Menuju konten utama

Kebakaran Pabrik Korek Tak Boleh Terulang, Dinas Mesti Lebih Giat

Kebakaran di pabrik korek di Langkat semestinya membuat dinas memperketat pengawasan.

Kebakaran Pabrik Korek Tak Boleh Terulang, Dinas Mesti Lebih Giat
Warga mengamati lokasi kebakaran pabrik korek gas (mancis) di Desa Sambirejo, Kecamatan Binjai, Sumatera Utara, Jumat (21/6/2019). ANTARA FOTO/Adiva Niki/wpa/hp.

tirto.id - Pabrik perakitan korek yang berada di Desa Sambirejo, Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat, Jumat (21/6/2019), sekitar pukul 12.05 WIB terbakar. Api baru dapat dipadamkan setelah dua unit mobil pemadam kebakaran milik Pemkab Langkat dan tiga unit milik Pemkot Binjai tiba di lokasi.

Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) mengatakan kecelakaan kerja seperti ini seharusnya bisa dihindari jika pemerintah, baik Dinas Tenaga Kerja daerah maupun Kementerian Ketenagakerjaan di tingkat pusat, mengawasi pabrik-pabrik.

Mereka semestinya melakukan pengecekan berkala untuk melihat apakah sistem K3 telah diterapkan atau belum.

Masalahnya, selama ini alasan pemerintah kerap itu-itu saja, yaitu jumlah pengawas kurang.

"Alibi kekurangan pengawas ketenagakerjaan adalah alasan usang yang terus-menerus didaur ulang pemerintah. Jika memiliki kemauan politik, pemerintah dapat menambah anggaran guna menggenjot jumlah pengawas ketenagakerjaan," ujar Ketua Umum KPBI Ilhamsyah kepada reporter Tirto, Minggu (23/6/2019).

Jumlah pengawas yang minim sempat disinggung Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan Kesehatan Kerja (Binwasnaker K3) Kemenaker Sugeng Priyanto pada 2018 lalu. Dia bilang, pengawas ketenagakerjaan jumlahnya hanya 1.600. padahal angkatan kerja mencapai 130 juta orang. Idealnya, perbandingan pengawas dan pekerja itu 1:350.

Pengawas ini bukan hanya untuk perkara K3 saja, terang Ilhamsyah, tapi juga praktik ketenagakerjaan secara umum. Pengawas mesti memastikan segala regulasi yang dibuat pemerintah, baik pusat atau daerah, ditaati pengusaha.

Ilhamsyah mendesak agar dinas lebih giat karena faktanya kecelakaan kerja sudah terjadi berkali-kali. Sebelum kasus ini ada ledakan di pabrik kembang api di Kosambi, Tangerang pada 26 Oktober 2017. Kemudian di PT MI di Cikarang, Jawa Barat, pada 2015. Di PT MI terjadi kebocoran gas karena empat dari delapan selang fleksibel ternyata bekas, padahal semestinya semua diganti baru.

Kecelakaan di PT MI menewaskan 28 buruh. 31 lainnya mengalami luka bakar. Sementara di Kosambi mencapai 49 orang.

Wewenang mengawasi pabrik-pabrik tertuang dalam Permenaker Nomor 33 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan. Dalam beleid itu, petugas bahkan punya hak memasuki tempat kerja tanpa pemberitahuan sekalipun. Mereka bebas melakukan penyelidikan, dan berhak mengambil langkah yang diperlukan untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi di pabrik atau tempat kerja.

Ilhamsyah berharap kasus ini membuat pengusaha tidak lagi abai terhadap keselamatan para pekerjanya. Dia menegaskan lagi bahwa ada sanksi pidana bagi pengusaha yang masih membandel, yaitu pasal 359 KUHP. Dalam beleid itu disebutkan bahwa siapa pun yang karena kesalahannya menyebabkan kematian orang lain, bisa dihukum penjara paling lama lima tahun.

"Pengusaha yang tidak memberikan alat pelindung, tidak menerapkan manajemen K3 dengan benar, dan pengawas ketenagakerjaan yang tidak menjalankan fungsinya dapat diduga melanggar pasal tersebut," kata pria yang akrab disapa Boing ini.

Tak Ada Pengawasan

Apa yang dikatakan Ilhamsyah memang benar-benar terjadi di pabrik macis (lebih tepatnya: rumah yang dijadikan lokasi produksi) di Langkat.

Berdasarkan keterangan saksi, kondisi pintu depan pabrik terkunci--diketahui kemudian sang mandor yang mengunci. Padahal, seperti yang tertera jelas dalam Pasal 3 ayat 1 d UU 1/1970 soal Keselamatan Kerja, syarat keselamatan kerja salah satunya adalah tersedianya "jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya."

30 orang meninggal dunia dalam kasus ini, lima di antaranya anak-anak. Empat orang berhasil keluar dari pabrik lewat pintu belakang yang tidak terkunci.

Kemudian soal pengawasan. Dinas Tenaga Kerja, dalam hal ini pengawas Disnaker Sumatera Utara Mahipal Nainggolan, bahkan mengaku tidak tahu kalau pabrik ini ada. "Berapa lamanya pabrik ini beroperasi kami juga tidak tahu. Sejauh ini dari pihak Disnaker dan perangkat di Kabupaten Langkat, belum ada pemberitahuan kalau pabrik ini ada," katanya, seperti diberitakan JPNN.

Kasus ini memang membuat pemerintah introspeksi. Setidaknya Sekretaris Daerah Kabupaten Langkat Indra Salahuddi berjanji Pemkab Langkat akan secepatnya "melakukan pemeriksaan izin perusahaan, bukan saja terhadap pabrik yang terbakar itu, melainkan semua pabrik yang ada di Langkat."

Hal serupa diungkapkan Bupati Langkat Terbit Perangin-angin. "Agar seluruh perusahaan yang ada di Langkat dapat menerapkan dan mengikuti semua aturan-aturan operasional yang berlaku sesuai ketentuan perundangan-undangan," katanya.

Sementara itu, tersangka kasus kebakaran juga telah ditetapkan. "Ketiga tersangka yang diamankan itu yakni IM (pengusaha), BH (manajer), dan LN (supervisor)," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sumut Kombes Pol Tatan Dirsan Atmaja di Rumah Sakit (RS) Bhayangkara Medan, Sabtu (22/6/2019) malam.

"Tersangka IM merupakan warga Jakarta, BH penduduk Kabupaten Deli Serdang, dan LN warga Langkat," tambah Tatan.

Baca juga artikel terkait KECELAKAAN KERJA atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Hukum
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino