tirto.id - Informasi bocornya data 1 juta pengguna Facebook asal Indonesia ke Cambridge Analytica, sebuah firma konsultan analisis data politik berbasis di Inggris, terus bergulir. Sejumlah pihak meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bertindak tegas mengusut kasus tersebut.
Menteri Kominfo Rudiantara menyatakan pihaknya telah memberikan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik.
“Sudah kami lakukan [sanksi], baik teguran secara lisan maupun teguran atau peringatan tertulis. Dikeluarkan Kamis kemarin,” kata Rudiantara saat dihubungi Tirto, Jumat (6/4/2018).
Selain menjatuhkan sanksi administrasi, Kementerian Kominfo juga telah memanggil perwakilan Facebook Indonesia untuk mengklarifikasi kebocoran data itu. Dalam pertemuan yang berlangsung Kamis siang (5/4/2018), Rudiantara menegaskan, seluruh perusahaan platform media sosial, khusunya Facebook, harus menaati ketentuan soal perlindungan informasi data pribadi.
Rudiantara meminta, Facebook Indonesia menonaktifkan kerja sama aplikasi dengan pihak ketiga, seperti kuis dan survei yang berpotensi mencuri data pengguna. Selain itu, kata dia, Facebook juga harus melakukan investigasi berupa audit forensik digital untuk mengetahui bagaimana data-data itu bocor dan siapa aktor yang berada di balik peristiwa tersebut.
Jika hasil investigasi yang dilakukan nanti tidak memuaskan, Rudiantara mengancam akan memberikan sanksi tegas hingga penutupan. “Sanksi lain adalah pelanggaran UU ITE, bisa dikenakan hukuman badan [penjara] sampai 12 tahun [penjara] dan denda sampai 12 miliar,” kata Rudiantara.
Dalam konteks ini, Rudiantara berkata, “kami telah berkoordinasi dengan Polri sebagai penegak hukum.” Kerja sama yang ia maksud juga dilakukan untuk menindak tegas siapa pun yang menyalahgunakan informasi yang bocor tersebut.
Ancaman yang dilontarkan Rudiantara itu cukup serius, mengingat sejumlah ketidakpatuhan Facebook terhadap beberapa ketentuan di Indonesia. Kepada sejumlah pewarta, Kamis (5/4/2018), Rudiantara menunjukkan data statistik bahwa Facebook merupakan satu dari tiga perusahaan yang ia sebut bandel soal penindakan konten negatif.
“Ini yang ingin saya sampaikan kepada publik, bahwa inilah keadaannya, saya secara pribadi tidak punya intensi untuk menutup sembarang seperti itu, harus dijaga untuk kepentingan negara dan masyarakat,” kata Rudiantara, seperti dikutip Antara, Kamis.
Terkait kasus ini, Kepala Hubungan Masyarakat Facebook Indonesia, Putri Dewanti menyatakan, pihaknya berkomitmen untuk terus melindungi informasi pengguna. Menurut dia, Facebook akan berupaya untuk memastikan bahwa kendali dan pengaturan privasi yang sama tersedia.
“Kami baru saja mengambil langkah penting untuk memudahkan orang menemukan perangkat privasi, kami membatasi akses data di Facebook, dan memperjelas ketentuan serta kebijakan data kami,” kata Putri saat dikonfirmasi Tirto, Jumat (6/4/2018).
Secara keseluruhan, kata Putri, pihaknya yakin bahwa perubahan tersebut akan melindungi informasi pengguna dengan lebih baik. “Kami akan terus menyampaikan perkembangan terbaru kepada komunitas kami. Kami juga akan senantiasa bekerja sama dengan pemerintah dalam hal privasi dan informasi di Indonesia,” kata dia.
Masyarakat Diminta Hati-hati
Pencurian jutaan data pribadi di Facebook terkuak menyusul pengakuan mantan Kepala Riset Cambridge Analytica, Christopher Wylie.
Menurut dia, induk perusahaan Cambridge Analytic, Strategic Communication Laboratories Group (SCL), kerap menggunakan data tersebut untuk kerja-kerja politik pemenangan Pemilu di 40 negara, di antaranya pemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden dan referendum Inggris dari Uni Eropa atau Brexit pada 2016.
Dalam pengakuannya, Wylie mengatakan data tersebut berasal dari survei kepribadian di Facebook dengan dalih riset akademik. Data-data itu diambil secara ilegal menggunakan aplikasi thisisyourdigitallife yang dikembangkan Global Science Research (GSR) milik peneliti Aleksandr Kogan.
Atas izin Facebook, GSR membayar ratusan pengguna akun untuk mengikuti tes kepribadian dan mengumpulkan data pribadi mereka. Namun, aplikasi itu ternyata mencuri data puluhan juta akun lain berdasarkan pertemanan di Facebook. Data itulah yang kemudian dijual secara ilegal pada Cambridge Analytica dan digunakan untuk mendesain iklan politik guna mempengaruhi emosi pemilih pada Pilpres Amerika Serikat.
Menurut Rudiantara, terungkapnya skandal itu harus menjadi peringatan bagi masyarakat Indonesia untuk lebih berhati-hati menggunakan media sosial. Terutama, kata dia, "Dalam memberikan data pribadi oleh aplikasi-aplikasi yang tersedia pada platform media sosial, sebagaimana aplikasi-quiz yang dijalankan Cambridge Analytica pada medsos Facebook. Apalagi jika ada kekhawatiran, tidak ada salahnya untuk sementara melakukan 'puasa' medsos,” kata Rudiantara.
Pemerintah Harus Dilibatkan dalam Investigasi
Pakar Digital Forensik, Ruby Alamsyah menyebut, potensi penyalahgunaan atas pencurian data pengguna Facebook di Indonesia belum bisa diukur. Sebab, kata dia, sebagian data yang dicuri oleh Cambridge Analityca sejauh ini diketahui hanya digunakan untuk proses kampanye di Amerika Serikat.
Namun Ruby meminta pemerintah Indonesia bertindak cepat untuk mencegah penyalahgunaan hasil investigasi Facebook. Karena itu, kata dia, pemerintah tidak bisa hanya menunggu dan harus terlibat aktif dalam audit forensik yang dilakukan Facebook.
Apalagi, kata Ruby, investigasi yang dilakukan di Indonesia masih terbilang lambat jika dibandingkan Australia yang tingkat kebocoran data penggunanya lebih sedikit. Pada Kamis malam, waktu setempat, kata dia, kantor komisaris informasi Australia telah mengumumkan dimulainya investigasi berupa audit forensik digital bersama Facebook.
“Harusnya Kominfo dapat melakukan investigasi bersama FB sehingga mendapatkan gambaran secara komprehensif, resikonya seperti apa dan semua pihak dapat melihat notifikasi dari penggunaan aplikasi pihak ketiga yang digunakan untuk mencuri data. Nah, dari hasil investigasi itu dapat dilihat risikonya seperti apa,” kata Ruby kepada Tirto, Jumat (6/4/2018).
Di samping hal tersebut, Ruby mengingatkan agar masyarakat mulai sadar pentingnya klasifikasi identitas dalam menggunakan media sosial. Menurut dia, pengguna harus membatasi pencantuman identitas pribadi di media sosial.
“Ini jadi lesson learn buat masyarakat, karena kalau data yang di media sosial tidak menarik dan detail, pencurian sangat mungkin tidak terjadi. Karena media sosial itu, kan, ruang publik. Jadi hal-hal yang menyangkut privasi sebaiknya dibatasi,” kata dia.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz