Menuju konten utama

Keamanan Poso dan Papua Tak Akan Pulih dengan Senjata SAGL

Cahyo menuturkan, jika masih menggunakan pendekatan militer, maka pemerintah justru akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat.

Keamanan Poso dan Papua Tak Akan Pulih dengan Senjata SAGL
Dankorbrimob Irjen Pol Murad Ismail (kiri) dan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Setyo Wasisto memegang contoh senjata Grenade Launcher. tirto.id/Taher

tirto.id - Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas mengkritik pernyataan Irjen Pol Murad Ismail yang menyebut pembelian senjata Stand Alone Grenade Launcher (SAGL) sebagai upaya pemulihan keamanan dan menjaga wilayah Poso dan Papua.

Cahyo menegaskan, penggunaan senjata apapun sudah tidak relevan untuk menjaga wilayah Poso dan Papua. Cahyo mencontohkan, saat ini gerakan untuk pembebasan Papua tidak lagi dilakukan dengan menggunakan senjata, melainkan melalui cara politik dan diplomasi.

“Mereka berkumpul dalam satu wadah serupa partai yang namanya Komite Pembebas Papua Barat (KNPB)” kata Cahyo saat dihubungi Tirto, Senin (2/10/2017).

Karena itu, kata Cahyo, pemerintah harus mengubah pendekatan yang dilakukan di wilayah konflik, khususnya Papua. “Bukan dengan cara militeristik, tapi dengan pendekatan diplomatik dan pembangunan infrastruktur,” kata Cahyo.

Cahyo menuturkan, jika masih menggunakan pendekatan militer, maka pemerintah justru akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat terkait konflik yang ada di Papua, Poso dan sejumlah tempat lainnya justru tidak akan selesai.

Baca juga: Seharusnya Senjata SAGL Tidak Masuk Melalui Bandara Komersil

Sementara itu, Direktur Imprasial, Al Araf mengatakan, pengadaan senjata bagi militer dan kepolisian untuk tujuan-tujuan keamanan di beberapa wilayah di Indonesia tidak perlu dipermasalahkan. Sebab, sudah ada mekanisme teknis yang jelas tentang perencanaan pembelian senjata tersebut.

"Tentu ini tidak spesifik hanya untuk menghadapi gerakan-gerakan kelompok bersenjata, tapi kan setiap pembelian itu sudah direncanakan secara matang,” kata Al Araf.

Al Araf menuturkan, dirinya tidak mempermasalahkan jika Poso masih dianggap sebagai daerah rawan konflik sehingga dibutuhkan tambahan senjata untuk kepolisian.

“Pemerintah mungkin punya asumsi sendiri dalam menghadapi permasalahan-permasalahannya. Karena dulu kan sempat ada gerakan teroris yang dipimpin Santoso itu. Selama anggarannya jelas. Kemudian perencanaannya jelas, enggak ada masalah,” kata dia.

Namun, Al Araf menyarankan agar mekanisme peredaran senjata api dan bahan peledak diperjelas dan dikuatkan melalui Undang-Undang. Sebab, kata Al Araf, selama ini mekanisme pengadaan senjata untuk instansi, seperti TNI dan Polri tidak diatur dalam UU Darurat Nomor 12 tahun 1961 yang mengatur soal kepemilikan senjata api.

Tujuannya, kata Al Araf, agar kontrol senjata api dan bahan peledak tidak hanya diketahui oleh instansi TNI dan Polri, melainkan juga diketahui secara luas oleh masyarakat.

“Tata aturan dan lebih teknis soal ini harusnya dinaikkan ke level Undang-Undang, bukan perturan di internal masing-masing [Polri dan TNI]. Harus ada prosedur yang baku sesuai Undang-Undang. Kita sudah buat (draf RUU) dari 4 tahun yang lalu oleh Kementerian Hukum dan HAM,” kata Al Araf.

Baca juga: Polri Harap Publik Tak Ributkan soal Senjata Pelontar Granat

Sebelumnya, Komandan Brimob Irjen Pol Murad Ismail menegaskan senjata SAGL yang dibeli Brimob tidak digunakan untuk menghancurkan tank, tetapi untuk menjaga wilayah, seperti Poso dan Papua. “Senjata ini kami gunakan untuk daerah operasi,” kata Murad, di Mabes Polri, Jakarta, Sabtu (30/9/2017).

Murad menegaskan, senjata sejenis sudah pernah masuk pada tahun 2015 dan 2016. Senjata yang dibeli sampai saat ini selalu mendapat persetujuan dari Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI. Untuk kali ini, Brimob masih menunggu hasil pemeriksaan dari BAIS TNI apakah senjata tersebut sesuai atau tidak dengan manifes. Murad menuturkan, SAGL kini dipegang oleh tiap satuan Brimob wilayah.

"Saya ada 34 Dansat Brimob dan semuanya minimal ada 1. Selama ini digunakan apabila terjadi huru hara. Kita pakai yang gas air mata, asap. Kalau nggak dipakai di daerah, minimal pengenalan anggota kita," kata Murad.

Baca juga: Brimob Tegaskan Senjata SAGL Bukan untuk Hancurkan Tank

Baca juga artikel terkait SENJATA ILEGAL atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Hukum
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz