kaya minyak seperti Arab Saudi, Kuwait dan Uni Emirat Arab jumlah populasi bahkan naik sampai 200 persen. Sedangkan di Asia Pasifik: Australia, Selandia Baru dan Singapura akan dibebani 133 persen penduduk baru.

Di lain sisi pada negara-negara miskin dan sarat konflik di Timur Tengah dan Asia akan kehilangan 25 persen penduduknya. Sedangkan negara Afrika sub-Sahara persentase populasi yang pergi mencapai 46 persen. Bagi Indonesia, jika aturan ini diberlakukan maka kita akan kehilangan 2 persen penduduk atau 5 juta orang yang pindah ke luar negeri.

Tapi angka-angka pertambahan-pengurangan populasi di atas tidak akan pernah terjadi. Bagi negara-negara maju migrasi penduduk adalah masalah yang harus diatasi.

Dalam survey Gallup 2015 lalu 52,1 persen orang Eropa meminta migrasi permanen harus dihentikan dan diturunkan persentasenya. Hanya 7,5 persen yang setuju dinaikan. Sebanyak 30,2 persen sisanya meminta arus migrasi itu tetap seperti sekarang - tak bertambah dan tak berkurang - kita bisa menebak penduduk negara Eropa mana saja yang meminta kebebasan bermigrasi ini terus dibuka.

Penolakan sama juga terjadi di Amerika Utara dengan 39,3 persen. Jika dirinci lebih detail 10 negara favorit tertuju para imigran, mayoritas memang bersikap tegas menolak penduduk asing tambahan. Menariknya, dari 10 negara itu, dua negara Timur Tengah, Arab Saudi dan Qatar malah bersikap sebaliknya. Sebanyak 54,6 persen koresponden meminta arus imigran ke dua negara ini lebih ditambah oleh pemerintah.

Perang Suriah dan Beban bagi Eropa.

Kecamuk perang saudara di Suriah berbuntut panjang dengan lahirnya ISIS. Sempalan Al Qaeda inilah yang membikin renteten konflik makin merembet ke negara-negara lain, mulai dari Irak, Afganistan, Libya, Yaman, Nigeria, Mali, Somalia, Kongo, Sudan Selatan dan Yaman.

Badan pengungsi PBB, UNHCR menuturkan pada akhir 2014 terjadi migrasi besar-besaran hingga 59,5 juta orang pengungsi dalam satu tahun. Angka ini mengalahkan total satu migrasi pengungsi satu dekade terakhir yang mencapai 37,5 juta orang.

Dari data ini artinya, satu dari 122 orang di muka bumi ini adalah pengungsi yang bermigrasi mencari suaka. Jika mereka dikumpulkan dalam satu negara, maka mereka akan membentuk negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke-24 di dunia.

Saat ini Suriah adalah produsen terbesar pengungsi yang bermigrasi dengan 7,6 juta orang, Afghanistan di urutan kedua dengan 2,59 juta dan Somalia mengekor dengan 1,1 juta orang. Kebanyakan pengungsi ini berbondong-bondong menuju Eropa.

Jumlah imigran yang masuk ke Eropa naik hingga 51 persen. Volume terbesar aplikasi suaka dialami oleh Jerman dan Swedia. Secara keseluruhan, angka pemindahan paksa di Eropa mencapai 6,7 juta pada 2014. Selain kedatangan tamu dari selatan, Eropa pun banyak kemasukan asilum dari Ukraina. Agresifitas Rusia di Ukraina Timur membikin banyak orang kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan. Seketat apapun Eropa menutup pintu suaka, arus pengungsi yang masuk akan tetap deras selama konflik di Timur Tengah dan Afrika tak selesai-selesai.

Baca juga artikel terkait HUKUM atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Hukum
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti