tirto.id - Beberapa hari ke belakang, linimasa media sosial diramaikan dengan munculnya kata “tuman” dalam sejumlah meme. Tidak diketahui secara pasti dari mana asal mula meme itu hadir dan kemudian menyebar.
Dan seperti watak informasi di era digital, meme dengan sejumlah variasinya kemudian menjalar serupa sampar. Dari meme urusan asmara, sepakbola, hingga politik elektoral, semuanya tak lepas dari kata “tuman” yang berkali-kali muncul dalam linikala Twitter, Facebook, serta Instagram.
Selain menyertakan kata “tuman”, persamaan dari meme-meme ini adalah hadirnya gambar dua orang bocah gundul—mayoritas tak berbaju—yang seorang dari mereka sedang menampar satunya lagi.
Selain dalam meme, karena tengah ramai digunakan, banyak juga akun-akun media sosial yang mengunggah selain meme tapi menyertakan kata “tuman” dalam caption, seperti misalnya dalam unggahan foto diri, video isu kiamat, foto kebun jagung, dan lain-lain.
Ungkapan Orang Dewasa kepada Anak-Anak
Kata “tuman” yang banyak dianggap hanya terdapat dalam bahasa Jawa sebetulnya ada juga dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia.
Dalam jilid kedua Baoesastra Djawa (1939) karya W.J.S. Poerwadarminta, kata “tuman” artinya adalah “manuh (matuh, kumudu ngrasakake maneh) marga wis tau ngarasakake enake (kepenake)”. Artinya kira-kira “terbiasa, selalu senang akan, ingin mengulangi lagi (karena sudah merasakan enaknya)”.
Sementara arti kata “tuman” dalam bahasa Sunda, misalnya yang ditulis R.A. Danadibrata dalam Kamus Bahasa Sunda (2015), adalah “dibiasakan yang nantinya jadi jelek, keenakan [sesuatu yang jelek]”. Arti ini tidak jauh berbeda dengan arti kata “tuman” dalam Sundanese English Dictionary (2003) karya R. Hardjadibrata, yaitu “get used to, be familiar with, becoming a habit”.
Bahasa Indonesia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring mengartikan kata “tuman” sebagai “menjadi biasa (suka, gemar, dan sebagainya) sesudah sesudah merasai senangnya, enaknya, dan sebagainya”. Agaknya, KBBI mengambil arti lema ini dari bahasa Jawa.
Dan kata “tuman” yang juga hadir dalam Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko, baik terbitan tahun 2006 maupun 2016, sinonim katanya hanya satu, yakni “kebiasaan”.
Jika dilihat dari sejumlah arti di atas, tampaknya yang terdapat dalam Tesaurus Bahasa Indonesia ini adalah perasan yang menjadi inti dari semua arti kata “tuman” yang disediakan bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Indonesia.
Sejumlah meme yang beredar pun hampir semuanya menyiratkan bahwa bocah yang ditampar oleh bocah yang lainnya adalah bentuk tindakan karena kebiasaan atau pengulangan perilaku yang harus dihentikan dengan hukuman.
Menurut Prapto Yuwono, pengajar pada Jurusan Sastra Jawa Universitas Indonesia, dalam kata “tuman” terdapat konteks yang melekat, yakni ungkapan itu diucapkan orang dewasa kepada anak-anak atau remaja, bukan kepada orang dewasa lagi. Oleh karena itu, gambar dua bocah yang hadir dalam meme “tuman” ia anggap hampir mendekati konteks tersebut.
“’Tuman’ itu kayak ngelunjak. Seringkali muncul ketika memarahi anak-anak atau remaja yang kebablasan. Nakal yang diulang terus. Sudah dibilangin berkali-kali, sudah diingatkan, tapi perilaku itu dilakukan terus menerus,” ungkapnya kepada Tirto, Jumat (15/3/2019).
Ia menambahkan, ungkapan kemarahan dengan memakai kata “tuman” tidak digunakan kepada orang dewasa karena dianggap telah mampu mengendalikan diri, sehingga tidak mengulangi kenakalan secara berulang-ulang.
Secara normatif dan pertimbangan perkembangan kematangan diri memang seperti itu, sehingga orang dewasa tidak dilekatkan dalam konteks kata ini.
“Saya juga melihat fenomena, ada fakta sosial yang kelihatannya meme ini diciptakan untuk menyindir anak-anak milenial yang kebablasan, yang gak sadar-sadar sudah dibilang, tapi masih aja terus ngocol,” imbuhnya.
Namun, kita tahu, dalam keseharian orang dewasa pun kerap tampil kekanak-kanakan dengan tak jeri mengulang perilaku nakal, persis seperti anak-anak.
Sebagai catatan, dalam Kamus Jawa Kuna Indonesia setebal 1.496 halaman karya P.J. Zoetmulder yang bekerjasama dengan S.O. Robson, kata “tuman” tidak ditemukan. Hal ini, menurut Yuwono, karena kata tersebut merupakan kata yang relatif baru dalam bahasa Jawa sehingga tidak terdapat dalam kamus kuno.
Meski menurut Yuwono kata “tuman” dilekati konteks usia, artinya ungkapan kemarahan dari orang dewasa kepada anak-anak, tapi meme “tuman” yang beredar di linimasa media sosial jarang yang hadir dengan menyertakan konteks tersebut—mayoritas justru hadir antarsesama usia. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa media sosial adalah ranah egaliter yang tampaknya tidak terlalu hirau dengan perbedaan usia.
Menambah Khazanah Kata
Contoh lain penggunaan kata “tuman” yang diungkapkan antarsesama usia terdapat dalam kisah yang laris manis di pasaran, yaitu Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1990 (2014) karangan Pidi Baiq.
Kota Bandung sebagai latar tempat dalam cerita tersebut dapat memastikan bahwa ungkapan “tuman” dalam buku ini adalah “tuman” menurut bahasa Sunda.
“Kojek berhenti ketika sudah dekat dengan kami.
‘Hajar aja, lah, Lan!’ kata Kojek. ‘Tuman’ (biar tahu rasa)”, tulis Pidi Baiq (hlm. 318).
Terlepas dari berbedanya duduk perkara antara kata “tuman” yang dijelaskan oleh Yuwono dengan kata “tuman” yang beredar di linikala, kata ini setidaknya menjadi dikenal khalayak luas setelah lama “tertidur” dalam kamus bahasa Indonesia.
Lewat gerakan latah, seru-seruan, dan berbaju viral, kata ini akhirnya “hadir” dalam khazanah ungkapan kekesalan dan kemarahan.
“Memang di kamus artinya ‘kebiasaan’, tapi menurut saya kurang pas. Sehingga pada meme [yang beredar itu, kata] “tuman”—di luar konteks usia—menjadi kata yang pas untuk mengingatkan siapa pun yang sudah [diingatkan], didiemin, [tapi] masih berlangsung terus,” ucap Yuwono.
Editor: Ivan Aulia Ahsan