tirto.id - Pelaporan pencemaran nama baik yang mengenai dosen Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Dr Saiful Mahdi bisa gugur demi hukum, karena unsur pidana tak terpenuhi.
Hal ini disampaikan Kaukus Kebebasan Akademik Indonesia dalam keterangan tertulisnya, Kamis (5/9/2019). Dalam kaukus ini ada 30 lembaga yang tergabung untuk memberikan pernyataan.
Perwakilan Kaukus Kebebasan Akademik Indonesia, Herlambang P Wiratraman mengatakan, dalam kasus serupa terkait penyampaikan kritik di media sosial grup, tak dapat jadi landasan pencemaran nama di ruang publik.
Ia merujuk dua putusan bebas pada dua kasus yakni Putusan 1269/Pid.B/2009/PN.TNG dan 822K/Pid.Sus/2010 (Kasus Prita Mulyasari, 2010) dan Putusan No 314/Pid.B/2015/PN.KRS (Kasus Joko Hariono, Pengadilan Kraksaan, 2016).
"Kedua kasus tersebut dikenakan pasal serupa [27 ayat 3 UU ITE], di media email grup dan Facebook grup, dan dibebaskan oleh hakim," kata Ketua Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini.
"Pelaporan pidana pencemaran nama baik pada Kepolisian merupakan serangan baik langsung maupun tidak langsung yang berdampak pada iklim kebebasan akademik di kampus," imbuh dia.
Saiful Mahdi dilaporkan oleh Dekan Fakultas Teknik Unsyiah karena mengkritisi hasil Tes CPNS untuk Dosen Fakultas Teknik pada akhir 2018 di kampusnya.
Saiful Mahdi dalam keterangannya tidak berniat untuk mencemarkan nama baik seseorang, namun memberi pemikiran kritik terkait kepentingan publik.
Namun, kritik tersebut dibalas dengan tuduhan pencemaran nama baik, dengan menggunakan Pasal 27 Ayat (3) Undang-undang ITE. Saat ini Saiful Mahdi berstatus tersangka di Polresta Banda Aceh.
"Pelaporan atas dasar kritik di Whatsapp grup adalah sesuatu langkah hukum yang berlebihan, yang akhirnya justru tidak akan pernah menciptakan iklim kebebasan akademik lebih baik," imbuh Herlambang.
Kaukus, kata dia, mendesak kepada kepolisian untuk menghentikan proses hukum kasus pidana pencemaran nama baik tersebut sekaligus mendorong kampus menciptakan iklim akademik lebih baik.
"Kritik merupakan bagian kebebasan ekspresi yang tak terpisahkan dengan prinsip kebebasan akademik. Ia harus mendapat perlindungan hukum terkait upayanya mengembangkan budaya akademik yang bertanggungg jawab," ujar dia.
Editor: Maya Saputri